Melompati Jenuh Lewat Akulturasi di Tampilan Kisah Candi Sanggariti
Sabtu, 13 Juli 2019,
15:00 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. “Ha e ha e..! Ha e ha e..!” dendang lantang para penabuh dan penari bangkitkan kembali spirit penonton yang kian akhir kian padat saja. Bak bius yang membuat mata melek kembali; sadar akan realita setelah hanyut terbawa arus khusyuk asmara di balik kisah Candi Sanggariti.
[pilihan-redaksi]
Desir angin tak mampu mendatangkan kantuk penonton. Waktu yang kian melarut justru menjadi pendamping setia penonton di kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, malam itu, Jumat (12/7) yang kian membara. Akulturasi budaya yang disuguhkan, mampu menutupi kemonotonan alunan gamelan. Tepuk tangan dan teriakan puas penonton pun menjadi hadiah termanis bagi Sanggar Karsa Budaya dari kabupaten Malang, Jawa Timur yang tampil malam itu.
Desir angin tak mampu mendatangkan kantuk penonton. Waktu yang kian melarut justru menjadi pendamping setia penonton di kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, malam itu, Jumat (12/7) yang kian membara. Akulturasi budaya yang disuguhkan, mampu menutupi kemonotonan alunan gamelan. Tepuk tangan dan teriakan puas penonton pun menjadi hadiah termanis bagi Sanggar Karsa Budaya dari kabupaten Malang, Jawa Timur yang tampil malam itu.
Para pemusik pun dengan santai dan riangnya menghadirkan bunyi indah sembari menikmati seni petunjukan tari di depannya. Para penari secara bergantian memamerkan gemulai dan lincahnya gerakan di atas karpet merah. Semuanya sukses menghasilkan perpaduan yang senada dan terstruktur sehingga kisah Candi Sanggariti pun melekat dalam benak penghuni Ayodya kala itu.
Akulturasi sengaja dipilih sebagai konsep pertunjukan dengan memperhitungkan kejenuhan penonton sebagai alasan. “Gamelan Jawa kan temponya agak lambat, jadi dengan sedikit sentuhan modernisasi diharapkan akan menghilangkan kejenuhan penonton,” harap ketua Sanggar Karsa Budaya, Agus Mardianto (34).
Terlalu terikat dengan pakem-pakem budaya, bukanlah gaya sanggar asal Kota Batu, Jawa Timur ini. Alhasil, pertunjukan yang terlalu lawas dan terkesan kaku pun dapat dihindari.
“Anak sekarang kebanyakan berkutat dengan handphone, jadi seni harus dibuat menarik dulu supaya generasi muda tertarik untuk mempelajarinya,” jelas Agus.
Membuat seni terlihat menarik, para kids jaman now tertarik mempelajarinya, kelestarian seni terjaga, dan diklaim oleh negara lain pun hanya menjadi wacana. Begitulah pemikiran pria kelahiran 23 Agustus 1984 ini.
[pilihan-redaksi2]
Sukses membawakan seni pertunjukan tari bertajuk “Giri Mantana Ing Sanggariti”, penampil yang berjumlah 40 orang ini memanfaatkan waktu yang tersisa untuk membius penonton dengan tarian-tarian serta gerakan dan bunyi gamelan yang tidak terlalu berat. Suasana menjadi semakin hidup, dan rasa jenuh pun berhasil ditebas oleh seniman-seniman Kota Batu.
Sukses membawakan seni pertunjukan tari bertajuk “Giri Mantana Ing Sanggariti”, penampil yang berjumlah 40 orang ini memanfaatkan waktu yang tersisa untuk membius penonton dengan tarian-tarian serta gerakan dan bunyi gamelan yang tidak terlalu berat. Suasana menjadi semakin hidup, dan rasa jenuh pun berhasil ditebas oleh seniman-seniman Kota Batu.
Bukan kapal yang berlayar tanpa arah dan tujuan, pementasan yang memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019, tentunya memiliki pesan tersirat sendiri. “Tidak ada hal yang tidak mungkin, sekiranya begitu,” tutur Agus.
Pria Leo ini menjelaskan pesan tersirat itu terlihat dari kegigihan rakyat dalam memindahkan kerajaan dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. (bbn/rls/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls