Putin Tak Perlu Nuklir, Rusia Buat Negara Ini 'Babak Belur'
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Perang besar-besaran Rusia-Ukraina telah berlangsung genap setahun pada Jumat, (24/2/2023). Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda keduanya melunak, bahkan justru semakin agresif.
Terbaru Presiden Rusia Vladimir Putin membekukan perjanjian pembatasan pengembangan senjata nuklir, New START (for Strategic Arms Reduction Treaty). Ini memicu ketakutan akan perang nuklir.
Tapi sebenarnya, Putin tak perlu nuklir. Sudah banyak negara yang "babak belur" karena perang Rusia-Ukraina.
Berikut daftar negara dunia yang ikut jadi 'korban' perang Rusia-Ukraina seperti dirangkum CNBC Indonesia:
1. Inggris
Negeri Big Ben sempat mengalami masa-masa krisis terberat di 2022 akibat perang Rusia-Ukraina. Pasalnya, perang ini menaikan harga bahan bakar dunia, dan keluarga Inggris mengalami lonjakan tagihan yang signifikan.
Dengan situasi perang yang masih berlangsung, Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memberikan peringatan yang buruk bagi ekonomi London pada tahun 2023. "Paparan gas alam Inggris yang tinggi, dengan harga pasar yang lebih tinggi diteruskan ke konsumen,"ujar Kepala Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas dikutip CNBC International.
Kondisi ini pun membuat sebagian warga Inggris mulai merubah gaya hidupnya. Sebagian mengaku mengurangi perjalanan hiburannya ke kafe atau berkencan bersama pasangan ke luar rumah.
Namun ada juga yang ekstrim seperti mengurangi porsi makannya. Bahkan, ada keluarga yang tidak memberikan makan kepada anaknya hingga membuat anak-anak tersebut mengunyah penghapus karet saat bersekolah.
Jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Inggris juga dilaporkan naik setelah inflasi tinggi yang dipicu perang ini. Beberapa di antaranya mahasiswa, yang mengaku menjadi PSK untuk membayar biaya sewa rumah.
2. Uni Eropa (UE)
Serupa dengan Inggris, beberapa negara UE seperti Jerman dan Italia merasakan betul dampak dari perang antara Moskow dan Kyiv. Ini diakibatkan ketergantungan Benua Biru pada pasokan energi dari Rusia, bahkan untuk gas angkanya mencapai 40 persen saat masa pra-perang.
Dengan adanya perang ini, Brussels memutuskan untuk mendukung Ukraina dan menjatuhkan deretan sanksi ekonomi pada Rusia termasuk embargo beberapa bahan energi. Ini kemudian mengerek harga energi di wilayah benua itu.
Otoritas energi nasional Italia, ARERA, mengatakan harga yang dibayarkan oleh rata-rata rumah tangga Italia untuk gasnya naik 64,8 persen pada 2022, dibandingkan tahun sebelumnya. ARERA juga mengatakan harga untuk Desember naik 23,3 persen dari bulan sebelumnya, mencerminkan harga yang tinggi di awal Desember sebelum turun di akhir bulan.
Selain itu, harga energi yang naik drastis telah memicu kebangkrutan massal di wilayah itu. Berdasarkan laporan yang dirilis Eurostat, kantor statistik resmi UE, pada akhir pekan lalu, kebangkrutan pada kuartal terakhir 2022 naik 26,8 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Dilansir dari The Brussels Times yang mengutip laporan tersebut, semua sektor ekonomi mencatat kenaikan kebangkrutan. Peningkatan terbesar tercatat di sektor transportasi dan pergudangan (72,2%), diikuti oleh layanan akomodasi dan makanan (39,4%), dan kegiatan pendidikan, kesehatan, dan sosial (29,5%).
3. Moldova
Tetangga Ukraina ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi -10,3 persen yoy pada kuartal III-2022. Kinerja itu jauh memburuk dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar -0,9 persen yoy.
Kontraksi yang terjadi di negara tersebut menjadi yang terdalam sejak kuartal III-2020. Pecahnya perang di negara tetangga menjadi faktor pemberat utama perekonomian Moldova.
4. Korea Selatan (Korsel)
Pada awal Februari, Korsel mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 47,5 miliar atau Rp711 triliun untuk tahun 2022. Ini menandai defisit perdagangan terburuk sejak badan tersebut mulai mengumpulkan data pada tahun 1956 dan jauh lebih besar dari defisit perdagangan US$ 20,6 miliar pada tahun 1996.
Tak hanya dalam tahun 2022, ekspor pada bulan Januari 2023. turun 16,6 persen atau US$ 46,3 miliar. Impor juga mengalami pelemahan 3,6 persen menjadi US$ 59 miliar.
"Ada beberapa harapan bahwa ekonomi dunia tidak akan menghadapi situasi sesulit yang diharapkan berkat pembukaan kembali China dan pertumbuhan tak terduga dari ekonomi sekitarnya," kata Menteri Ekonomi dan Keuangan Korsel Choo Kyung Ho dalam pertemuan dengan para pejabat dikutip CNBC International.
Choo menyebut melebarnya defisit perdagangan yang terlihat di bulan Januari disebabkan oleh beberapa faktor seperti energi dan chip. Diketahui, untuk energi, terjadi peningkatan harga-harga bahan bakar pasca perang Rusia-Ukraina yang menghambat kegiatan perekonomian di Negeri Ginseng.
5. Jepang
Jepang mencatat defisit neraca perdagangan terbesarnya tahun 2022 lalu. Hal ini dipicu oleh melonjaknya harga energi dan bahan mentah, yang diperparah oleh jatuhnya mata uang yen secara dramatis.
Sebagai negara minim sumber daya, Jepang sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil, yang harganya melonjak tajam tahun lalu sebagian besar karena serangan Moskow ke Kyiv.
Pada tahun 2022 nilai impor adalah 19,97 triliun yen atau setara Rp2.355 triliun. Ini lebih tinggi dari ekspor dan menjadi defisit terbesar Jepang.
6. Timur Tengah
Krisis biaya hidup yang dialami beberapa negara di dunia juga dirasakan di wilayah Arab. Baik Arab yang berada di Asia hingga Afrika Utara, hampir seluruh negara merasakan tingginya inflasi yang disertai merosotnya nilai mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pound Mesir telah kehilangan setengah nilainya terhadap dolar sejak Maret tahun lalu, menyusul devaluasi yang diminta sebagai bagian dari perjanjian pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$ 3 miliar (Rp45 triliun).
Inflasi utama negara itu juga telah menembus 21,9 persen pada Desember. Harga pangan mengalami kenaikan hingga 37,9 persen.
"Sepertinya kita terkena gempa bumi; tiba-tiba Anda harus melepaskan segalanya," kata Manar, ibu dua anak asal Mesir berusia 38 tahun, kepada kantor berita AFP yang dikutip Arab News.
"Sekarang, apa pun kehidupan semi-manusia yang telah dilakukan orang telah direduksi menjadi pemikiran tentang berapa harga roti dan telur."
Perekonomian Mesir telah berjuang untuk pulih setelah pandemi Covid-19. Tetapi serangan Rusia ke Ukraina memicu krisis terbaru, karena kedua negara tersebut adalah pengekspor utama gandum ke Mesir dan sumber pariwisata massal.
Menurut Bank Dunia, hampir sepertiga dari 104 juta penduduk Mesir saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan hampir sebanyak itu 'rentan jatuh ke dalam kemiskinan.'
Hal serupa juga dialami Lebanon. Pound Lebanon baru-baru ini mencapai titik terendah sepanjang masa dan kini telah kehilangan sekitar 95 persen nilainya sejak dimulainya krisis keuangan di negara itu pada akhir 2019.
Yordania, Suriah, dan Irak juga mengalami kenaikan besar-besaran dalam harga makanan, bahan bakar, dan barang-barang penting lainnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat terus turun, yang menyebabkan protes dan gelombang kerusuhan yang sebelumnya jarang terjadi.
"Kehidupan sekitar 130 juta orang di wilayah tersebut sekarang dirusak oleh kemiskinan," menurut Survei Perkembangan Ekonomi dan Sosial di Wilayah Arab, yang diterbitkan pada bulan Desember oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat.
Sebelum perang di Ukraina dimulai, Rusia adalah pengekspor gandum terbesar di dunia dan Ukraina yang terbesar kelima, masing-masing menyumbang sekitar 20 persen dan 10 persen dari ekspor global.
Oleh karena itu, blokade pelabuhan Laut Hitam Ukraina tahun lalu mengakibatkan lonjakan besar-besaran harga pasar biji-bijian, minyak goreng, dan pupuk. Hal ini menyebabkan harga barang kebutuhan pokok seperti roti melambung tinggi di seluruh wilayah Arab.
Meskipun kesepakatan yang ditengahi PBB musim panas lalu memungkinkan pengiriman biji-bijian Laut Hitam untuk dilanjutkan, sanksi Barat terhadap barang-barang Rusia, termasuk produk hidrokarbon, menaikkan harga bahan bakar dan, pada gilirannya, biaya impor.
"Ketahanan pangan telah terancam di beberapa negara, terutama yang menyaksikan konflik dan kerusuhan (baik politik maupun ekonomi), karena keranjang makanan menjadi semakin tidak terjangkau," kata Majed Skaini, manajer regional Program Perbandingan Internasional di UN ESCWA.(sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Juniar
Reporter: bbn/net