search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Benarkah Poligami Bisa Cegah HIV?
Rabu, 31 Agustus 2022, 09:43 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Benarkah Poligami Bisa Cegah HIV?

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Belakangan ini sangat viral pemberitaan tentang sebuah pernyataan dari Wakil Gubernur Jawa Barat, yang menyatakan bahwa poligami adalah solusi untuk mencegah penularan HIV di masyarakat. Apakah ini benar?

Tentu saja pernyataan ini sangat mengejutkan. Terlebih disampaikan oleh pejabat publik. Memang harus dipastikan dulu apa benar pernyataan ini terucapkan. Jika benar, ini sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan ketidak pahaman tentang informasi dasar HIV AIDS. Terlebih juga disebutkan bahwa solusi mencegah HIV adalah dengan menikah dan semua dianggap tuntas, itu adalah pemikiran keliru.

Satu persatu dijawab, pertama, apakah dengan menganjurkan poligami dapat menjadi solusi pencegahan HIV? Nanti dulu. Ada sebuah kasus menarik sempat terjadi, seorang perempuan yang telah menikah, yang tidak pernah melakukan hubungan seksual di luar pernikahannya, ternyata mengidap HIV

Ketahuan saat skrining HIV waktu dia hamil lagi. Perempuan ini adalah istri pertama dari suaminya. Suaminya menjalankan poligami, memiliki istri tiga. Ternyata tidak cuma istri pertama tertular HIV, tetapi juga istri kedua. Rupanya istri muda yang ketiga sudah mengidap HIV dari pergaulan sebelumnya yang pernah menggunakan narkoba suntikan. 

Diduga, istri ketiga ini menularkan ke suami, dan suami menularkan kepada dua istri lainnya, karena kenyataannya mereka semua positif HIV. Kemungkinan lainnya adalah suaminya tertular HIV dari hubungan seksual di luar pernikahan dan membawa virus kepada istrinya.

Sesungguhnya, penularan HIV itu tidak bisa dilihat dari status pernikahan dan jenis pernikahan, serta jumlah pasangan di dalam pernikahan. Tetapi dari perilaku berisiko yang dapat mengakibatkan penularan pada seseorang. Mengingatkan kembali bahwa HIV adalah virus yang dapat menyerang kekebalan tubuh pada yang mengidapnya, dan dapat menularkan ke orang lain lewat kontak darah, kontak cairan kelamin, dan ada potensi juga lebih kecil di air susu ibu. 

Dan pencegahan dilakukan dengan perilaku yang menghindari kontak dengan cairan darah, cairan kelamin, dan dengan pertimbangan khusus saat memberikan air susu ibu. Sehingga perlu dihindari melakukan hubungan seksual yang berisiko, menghindari penggunaan narkoba terutama yang berbagi jarum suntik, termasuk juga penggunaan alat tidak steril yang mengakibatkan kontak darah, serta pengawasan pada ibu hamil yang mengidap HIV agar tidak menularkan ke bayinya.

Lalu fokus kepada pencegahan HIV dari hubungan seksual yang berisiko, sekali lagi bukan dari status pernikahan dan jenis pernikahannya, tetapi apakah seseorang dan pasangannya sudah menghindari melakukan hubungan seksual berisiko. 

Hubungan seksual berisiko adalah: 1) jika seseorang telah melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan seksual atau memiliki banyak pasangan seksual tanpa menggunakan proteksi kondom, 2) jika seseorang melakukan hubungan seksual dengan hanya satu pasangan seksual tetapi yang sudah mengidap infeksi menular seksual termasuk HIV, tanpa menggunakan kondom. Keduanya ini adalah hubungan seksual berisiko. Dan jika dicermati, poligami tidak menjamin untuk tidak terjadi penularan infeksi menular seksual, termasuk HIV.

Kenapa poligami tidak menjamin bakal pasti tidak terjadi penularan infeksi menular seksual, termasuk HIV? Contoh kasus di atas salah satunya, yang malah justru poligami membuat satu keluarga pada tertular HIV. Sangat banyak orang atau pasangan yang tidak mengetahui status HIVnya sebelum menikah, sehingga jika akhirnya melakukan poligami malah akan menularkan kepada semua pasangan. 

Juga banyak kasus, pelaku poligami, terutama pihak laki-laki, juga masih melakukan hubungan seksual di luar pernikahannya, yang akhirnya mendapatkan infeksi menular seksual dari luar pernikahan, lalu membawa kepada pasangannya.

Nah, satu lagi yang beredar, pernyataan sebagai solusi mencegah HIV, adalah segera menikah. Ini pastinya dimaksudkan kepada remaja yang dianggap sudah memiliki dorongan seksual yang tinggi. Kelihatannya masuk di logika, tetapi sekali lagi nanti dulu, banyak perhitungan yang mesti dipikirkan secara bijak dan juga dilihat risikonya. 

Banyak penelitian menyebutkan dengan berbagai temuan angka remaja yang sudah melakukan akivitas seksual sebelum menikah, benar adanya. Rentangnya dari berbagai penelitian bisa menyebut angka 10-30 persen telah terjadi hubungan seksual pranikah di Indonesia, sebagian dilakukan di usia remaja, bahkan usia sekolah. 

Tidak semudah itu lalu memaksakan remaja, terutama usia sekolah untuk menikah demi mencegah HIV. Memaksakan remaja untuk segera menikah berpotensi salah satunya memangkas hak mereka akan pendidikan, karena biasanya setelah memutuskan untuk menikah, pendidikan formalpun berhenti. Ketidak siapan mental dan ekonomi jika dipaksa menikah dini pun akan membuat kualitas buruk dalam membina keluarga dan merawat anak di usia muda yang relatif belum siap. 

Yang paling penting malah jika dipaksa menikah usia muda, akan berisiko fisik yang fatal, saat organ panggul perempuan belum siap untuk bereproduksi di bawah usia 20 tahun, yang dapat mengakibatkan kelahiran premature, kematian bayi, hingga perdarahan dan kematian ibu.   

Justru untuk kalangan remaja, harus didukung untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, menjadi pekerja yang professional. Pendekatan untuk pencegahan HIV dari perilaku itu tetaplah harus komprehensif. Ada 5 jurusnya. Jurus ABCDE. Ini malah yang perlu diedukasikan dengan gencar buat semua, terutama anak muda. Jurus ABCDE itu adalah:

A atau Abstinence, artinya buat yang masih remaja jangan dulu berhubungan seksual, karena saking besarnya risiko yang seringkali tidak dipahami sebagai konsekuensi hubungan seksual. Semua pihak perlu berperan untuk dapat mengajak remaja dapat tetap menunda hubungan seksual pranikah dengan memperbanyak aktivitas membangkitkan hobi positif seperti olahraga, musik, seni teater, seni beladiri dan banyak aktivitas hobi lainnya, termasuk berorganisasi yang positif.

B atau Be faithful, artinya tetap setia dengan satu pasangan. Jika remaja sudah berpacaran selalu ditekankan untuk setia dengan pasangannya, dan pihak dewasa juga harus bisa memberikan contoh yang baik buat remajanya. Seringkali remaja tidak setia dengan pasangannya karena meniru apa yang dilihat di media atau melihat contoh buruk dari orang dewasa.

C atau Condom, artinya menggunakan proteksi spesifik untuk remaja yang kadung berisiko, misalnya remaja yang sering mencari pekerja seks, remaja yang gonta-ganti pasangan seksual. Tidak ada jalan lain, karena tidak mudah mengajak mereka kembali ke pilihan Abstinence. Dan penggunaan kondom untuk remaja berisiko juga perlu dipahami dan diedukasi secara benar agar benar-benar tepat sasaran, demi pencegahan infeksi menular seksual dan kehamilan tidak diinginkan.

D atau Don`t inject, memiliki arti jangan menggunakan jarum suntik secara sembarang, termasuk juga yang paling harus dihindari adalah penggunaan jarum suntik untuk narkoba. Dan secara keseluruhan narkoba sangat dilarang untuk digunakan, bahkan sekedar untuk dicoba. Jangan pernah.

E atau Education, artinya mencari informasi yang benar pada sumber dan orang yang berkompeten. Seringkali banyak mitos yang dipercaya remaja. Dan remaja juga sering sangat percaya dengan informasi yang diberikan rekan sebayanya yang sebagian besar masih keliru dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bertanyalah kepada dokter, para ahli, aktivis, hingga lembaga yang terlatih untuk menjawab pertanyaan seputar kesehatan repoduksi dan seksual, termasuk jika mengalami keluhan seksual. 

Sekali lagi, poligami dan anjuran segera menikah buat remaja, bukanlah solusi tepat. Cenderung keliru dan gegabah, yang menunjukkan ketidakpahaman. Jika ini menjadi viral dan dibaca orang di seluruh dunia pastinya bakal membuat jadi olok-olokan. Marilah sebagai pejabat publik untuk dapat lebih memahami masalah kesehatan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Bukan asumsi pribadi yang menyesatkan. 

Jangan lagi lagi terulang seperti yang lalu juga ada pejabat publik menyebutkan bahwa berenang di kolam dapat mengakibatkan kehamilan, yang akhirnya menjadi bahan tertawaan di mana-mana.

Ada baiknya sebagai pejabat publik tetap kembali fokus di upaya yang sudah benar, dengan kembali aktif melakukan kampanye, edukasi, program-program pencegahan ke remaja, menggiatkan skrining dan tes HIV pada kelompok berisiko, meluaskan layanan konseling dan tes HIV, melakukan dukungan pengobatan ARV dan pengobatan infeksi oportunistik, termasuk pemeriksaan viral load, dan lainnya untuk medukung Indonesia bebas HIV di 2030. Itu lebih terhormat.

Penulis,

dr.Oka Negara, MBiomed, FIAS

Ketua Forum Peduli AIDS Bali
Pokja Monev KPA Propinsi Bali
Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia Denpasar
Wakil Ketua PKBI Bali

Editor: Robby

Reporter: bbn/oka



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami