search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Somnophilia, Ketika Fantasi Menyimpang Menjadi Ancaman Nyata
Minggu, 13 April 2025, 19:37 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/liputan6.com/Somnophilia, Ketika Fantasi Menyimpang Menjadi Ancaman Nyata.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Dalam psikiatri, kita mengenal istilah paraphilic disorders, kelainan dalam dorongan seksual yang menyimpang dari norma sosial dan hukum. 

Somnophilia adalah salah satu bentuk paraphilic disorder yang tergolong langka, di mana seseorang merasakan rangsangan seksual terhadap individu yang sedang tidur atau tidak sadar. Ini termasuk dalam kelompok anomalous target preferences dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan sebagai diagnosis tersendiri, melainkan bisa diklasifikasikan sebagai Other Specified Paraphilic Disorder. 

Somnophilia adalah salah satu dari bentuk penyimpangan tersebut. Penderitanya umumnya sadar akan realitas, tahu bahwa perbuatannya dilarang secara hukum, tetapi memiliki dorongan atau fantasi seksual yang menyimpang.

Apa yang membuat seseorang terdorong melakukan hal sekejam itu? Apakah ini sekadar nafsu menyimpang, atau ada gangguan yang lebih dalam? Jawabannya tidak tunggal, namun sains memberi kita beberapa petunjuk. 

Pertama, banyak kasus somnophilia berakar pada fantasi dominasi dan kendali. Pelaku merasa “aman” ketika objek seksualnya tidak bisa melawan. Ini bukan lagi tentang cinta atau ketertarikan, melainkan dorongan untuk menguasai. 

Bisa jadi, ini lahir dari ketakutan akan penolakan atau ketidakmampuan menjalin hubungan yang setara. Kedua, beberapa kasus menunjukkan adanya komorbiditas dengan gangguan kepribadian, seperti antisosial atau narsistik. Pelaku merasa dunia berputar pada dirinya, dan kebutuhan orang lain termasuk hak atas tubuhnya sendiri diabaikan. 

Di sinilah moral dan empati terkikis. Ketiga, kita tak bisa menutup mata dari pengaruh pengalaman masa kecil atau remaja. Seseorang yang pernah menyaksikan atau mengalami pelecehan dalam kondisi tak sadar bisa menyimpan memori itu sebagai “pola rangsangan”. 

Fantasi yang berulang, ketika dikaitkan dengan kepuasan seksual (misalnya lewat masturbasi), bisa memperkuat jalur patologis di otak. Dalam dunia psikiatri, ini dikenal sebagai conditioning. Keempat, gangguan ini bisa dipicu oleh disfungsi kontrol impuls, yaitu ketidakmampuan menahan dorongan sesaat. 

Beberapa studi menunjukkan peran area prefrontal otak yang lemah, sehingga dorongan seksual yang menyimpang tak bisa difilter secara moral.

Sebagai psikiater, saya percaya bahwa gangguan jiwa harus ditangani secara serius dan empatik. Namun sebagai manusia dan dokter, saya juga percaya bahwa kekerasan seksual dengan modus apa pun adalah pelanggaran mendalam terhadap nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, kita tidak bisa melihat pelaku sebagai “penderita” belaka, karena ia juga adalah pelaku kejahatan yang menyisakan trauma mendalam bagi korban.

Korban yang dilecehkan dalam kondisi tak sadar akan menghadapi luka berlapis: kehilangan kendali atas tubuh, pelanggaran atas kepercayaan, dan rasa aman yang tercerabut dari dunia sekitarnya. Tak jarang, korban mengalami gangguan stres pascatrauma, depresi berat, psikotik bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. 

Pendampingan psikologis yang terintegrasi mutlak diperlukan dalam kasus seperti ini. Lebih luas lagi, kasus ini menyadarkan kita akan perlunya edukasi mendalam tentang etika, kesehatan mental, dan pengawasan lingkungan kerja terutama di dunia medis yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi siapa pun. 

Pendidikan kedokteran harus mulai menekankan pentingnya literasi seksual, empati, dan pengenalan dini terhadap gangguan perilaku menyimpang, agar bisa dicegah sebelum jatuh korban.

Gangguan seksual bukan sekadar kelainan, tetapi bisa menjadi ancaman jika tidak ditangani. Gangguan ini bisa dijelaskan secara medis, tetapi tidak bisa dijadikan pembenar untuk merusak hidup orang lain. Tindakan memperkosa orang yang sedang tidak sadar tetaplah kejahatan, apa pun motif dan latar belakang psikologisnya. 

Maka langkah kita ke depan harus lebih dari sekadar vonis: kita perlu membangun sistem perlindungan, kesadaran, dan dukungan psikososial yang kuat bagi korban, serta rehabilitasi yang tepat (bukan pembenaran) bagi pelaku. Dalam urusan kemanusiaan, tak ada ruang untuk kompromi, karena ketika kejahatan bersembunyi di balik istilah medis, maka kita semua berisiko menjadi korban berikutnya.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami