Hari Saraswati, Pantang Membaca dan Menulis 24 Jam?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Hari Saraswati atau disebut juga Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh pada hari Saniscara Umanis Wuku Watugunung sering dikaitkan dengan adanya larangan untuk membaca dan menulis selama satu hari (24 jam). Larangan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Brata Saraswati.
Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Motivasi Belajar dan “Beasiswa Dewi Saraswati di Tengah Perayaan Hari Saraswati” yang ditulis oleh Ketut Sumadi dari Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar dan dipublikasikan pada Jurnal Guna Widya, Volume 3, No.1, tahun 2011.
Ketut Sumadi menuliskan sebelum pemujaan Saraswati dilaksanakan sebelum lewat tengah hari tidak boleh membaca atau menulis mantra dan kesusastraan.
Bagi orang yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh dengan melakukan meditasi, yoga, samadhi, tidak diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam.
Dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan agar senantiasa dilandasi dengan hati yang jernih, penuh rasa bhakti ke hadapan Sang Hyang Saraswati termasuk merawat perpustakaan yang dimiliki. Pada hari Saraswati semua buku, lontar, atau pustaka suci lainnya diberi persembahan banten saraswati, kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan memuja Dewi Saraswati, manifestasi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara ilmu pengetahuan.
Pemujaan dan semua yang berhubungan dengan brata saraswati (hal-hal penting) dilaksanakan pada pagi hari atau saat matahari masih di ufuk timur atau jangan sampai lewat tengah hari. Kalau lewat tengah hari, maka yang dipuja hanya huruf semata-mata bukan kekuatan Sang Hyang Aji Saraswati.
Pemerhati Budaya Bali Made Nurbawa mengungkapkan secara logika pada Hari Saraswati pengetahuan baru diturunkan oleh Sang Pencipta. Jadi belum ada yang bisa dipelajari dan turunnya ilmu pengetahuan terjadi secara bertahap sesuai dengan gerak ruang dan waktu.
“Saat Saraswati pengetahuan baru diturunkan oleh sang pencipta, jadi belum ada yang bisa dipelajari. Makna buku dan lontar harus dimaknai sebagai sumber pengetahuan, bukan fisiknya. Membaca lontar harus dipandang sebagai membaca pengetahuan,” ujar pria satu putri tersebut.
Mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali ini mengingatkan bahwa hidup di Bali sudah berdasarkan kurikulum dewata yang tahapanya sesuai alur rerahinan, dimana pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan manusia dan alam.
Jadi harus ada hubungan yang selaras Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Posisi pengetahuan yang harus dipelajari harus pula disesuaikan dengan usia manusia yang selama ini dibedakan menjadi Catur Asrama.
Reporter: bbn/mul