search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bola Panas Eks Napi "Nyaleg"
Sabtu, 7 Juli 2018, 14:25 WITA Follow
image

bbn/google news/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com,Denpasar. Tahun 2018 sudah memasuki tahun politik menghadapi kontestasi pemilu 2019. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara sedang bersiap, Partai Politik sebagai peserta pemilu pun bersiap dengan menentukan kader-kader terbaik mereka yang akan diajukan dalam Pemilihan Anggota Legislatif pada Pemilihan Umum 2019.
 
[pilihan-redaksi]
Pengalaman buruk korupsi yang dilakukan secara berjamaah oleh para wakil rakyat tentu menjadi catatan buruk tersendiri bagi masyarakat yang saat ini mulai pesimis dengan para calon wakil mereka di parlemen. Tak mau terulang lagi, KPU sebagai garda terdepan dalam proses penyaringan para calon berusaha lebih selektif dan memperketat persyaratan para calon anggota legislatif. 
 
Banyak masyarakat yang mendorong KPU untuk membuat suatu terobosan demi mendapatkan wakil rakyat yang bersih dan benar-benar memegang amanah rakyat dengan tidak melakukan korupsi. Salah satu hal yang dilakukan KPU adalah menerbitkan peraturan yang melarang eks napi koruptor untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif.
 
Pada pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang No.7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum menyebutkan : “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan : tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam  dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.”
 
Larangan eks napi koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilu 2019 menuai dukungan dan apresiasi, namun tidak sedikit juga yang menolak dan menentang hal tersebut. Secara terbuka Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM sempat menolak larangan eks napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada pemilu 2019, selain bertentangan dengan Undang-undang No.7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum dan keputusan Mahkamah Konstitusi.
 
Selain itu, Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa apabila KPU tetap menerbitkan Peraturan KPU yang melarang eks napi koruptor untuk nyaleg selain akan menimbulkan kebingungan di masyarakat, maka akan terbuka kesempatan besar peluang peraturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui mekanisme Judicial Review/Uji Materi.
 
 
Manuver KPU
 
Seakan tidak perduli, akhirnya pada tanggal 30 Juni 2018 lalu KPU secara resmi menerbitkan Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019. 
 
Pada pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 tanggal 30 Juni 2018, secara spesifik disebutkan : “bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.
 
Jika memperhatikan Peraturan KPU terebut dengan berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikatakan pada pokoknya Peraturan KPU berkekuatan hukum mengikat sepanjang ‘diperintahkan’ oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 
 
Namun harus dipahami KPU adalah pelaksana pemilihan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No.7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Mengutip pendapat Kabiro Humas Kementrian Hukum dan HAM, Ajub Suratman, KPU berwenang membuat peraturan teknis pelaksanaan Pemilu, bukan membuat suatu norma hukum baru. Lebih lanjut, Peraturan KPU melarang eks napi koruptor nyaleg telah melanggar hak konstitusional seseorang untuk dipilih dan memilih serta bertentangn dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
 
Pasal 87 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 menyatakan : “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Frasa ‘diundangkan’ pada pasal ini, mensyaratkan agar dapat berlaku maka peraturan perundang-undangan haruslah disahkan/ diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM.
 
 
Pemerintah Cuci Tangan
 
KPU menyerahkan Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dapat disahkan/diundangkan dan berlaku efektif. Setelah melakukan diskusi dan sinkronisasi bersama dengan Menteri Hukum dan HAM, akhirnya pada tanggal 2 Juli 2018 Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 ini secara resmi disahkan oleh Pemerintah.
 
Namun ada yang menarik dari Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 yang sudah disahkan/diundangkan ini, yaitu mengenai larangan eks napi koruptor. Pada pasal 4 Peraturan KPU ini pada pokoknya menyebutkan ‘Partai politik dalam mengajukan calon legislatif harus melakukan seleksi terhadap calon tersebut dan tidak menyertakan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
 
[pilihan-redaksi2]
Sebelumnya Pemerintah berkeras menolak Peraturan KPU ini, dan sebaliknya KPU berkeras agar Peraturan KPU tersebut disahkan/diundangkan. Setelah dilakukan sinkronisasi, Pemerintah dan KPU sepakat melemparkan kewajiban menyeleksi calon legislatif mantan napi koruptor kepada Partai Politik. Secara substansi Peraturan KPU tanggal 30 Juni 2018 dengan yang sudah disahkan/ diundangkan pada tanggal 2 Juli 2018 tidak ada perbedaan yang signifikan, Pemerintah dan KPU hanya memindahkan bola panas kepada Partai Politik sebagai peserta pemilu.
 
Upaya KPU mencari wakil rakyat yang baik dalam Pemilu 2019 memang perlu diapresiasi, namun cara yang dilakukan oleh KPU kurang tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. KPU telah menggunakan kewenangannya secara berlebihan. Ditengah suasana tahun politik, KPU sebagai penyelenggara Pemilu seharusnya tidak membuat kebingungan di masyarakat.
 
 
Penulis : Roberto Leiwakabessy, SH., CLA. (advokat & auditor hukum)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami