search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kehidupan Orangutan Terdesak ke Laut
Selasa, 7 Oktober 2014, 08:21 WITA Follow
image

bbn/net/worldwildlife.org

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Kehidupan 6.300 ekor orangutan yang menghuni Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah (Kalteng) terancam terus terdesak ke arah laut. Ancaman berasal dari pergeseran batas wilayah TNTP akibat perambahan hutan dan investasi di bidang perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Diperkirakan 30 ribu hektare (ha) luas kawasan ini justru berada di wilayah laut lepas.

Presiden Orangutan Foundation International (OFI), Birute Mary Galdikas menyebutkan pergeseran batas wilayah TNTP itu akan mengancam kelestarian orangutan. Saat ini kata dia, wilayah TNTP telah bergeser ke arah laut, akibat masuknya lahan perkebunan kelapa sawit ke kawasan taman nasional.

“Masalah pindah batas, kita bilang luas TNTP adalah 415.040 hektare, tapi nyatanya ada lebih kurang 30.000 hektare berada di laut,” ujarnya saat ditemui di Camp Leakey, Sungai Sekonyer, Kalteng, Kamis (25/9) lalu.

Menurutnya kondisi lebih susah lagi saat perkebunan kepala sawit masuk. Perkebunan kelapa sawit dikhawatirkan merusakan hutan penyangga disekitar taman nasional.

“Ketika kita masuk Sungai Sekonyer, kita bisa lihat hutan penyangga yang sudah habis di sebelah kiri. Seharusnya 500 meter dari pinggir sungai tidak boleh ditebang karena merupakan hutan penyangga, tetapi kenyataannya mustahil,” urai Birute.

Ditanya soal kerusakan ekosistem Sungai Sekonyer dengan warna air sungai yang coklat kehitaman, Birute menuding akibat penambangan liar di wilayah utara TNTP, dan mengalir ke Sungai Sekonyer. Dikatakan di wilayah utara, di seberang Sungai Sekonyer ada bukit dengan pasir putih terindikasi ada pertambangan didaerah itu.

“Para penambang pernah dilarang, tetapi mereka membakar pos penjagaan taman nasional. Kami tidak tahu siapa di belakang masyarakat, karena kita tahu bahwa pasti orang di belakang masyarakat itu,” kata Birute lagi.

Menurut Birute, kawasan TNTP merupakan habitat terbesar orangutan dengan populasi terbesar di dunia, dengan jumlah lebih kurang 6.000 ekor. Sejak ditanganinya, ada lebih kurang 300 ekor orangutan yang telah dilepasliarkan setelah direhabilitasi dari masyarakat yang memeliharanya.

Urainya, 20 tahun lalu banyak orang menebang kayu di TNTP, dan 40 persen telah masuk TNTP. “Beruntung polisi berjaga selama tiga tahun. Terus terang, kalau tidak ada polisi patroli bersama kami, kami tidak kuasa. Waktu itu kapolres mendapat perintah dari mabes di Jakarta untuk mengamankan Tanjung Puting, karena TNTP merupakan sorotan dunia,” paparnya.

Sementara itu, seorang petugas Pos Balai TNTP, Arifin mengakui air Sungai Sekonyer yang keruh itu disebabkan oleh adanya penambangan liar. Dia menyebutkan, tambang liar itu sulit dihentikan karena merupakan mata pencaharian masyarakat.

“Dulu, air Sungai Sekonyer berwarna merah, namun akibat tambang, air berubah keruh,” kata pria yang sudah dua tahun bertugas sebagai penjaga Pos Balai TNTP tersebut.

Menurut Hamdani, seorang warga daerah Kumai yang dekat dengan lokasi TNTP ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai masuk dan merambah dekat kawasan TNTP. Warga desa di dekat lahan tersebut mau menjual lahannya, karena dijanjikan akan bekerja di perusahaan.

“Hutan penyangga di kawasan TNTP terkena investasi kelapa sawit, warga desa dijanjikan bekerja,” tandas Hamdani. Pilihan tersebut menurutnya membuat masyarakat tertarik untuk turut serta.

 

Sementara pilihan pekerjaan sebagai pemandu di taman nasional, kurang menjadi perhatian karena kurang menguntungkan. 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami