Covid-19 dan Ancaman "Baby Boom"
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Masa pandemi tidak hanya menimbulkan kekhawatiran akan krisis tetapi juga ancaman lonjakan tingkat kelahiran. Dikutip dari Kompas.com, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyebutkan selama pandemi telah terjadi penurunan penggunaan alat kontrasepsi mencapai 10 persen dari total 28 juta orang pengguna.
[pilihan-redaksi]
Akibatnya diperkirakan akan meningkatkan angka kehamilan sekitar 420 ribu orang. Kekhwatiran yang sama juga sempat diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Angka positif hamil di beberapa kota di Jawa Barat diperkirakan melebihi angka kasus positif Covid-19. Fenomena ini bahkan diprediksi akan terus meningkat setelah pandemi oleh Dr. Renee Wellenstein, konsultan Kesehatan dalam majalah FOX Business 2020.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama pandemi tingkat fertilitas berpotensi meningkat. Pertama, selama masa bekerja dari rumah intensitas pertemuan pasangan dalam rumah akan semakin sering. Waktu luang yang dimiliki oleh pasangan semakin banyak maka frekuensi hubungan suami isteri diperkirakan cenderung meningkat. Kedua, akses ke alat kontrasepsi semakin terbatas. Penerapan kebijakan penjarakan sosial menyebabkan supply chain terganggu.
Akibat pandemi Covid-19 aktivitas beberapa kelompok kegiatan program KB dan mekanisme operasional mengalami penurunan tidak terkecuali di Kampung KB. Banyak akseptor yang was-was dan takut ketika hendak mengakses pelayanan KB di masa pandemi. Ketiga, selama masa pandemi kesadaran untuk menjaga pola hidup sehat meningkat. Tambahan konsumsi vitamin dan suplemen daya tahan tubuh, olahraga rutin secara alami juga meningkatkan hormon reproduksi sehingga berpeluang mendongkrak angka kehamilan. Dengan konsiderasi fenomena tersebut maka bukan tidak mungkin lonjakan angka kelahiran akan terjadi pada tahun 2021 yang berarti akan terjadi baby boom.
Secara harfiah ledakan bayi (baby boom) pertama kali diperkenalkan pada masa setelah Perang Dunia II. Jutaan tentara pergi berperang dan menunda masa depan mereka. Kemudian setelah semuanya berakhir, mereka ingin membangun kehidupan mereka, membuat rumah dan memulai keluarga. Dengan berakhirnya perang dan meningkatnya situasi perekonomian, banyak orang kemudian ingin memiliki anak. Fenomena perbaikan tingkat kesejahteraan juga terjadi pada tahun 1960-an di Indonesia berada pada era penambahan bayi yang luar biasa. Masa ini berlangsung hingga tahun 1970-an sebelum akhirnya program Keluarga Berencana (KB) berhasil menekan angka kelahiran.
Pandemi Covid-19 tidak serta merta akan mengubah struktur demografi penduduk Indonesia dengan menggaris bawahi beberapa pemahaman berikut. Pertama, kajian Demografer Indonesia Jousairi Hasbullah menyebutkan bahwa fertilitas hanya akan terjadi jika faktor besar penyebab utamanya kondusif mendorong perubahan fertilitas. Contohnya yaitu nilai dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera. Nilai ini sudah melekat dan berhasil tertanam sejak keberhasilan program KB di Indonesia.
Sementara itu frekuensi senggama, alat kontrasepsi dan kesuburan, serta keselamatan yang fenomenanya meningkat selama masa pandemi hanya merupakan variabel antara. Keyakinan akan terjadi ledakan kelahiran setelah masa pandemi sayangnya hanya menaruh kekhawatiran pada variabel antara bukan variabel utama. Secara teori kecil kemungkinan akan terjadi ledakan kelahiran atau baby boom.
Indonesia sedang memasuki transisi demografi fase 3. Ciri-ciri kehidupan pada masa tersebut adalah kecenderungan untuk mengikuti budaya keluarga inti (orang tua dan dua anak) akan semakin kuat. Individualistis, menjunjung tinggi privacy, dan rasional. Segala keputusan dalam keluarga termasuk kaitannya dengan jumlah anak dipertimbangkan dengan sangat matang dan rasional. Kelahiran anggota rumah tangga baru dalam masa yang tidak menentu akan sangat dihindari.
Pandemi global telah menciptakan guncangan di semua lini kehidupan terutama sektor ekonomi. Kehilangan pekerjaan menyebabkan daya beli yang menurun sehingga pada akhirnya menciptakan beban ekonomi yang sangat tinggi. Di sisi lain proses persalinan selama masa pandemi juga dihimbau untuk mengikuti protokol kesehatan dengan rapid test atau bahkan swab tentunya dengan tambahan biaya yang tidak sedikit. Sehingga keputusan untuk hamil akan ditimbang dengan sangat matang oleh pasangan muda pada masa pandemi. Mereka akan berpikir berkali-kali untuk memutuskan menambah anak pada masa pandemi. Terutama mereka yang baru saja mengalami PHK, bangkrut usaha, atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dipulangkan.
Pada akhirnya pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan jumlah kelahiran namun hanya pada kelompok lapisan masyarakat yang berpendidikan rendah dan kesulitan akses ke alat kontrasepsi. Meskipun demikian, kemungkinan kondisi ini akan sangat kecil mengingat Indonesia tengah memasuki transisi demografi dimana karakteristik sosiologis pasangan muda diperhitungkan dengan sangat rasional. Sulit membalikkan paradigma dari anti ke pro-natalis. Anak bukan lagi menjadi komoditas ekonomi untuk merubah nasib seperti generasi baby boom pada era perang dunia kedua tapi justru sebaliknya. Anak pada masa dan setelah pandemi akan cenderung dipandang sebagai beban ekonomi.
Kenaikan angka kehamilan pada masa pandemi juga dinilai berpeluang meningkatkan angka stunting serta angka kematian ibu dan janin. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah melalui BKKBN pun terus gencar menghimbau penundaan kehamilan guna mengantisipasi gelombang baby boom serta berbagai permasalahan kependudukan di masa yang akan datang.
Dengan demikian meskipun terjadi kecenderungan meningkatnya tingkat fertilitas struktur demografi penduduk Indonesia tidak akan langsung berubah akibat pandemi Covid-19. Peluang baby boom pun relatif rendah dan terkendali. Tingkat pertumbuhan penduduk alami akan terjaga di masa-masa sulit seperti saat ini. Kesehatan dan stabilitas ekonomi keluarga adalah prioritas utama.
I Gede Heprin Prayasta
Mahasiswa Magister Imu Ekonomi
Universitas Udayana
Reporter: bbn/opn