Perpolisian Metaverse, Benarkah Bisa Amankan Dunia Virtual?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Jagad metaverse menjadi perbincangan hangat warga dalam setahun terakhir. Tingginya minat masyarakat mengetahui seluk-beluk metaverse membuat pencarian terhadap istilah itu meningkat hingga ribuan persen di mesin pencari.
Pada dasarnya, metaverse adalah wadah untuk menjembatani ruang, waktu dan ide. Metaverse memungkinkan realitas virtual bermain lebih dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, hal ini memudahkan aktivitas warga. Contoh gamblangnya ketika muncul “remote work” ketika pandemi Covid-19 melanda.
Tak hanya pengusaha, pemerintah kini turut membuka ruang-ruang metaverse untuk meningkatkan kinerja. Indonesia sendiri telah mematangkan konsep ini. Prototipe metaverse tersebut kabarnya akan hadir dalam puncak pelaksanaan G20 di Indonesia pada akhir 2022. Selain mengubah budaya kerja, metaverse menjanjikan lapangan kerja dan ruang usaha baru di masa depan.
Namun di tengah deretan manfaat tersebut, tak dipungkiri jagad metaverse juga berpotensi menjadi ruang tindak kejatahan. Sejumlah ahli memerkirakan pola-pola kriminalitas baru akan muncul seiring mencuatnya beragam aktivitas virtual.
Belakangan sinyal itu sudah mulai muncul dengan banyaknya warga yang lapor polisi karena merasa dirugikan dengan investasi bodong berskema Ponzi seberti yang belakangan muncul. Belum lagi potensi maraknya kejahatan seksual hingga perdagangan manusia di dunia metaverse. Hal ini tentu meningkatkan ekspektasi masyarakat terhadap kinerja kepolisian.
Aparat penegak hukum dituntut tanggap untuk merespons kasus-kasus baru yang berkaitan dengan jagad digital dan Metaverse. Dilansir Nypost.com, polisi perlu berpatroli secara virtual di metaverse untuk menjaga keamanan pengguna dari penyalahgunaan.
Pakar perdagangan manusia internasional, Matthew Friedman, menyuarakan keprihatinannya tentang penjahat yang mengeksploitasi realitas virtual dalam sebuah artikel baru-baru ini untuk South China Morning Post.
“Perlindungan harus dilakukan untuk mencegah individu yang rentan dilecehkan, atau dipersiapkan ke dalam situasi eksploitatif,” ujarnya.
Friedman menyebut pengguna Metaverse perlu dididik tentang potensi perdagangan manusia. Dia menyarankan sebuah perpolisian metaverse untuk melindungi aktivitas di ruang tersebut.
“Agar dunia ini aman, polisi online mungkin diperlukan untuk berpatroli di lingkungan dan mendeteksi pelanggaran hak asasi manusia, sebelum menghadapi pelaku di kehidupan nyata,” saran CEO The Mekong Club itu.
The Mekong Club, yang memerangi perdagangan manusia di Asia, sedang mencari cara untuk membantu memerangi perdagangan manusia di dunia maya metaverse. Friedman mengklaim sangat penting bahwa organisasi seperti miliknya dapat membantu perusahaan seperti Meta dan Microsoft saat mereka membangun dunia virtual.
Klub Mekong telah menggunakan realitas virtual untuk memungkinkan orang memiliki pandangan yang membuka mata tentang kejahatan perdagangan seks dan kerja paksa tanpa berada dalam bahaya fisik apa pun.
Reporter: bbn/net