search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
BNPT Ajak Jurnalis Terapkan Jurnalisme Damai
Jumat, 13 Maret 2015, 00:00 WITA Follow
image

beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Badan Nasional Penanggulangan Teroris ( BNPT ) menggelar Pelatihan Jurnalisme Damai Bagi Wartawan  dan Pimpinan Redaksi. Hari pertama kegiatan memaparkan uraian tentang bagaimana Mengemas Peliputan Terorisme untuk Media Cetak dan Media Televisi. Kegiatan yang difasilitasi oleh Biz Communication ini berlangsung di Hotel Grand Zuri, Kuta, selama tiga hari ( 09/10/204 ).

Sesi pertama dimulai dengan presentasi dari Dewan Pers oleh Imam Wahyudi. Salah satu yang ditekankan dalam pemaparannya tentang mutu jurnalisme peliputan terorisme. Dikatakan, bahwa peliputan harus memperhatikan dampak dari semua pemberitaan. Dia mencontohkan, media yang diilustrasikan jenis senjata api mampu mengakibatkan dampak yang luas terhadap publik, “ Teman – teman asosiasikan media anda, kira – kira mirip senjata yang mana. Perhatikan skala kerusakan dan manfaatnya media terhadap publik, “ kata Imam Wahyudi dalam diskusinya.

Peserta jurnalis yang berasal dari berbagai media cetak, elektronik, dan televisi kemudian diminta menuliskan salah satu jenis senjata api yang menggambarkan media masing – masing peserta. Sebuah media disetarakan dengan senapan, arteleri, rudal, dan nuklir. Beragam jawaban muncul dalam kaitan media tempat wartawan bertugas. Peran wartawan dalam bertugas mampu menimbulkan manfaat besar, juga bisa menimbulkan kerugian besar pula dalam sebuah produk jurnalistik. 

“ Sekarang efeknya sudah saling tumpang tindih, pikirkan bahwa anda dapat bisa menimbulkan manfaat yang sedemikian besar tapi juga kerusakan yang demikian besar, “ jelas Imam Wahyudi yang pernah menjadi Jurnalis RCTI.

Untuk itu  jurnalis jangan pernah untuk menyepelekan dampak setiap pemberitaan dari karya jurnalistik. Dia mengajak, setiap wartawan dalam tugasnya untuk tetap memperhatikan pedoman sikap dan elemen jurnalistik dalam menggali informasi demi kepentingan publik.

Sementara dalam sesi kedua, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi, Yadi Hendriana memberikan materi tentang Jurnalis dan Berita Teror. Dalam diskusinya, bahwa setiap jurnalis hendaknya tetap melihat sisi kemanusiaan dalam praktik jurnalistik. Diskusi lebih banyak menganalisa berita yang mengabaikan kode etik jurnalistik dalam kaitan penyampaian informasi tentang terorisme, “ Seorang penulis harus lebih memikirkan dampak dari sebuah berita, verifikasi nomor satu, “ ujarnya mengawali diskusi.

Dikatakan lagi, bahwa jurnalis hendaknya tidak sekedar melakukan pemberitaan secara cepat untuk mendapatkan sebuah berita yang ekslusif. Jurnalis hendaknya memikirkan dampak dan efek yang dipakai sebagai acuan dalam menayangkan gambar atau menyiarkan berita tentang kekerasan dan terorisme.

Yadi Hendriana, dalam selingan video yang ditayangkan mengandung unsur kekerasan juga menyadari bahwa masyarakat indonesia menyukai tayangan tentang kekerasan, mistik, pornografi dimanfaatkan pelaku media semata – mata menayangkan demi mengejar rating dan kompetisi antar media. Tanpa disadari  hal ini bisa membangun citra negatif yang ditanamkan oleh media. “ Untuk membangun keterpurukan citra butuh waktu lama, “ ujarnya.

Yadi mencotohkan, terjadi di beberapa daerah yang memiliki citra yang dibangun oleh peran media. Media punya peran penting dalam hal ini. Dicontohkan pemberitaan yang bertentangan, Poso dikenal teroris, Makasar punya citra kerusuhan, Bali dikenal dengan keindahannya. Padahal, dibalik citra negatif dan citra positif punya sisi lain yang belum pernah diberitakan yang dikemas berimbang. “ Coba cek di you tube, gambar apa terjadi di Poso, Makasar, Bali, apa yang terjadi ?, “ tanyanya.

Untuk itu integritas seorang jurnalis dan kompetensi jurnalis sangat menentukan maju mundurnya negara indonesia. Seorang jurnalis dituntut berhati – hati dalam membangun sebuah citra yang dikembangkan melalui media. Jurnalis harus memiliki keberpihakan terhadap publik, netral tidak boleh memberikan kesimpulan dalam menyampaikan fakta. “ Seorang jurnalis dalam membangun opini harus berimbang, “ tegasnya. 

Pelatihan Jurnalisme Damai yang dilakukan sehari penuh berlangsung hari Jum’at, Sabtu dan Minggu dipandu oleh Agus Basri. Dia memandang konteks jurnalisme dewasa ini sudah kebablasan, tidak terlepas dari akibat dari paska reformasi yang memberikan keleluasaan, sistem rekrutmen yang diambil juga dibawah standar. “ Dulu di jaman orde baru media cuma sekitar 300 sekarang sekitar 400 lebih. Sehingga istilahnya sekarang banyak teman – teman kopral jadi jendral, dan dunia kapital semakin mencekram kita, “ ungkapnya.

Dia menyayangkan, wartawan banyak mengalami tekanan – tekanan dari para pemilik modal yang masuk dunia politik. Untuk itu wartawan hendaknya ciptakan perdamaian, menjadi guru para pemilik modal. 

“ Jurnalis hendaknya independen, tugas kita menegakkan kebenaran, jangan mengalah dan mau dikalahkan oleh kekuasaan, penguasa yang sesungguhnya adalah kebebasan dalam mengemukakan kebenaran. Kebenaran harus kita tegakan. Wartawan adalah kaum intelektual yang bertugas untuk membuat masyarakat lebih intelek, “ ujar pria yang pernah menjadi pimpinan redaktur majalah Gamma dan saat ini menjadi staf ahli ketua MPR RI.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami