Huruf Non Kapital pada Sajak, Ciri Pribadi Rendah Hati Sastrawan Made Sanggra
Rabu, 20 Juni 2018,
16:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com,Denpasar. Made Sanggra, Sastrawan serba bisa yang wafat 11 tahun silam meninggalkan karya Sastra Bali Modern berupa cerpen, puisi dan geguritan dengan ciri khas yakni penggunaan non kapital sebagai karakter sajaknya, dikenal merupakan refleksi pribadi yang rendah hati sekaligus menjunjung tinggi aksara Bali.
[pilihan-redaksi]
Prof I Nyoman Dharma Putra, Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana memaparkan selain pengadopsian aksara Bali yang tidak menggunakan huruf kapital, Sastrawan yang lahir di Sukawati, Gianyar pada tahun 1926 ini menggunakan tema yang universal seperti karma phala sebagai kritik sosial pada zamannya.
Prof I Nyoman Dharma Putra, Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana memaparkan selain pengadopsian aksara Bali yang tidak menggunakan huruf kapital, Sastrawan yang lahir di Sukawati, Gianyar pada tahun 1926 ini menggunakan tema yang universal seperti karma phala sebagai kritik sosial pada zamannya.
"Seperti lakon dalam karyanya yang diceritakan anti pejuang melawan penjajah, akhirnya mendapat celaka dalam kematiannya, atau guide asing yang hanya mengharapkan 'susuk' tidak pernah menghargai karya seniman meninggal karena kecelakaan," ungkapnya, Rabu (20/6) di Denpasar saat peluncuran kumpulan cerpen dan puisi buku Made Sanggra yang berjudul 'Bir Bali'.
Selanjutnya, Dharma Putra juga menjelaskan luasnya sudut pandang karyanya. Meski karya Sastra Bali Modern, Sanggra menembus ruang lingkup bahasan secara luas. Ini dibuktikan dalam karyanya yang fenomenal, yakni 'Ketemu ring Tampaksiring' yang menceritakan pertemuan antara wartawan asal Belanda dengan ibunya yang berasal dari Tampaksiring saat kunjungan Ratu Juliana.
Dharma Putra menambahkan Made Sanggra yang mulai aktif menciptakan karya pada periode 1970 hingga 2007 itu dinilai menulis Sastra Bali secara murni dari bahasa Bali, dalam artian tidak menterjemahkan karya sastranya dari bahasa Indonesia. Disamping itu karyanya yang menjadi 'masterpiece' banyak menginspirasi seniman, termasuk salah satunya Prof I Wayan Dibia yang juga mentransformasikan cerpen Ketemu ring Tampaksiring dalam bentuk seni pertunjukan Arja.
"Hal itu sebagai bentuk apreasiasi dan contoh agar karya sastra seni tidak hanya tersimpan di perpustakaan, tetapi juga direalisasikan dalam wujud seni pentas," ujar Prof Wayan Dibia.
[pilihan-redaksi2]
Seniman Tari Bali itu mengenang kisahnya dalam menggarap Ketemu ring Tampaksiring menjadi untuk ditampilkan dalam bentuk seni Arja. Alih-alih terkesan mengkritik karya Made Sanggra saat ia sampaikan perlunya tambahan cerita atau lakon antagonis dalam gubahan Arja-nya. Made Sanggra malah membebaskan karyanya itu diubah dan memang hasilnya setelah dintunjukkan narasinya, Sanggra sangat terkagum.
Seniman Tari Bali itu mengenang kisahnya dalam menggarap Ketemu ring Tampaksiring menjadi untuk ditampilkan dalam bentuk seni Arja. Alih-alih terkesan mengkritik karya Made Sanggra saat ia sampaikan perlunya tambahan cerita atau lakon antagonis dalam gubahan Arja-nya. Made Sanggra malah membebaskan karyanya itu diubah dan memang hasilnya setelah dintunjukkan narasinya, Sanggra sangat terkagum.
"Nah, menurut cening Wayan bagaimana terserah," ujar Prof Wayan Dibia saat menirukan pernyataan Made Sanggra kala itu.
Dan tampilah Arja dengan judul yang sama di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2005. Melalui pementasan dalam bentuk Arja, karya Cerpen Ketemu ring Tampaksiring dinilai sejajar dengan karya klasik Bali lainnya. (bbn/rob)
Berita Denpasar Terbaru
•
Reporter: bbn/rob