search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pendidikan Adaptif: Wajah Baru Pendidikan Kini
Senin, 18 Mei 2020, 11:25 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pendidikan adalah proses pembentukan manusia. Dunia kebudayaan Yunani, mengenal pendidikan sebagai paideia, yang berarti pendidikan atau pembentukan manusia menurut cita-citanya. Dari sana kemudian pendidikan dikenal sebagai pembangunan manusia. (Sastrapratedja 2013: iii). 


Dalam praksisnya, pendidikan tidak tanpa kaitan dengan budaya, karena dengan membentuk manusia, berarti pula membentuk sebuah budaya dan proses ini terjadi di dalam pendidikan. Dari sana, genaplah apa yang dikatakan Plato bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan. (Wibowo 2017: 60). Sejalan dengan itu, karena pendidikan adalah proses pembudayaan manusia, maka pendidikan membentuk manusia dan manusia menjadi asas dari pendidikan itu. Jadi aspek kuncinya adalah pendidikan dan pembudayaan seorang subjek (manusia). 


Terkait hal ini, Ki Hadjar Dewantara, sesepuh pendidikan Indonesia, pernah menegaskan idenya dalam Bhakti, No. 1, Th. III, Januari 1955: 11-13, bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi tuntunan bagi hidup setiap subjek, agar kelak dalam garis-garis kodrat pribadinya dan pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya, setiap subjek mendapatkan kemajuan dalam hidupnya, baik lahir maupun batin, menuju ke arah adab-kemanusiaan. Hal ini dikatakan Ki Hadjar, dengan tujuan bahwa dalam pendidikan, seorang subjek dibentuk dan ditempa, demi mendapatkan kemajuan.


Sejalan dengan itu, sebuah usaha atau proses pembudayaan yang terjadi dalam pendidikan perlu rasionalitas berpikir. Maka sejalan dengan apa yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara di atas, dalam pendidikan, terdapat upaya untuk mengembangkan dan mengedepankan rasionalitas berpikir sang subjek (manusia). Hal itu nyata lewat apa yang dimaksudkannya sebagai ‘rasionalisasi pendidikan pikiran’. Rasionalisasi pendidikan pikiran bertujuan untuk dapat memberi tempat dan waktu, pada pengembangan dan pengajaran budi-pekerti. (ibid).


Menengok situasi terkini dan dalam kaitan dengan uraian di atas, kita dimarakkan oleh model belajar online. Media pembelajaran yang ada kini, semuanya dalam bentuk daring. Para guru, pendidik dan subjek didik, di semua jenjang, tidak boleh tidak, mengupayakan diri (bekerja) memanfaatkan media daring ini. Setuju atau tidak, pembelajaran model demikian, harus dijalani mengingat situasi kita yang belumlah kondusif untuk belajar di sekolah. 


Maka, sebagai proses pembudayaan (pendidikan), tentu pembelajaran daring, sebagaimana yang dipraktekkan saat ini, membuat kita harus memiliki sikap yang adaptif, yang ditunjang oleh rasionalitas berpikir, kendati harus diakui, tidak semua bisa dengan mudah menyesuaikan dengan model pembelajaran terkini. Kendati demikian, di satu sisi, hal itu bisa saja baru, tapi di sisi lain, hal itu memang bagian dari sebuah kebudayaan yang sudah seharusnya ada, di mana kebudayaan yang dimaksud itu, justru membawa dampak positif bagi kebudayaan, dan akhirnya menyebabkan peradaban itu maju. 


Hal penting lain yang perlu diungkap adalah bahwa sebagaimana uraian Ki Hadjar Dewantara, setiap subjek yang dididik yang memiliki rasionalitas berpikir dalam pendidikan, harus adaptif dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Maka hemat penulis, yang paling bisa melakukan tindakan-tindakan strategis demi tetap menjadi bagian dari proses pembudayaan, adalah subjek (manusia), yang memiliki ketrampilan sebagaimana yang dimaksudkan. Maka tindakan strategis yang sangat dimungkinkan dilakukan oleh subjek, adalah model adaptif.


Dalam kaitan dengan pendidikan yang adaptif, muncul pertanyaan bagaimana yang dimaksudkan dengan pendidikan yang adaptif? Sebagai pembanding, misalnya, dalam dunia psikologi dikenal apa yang disebut dengan perilaku adaptif. Perilaku adaptif adalah sebuah tindakan (perilaku subjek-manusia) yang mampu berperilaku sesuai standar kebebasan, cakap baik sosial maupun personal, terutama dalam merespon dunia yang ada di luar diri. (bdk. Sattler, 1992). Pendek kata, perilaku adaptif adalah kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan norma atau standar yang berlaku di lingkungannya. 


Dari sini dapatlah dikatakan bahwa perilaku adalah bagian utuh dari pendidikan seorang subjek (manusia). Maka karena keutuhannya, pendidikan yang adaptif, ditunjang sepenuhnya oleh perilaku setiap individu (subjek-manusia) dalam proses pendidikan (baca: proses pembudayaan). Pribadi yang dididik, memilik perilaku adaptif, akan memiliki kecakapan, dalam hal melakukan sesuatu, menyelesaikan pekerjaan, mampu menyesuaikan diri, serta memiliki kemampuan untak memperlajari yang baru dan mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilliki pada situasis yang baru dan berbeda. 


Terkait dengan hal ini, di tengah maraknya pendidikan dan pengajaran yang memanfaatkan media daring (online), setiap individu, terutama para pengajar/pendidik dan subjek didik, harus untuk memiliki cara berpikir yang adaptif. Maka kemampuan adaptif adalah kemampuan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan saat ini, dapatlah dipandang sebagai model pendidikan yang adaptif, juga karena hal itu telah beradaptasi dengan model pembelajaran baru, yakni memanfaatkan media daring.

 
Dengan demikian, demi untuk terus melibatkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dunia pendidikan, kita tidak boleh mengabaikan model-model negara maju yang semakin gencar beradaptasi dengan model-model baru dalam pembelajaran. Kemampuan untuk beradaptasi ini diyakini mampu menyumbang banyak bagi peradaban. Maka, berkaca dari peradaban ini, pendidikan dan pengajaran kita, perlu juga adaptif dengan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Subjek yang siap dan adaptif, adalah subjek yang mampu membawa perubahan pada kebudayaan. Di saat itu, akan ada subjek yang terbuka, budaya baru dan cara pandang baru tentang budaya dan peradaban.

 

Penulis: 

Ambrosius M. Loho 
(Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat, Penulis dan Praktisi Musik Tradisional)

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami