search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pendekatan Proksemika untuk Mengukur Jarak Fisik dan Sosial
Rabu, 29 April 2020, 16:35 WITA Follow
image

bbn/heta News

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.


Physical distancing dan social distancing, dua istilah yang mendadak popular beberapa bulan terakhir ini, selain stay at home (bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah), isolasi, karantina, lockdown, dan lainnya. Semua pendekatan terkait pemanfaatan ruang sosial tersebut, menjadi tawaran solusi yang bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di tengah pendemi Corona Virus Disease (Covid-19). 

[pilihan-redaksi]
Khusus istilah physical distancing dan social distancing, menjadi menarik ditelisik dari sisi tata ruang arsitektural. Pendekatan Proksemika yang secara luas diartikan Semiotika Ruang akan memudahkan memberi gambaran maksud penetapan “angka” ukuran jarak tertentu pada ruang-ruang publik yang dalam konteks kesehatan ternyata juga aman dari penyebaran virus Corona tersebut.
 
Proksemika (proxemics) merupakan kajian tentang bagaimana seorang manusia secara tidak sadar membangun struktur ruang mikro yakni jarak antar manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari, pengorganisasian ruang pada rumah tinggal dan bangunan-bangunan sampai kepada penataan wilayah dalam kota. Istilah ini dipopulerkan oleh antropolog Edward T. Hall (1963) melalui bukunya The Silent Language (Bahasa Diam) dan The Hidden Dimension (Dimensi Tersembunyi). 

Proksemika secara terbatas dikenal sebagai sebuah cara komunikasi non-verbal, sementara itu dalam pemahaman yang lebih luas dipahami sebagai Semiotika Ruang. Pada masa ketika Hall mengkaji Proksemika sesungguhnya tidak dilakukan pendekatan Semiotika, sebagai mana banyak ahli di masa kemudian menggolongkan Proksemika ke dalam bagian dari pendekatan Semiotika. 

Belakangan diketahui bahwa para pemikir Semiotikalah yang menganggap kajian Hall sebagai bentuk Semiotika, yakni Semiotika Ruang. Umberto Eco dan O.Michael Watson, para pemikir Semiotika yang kemudian mengkaji Proksemika secara eksplisit sebagai salah satu cabang Semiotika.

Hall (1996) membagi tiga kategori deskripsi Proksemika, yakni kategori jarak interpersonal, kategori ruang, dan kategori ketiga berhubungan dengan sistem notasi Proksemik. Dalam kaitan dengan kategori jarak interpersonal, Hall menggunakan budaya Amerika Utara. 

Ia membagi empat kategori jarak, yakni (1) jarak intim (fase dekat: 0 cm-15 cm); fase jauh: 15 cm-45 cm), (2) jarak personal (fase dekat: 45 cm-75 cm; fase jauh: 75 cm-120 cm), (3) jarak sosial (fase dekat: 120 cm-210 cm; fase jauh: 210 cm-360 cm), (4) jarak publik (fase dekat:360 cm-750 cm; fase jauh 750 cm).

Sampai di sini, jelaslah jarak fisik (physical distance) bisa mengacu pada jarak intim dan jarak personal, sedangkan jarak sosial (social distance) hendaknya mengacu pada jarak sosial dan jarak publik yang relatif akan menciptakan ruang antara yang lebih lebar. 

Kategori-kategori yang dirumuskan oleh Hall ini telah mewakili jarak interpersonal yang terkait dengan aktivitas harian manusia. Dimensi-dimensi yang menyangkut fase dekat dan fase jauh tersebut kendati demikian, sesungguhnya bersifat relatif. Kebiasaan dalam berbagai budaya memberikan pemahaman ruang yang beragam. Lebih-lebih budaya Timur dengan karakter masyarakat komunal, kolektif kolegia (gotong-royong).

Cirinya suka berkumpul “ngrumpi” dan biasanya memanfaatkan ruang-ruang publik (pos ronda, warung, pasar, tepat kerja, dan tempatlainnya). Pola prilaku masyarakat seperti ini menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan physical distancing dan social distancing di tengah ancaman wabah Covid-19.

Namun demikian, memanfaatkan sifat kegotong-royongan, empati, simpati, atau peduli kepada sesama, menjadi peluang tersendiri jika dikembangkan untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 secara bersama-sama. Dalam kaitan dengan penanggulangan Covid-19, di samping sejumlah pertimbangan kesehatan, rupanya penetapan kategorial jarak interpersonalnya sudah mengacu pada jarak sosialdari fase dekat-jauh yang ditentukan Hall.

Namun, dalam kategori tingkat kegawatan wabah tertentu, penetapan kebijakan jarak publiknya sudah melampaui pemikiran Hall saat itu. Kategori jarak interpersonalnya bahkan dilakukan dalam batasan jarak territorial, bukan saja sebatas kota, namun melampaui batas wilayah provinsi, pulau, bahkan negara seperti yang dilakukan saat ini.

Rupanya Proksemika atau pendekatan Semiotika Ruang akan menjadi rujukan rancang bangun pacsa pandemi Covid-19 ini. Pertimbangan dalam penataan ruang-ruang sosial utamanya fasilitas publik, tidak saja agar civitasnya nyaman, aman, efektif dan efisien dalam beraktivitas, namun pertimbangan ergonomisnya diperluas juga dari ancaman krisis kesehatan. 

Hal-hal tersebut merupakan pendekatan dari dunia Barat, yang sejatinya sudah ada dalam pengetahuan lokal kearsitekturan Bali. Bukankah dalam Asta Bhumi, Asta Kosala Kosali maupun manuskrip yang lainnya sudah ada sukat-sikut ‘ukuranjarak’ yang secara tidak sadar membangun struktur ruang mikro.

Misalnya struktur ruang untuk “mendekatkan diri” dengan segala manifestasi Tuhan dan roh suci leluhur, merupakan tanda simbolik yang dapat dibaca ulang menjadi jarak interpersonal dalam interaksi sosial masa kini, yakni disarankan jatuh pada perhitungan Sri, Indra, atau Guru, mengacu pada 1, 5-2, 5-3, 5 tapak kaki (sekitar 30, 60, 85 cm) atau pada kategori jarak intim dan jarak personalnya Hall.
 
Demikian juga halnya untuk menjauhkan diri dari paparan efek negatif atau agar aman dari pengelolaan pergulatan energi (kala), maka disarankan perhitungan jatuh pada Kala atau setara dengan 7,5 tapak kaki (sekitar 185cm). Hal ini setara dengan jarak sosialnya Hall. Tanda simbolik ini jelas mengarahkan pada social distancing yang aman bagi semua pihak dalam berinteraksi.

Jika dikaitkan dengan konteks pandemi Covid-19, bahkan jarak ini dapat dilipat gandakan (sekali, dua kali atau lebih), sesuai keperluan tingkat kegawatan. Satu contoh dilipat gandakan sekali, maka perhitungannya menjadi Astawara (8 tapak) ditambah 7,5 tapak, menjadi 15,5 tapak (sekitar 385 cm) atau setara dengan jarak publiknya Hall.

Inilah bentuk-bentuk komunikasi non-verbal,sebuah pendekatan Proksemika (Semiotika Ruang) masyarakat Bali, sebagai tanda simbolik yang sangat terbuka untuk dibaca ulang sehingga aplikatif dalam rancang bangun masa kini.

Penulis:

I Putu Gede Suyoga
Dosen Sekolah Tinggi Desain (STD) Bali Denpasar

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami