search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Perdagangan Budak Perempuan Bali Pada Masa Kolonial Berkaitan Dengan Fenomena Pergundikan
Kamis, 2 Mei 2019, 06:17 WITA Follow
image

ilustrasi/rec.or.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Laris manisnya perdagangan budak perempuan Bali yang dijadikan sebagai pembantu rumah tangga pada masa kolonial tidak dapat dilepaskan dari adanya fenomena “pergundikan” di nusantara.

[pilihan-redaksi]
Dimana para gundik ini biasanya berasal dari para budak yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin, yaitu mereka yang tidak berada pada posisi negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apa pun.

Demikian terungkap dalam sebuah artikel berjudul “Perdagangan Budak Di Bali Pada Abad Ke XVII-XIX: Eksploitasi, Genealogi, Dan Pelarangannya” yang dipublikasikan dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, volume 20 nomor 1 tahun 2018. Artikel tersebut ditulis oleh I Wayan Pardi Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

I Wayan Pardi menuliskan bahwa perempuan yang dijadikan gundik adalah para budak perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.

Fungsinya yaitu all in, selain mengurusi rumah tangga, para perempuan itu juga mengurusi kebutuhan nafsu ranjang para tuannya. Mereka ini memang bukan pelacur yang memungut atas jasa yang telah diberikannya, tetapi mereka juga bukan istri yang sebenarnya, karena tak pernah menikah secara resmi.

[pilihan-redaksi2]
Praktik pergundikan sebenarnya didorong oleh adanya kebijakan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) pada pertengahan abad ke XVII yang membatasi imigrasi perempuan Belanda ke Nusantara, sehingga menyebabkan jumlah wania Belanda lebih sedikit daripada laki-lakinya. 

Kebijakan ini jelas menimbulkan dampak psikologi bagi para pegawai-pegawai VOC beserta serdadunya karena tidak memiliki tempat untuk memuaskan hawa nafsunya, sehingga memperbudak perempuan lokal untuk dijadikan gundik merupakan solusi untuk mengatasi permasalah seks tersebut.

I Wayan Pardi juga menuliskan jika perjalanan jauh orang-orang Belanda ke Pulau Bali untuk membeli budak sebenarnya hanya merupakan kamuflase, tujuannya utamanya adalah untuk mencari gundik untuk dijadikan pelayan seksual.

Bila para gundik ini jatuh ke tangan serdadu dan kelasi (golongan pangkat paling rendah dalam angkatan laut) yang bukan keturunan terdidik di kalangan Eropa, maka mereka akan diperlakukan sewenang-wenang, dan tidak ada saling pengertian di antara kedua belah pihak.

Namun sebaliknya, jika para gundik ini jatuh ke tangan para pejabat VOC, umumnya keduanya akan memiliki hubungan yang erat, baik sebagai istri ataupun gundik. [bbn/ Jurnal Masyarakat & Budaya/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami