COVID-19 Dalam Perspektif Kepastian Hukum Perlindungan Keselamatan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pandemi Corona Virus Diseases (Covid-19) sampai saat ini belum juga usai dan berdampak hampir di semua sektor, baik kesehatan, ekonomi, pariwisata maupun tatanan sosial masyarakat.
[pilihan-redaksi]
Covid-19 merupakan penyakit yang diidentifikasikan penyebabnya adalah virus Corona yang menyerang saluran pernapasan. Penyakit ini pertama kali dideteksi kemunculannya di Wuhan, Tiongkok.
Perdebatan mengenai kepastian hukum dalam praktik perlindungan keselamatan bagi tenaga kesehatan dan non kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lainnya di Indonesia tampaknya masih akan berlangsung dan masih akan berputar pada pusaran yang sama.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar.
Perlindungan keselamatan bagi tenaga kesehatan dan non kesehatan di lingkungan rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan yang menangani covid 19 baik di pusat maupun di daerah ( Provinsi dan Kabupaten/kota) saat ini menjadi salah satu masalah yang harus segera diselesaikan.
Tenaga kesehatan dan non kesehatan yang menjadi korban Covid-19 tidak semuanya menangani langsung pasien yang terkonfirmasi positif. Beberapa tenaga kesehatan dan non kesehatan diduga terinfeksi saat melayani pasien di praktik pribadi dengan pasien umum. Tidak adanya informasi status pasien dan keterbatasan alat pelindung diri (APD) diperkirakan menjadi faktor yang terkait sebagai penyebab.
Saat ini hampir semua tenaga kesehatan ataupun tenaga non kesehatan di rumah sakit menerapkan protokol pasien sebagai orang tanpa gejala (OTG) untuk mencegah risiko tertular. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi tenaga kesehatan dan non kesehatan di lingkungan rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan saat ini menjadi salah satu masalah yang harus segera diselesaikan.
Keselamatan kerja dijamin oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Kepastian perlindungan Keselamatan kerja juga termuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Pasal 86 Undang-Undang Ketenagakerjaan berbunyi: ”Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.”
Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016 tentang Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) rumah sakit. Perangkat hukum yang menjamin keselamatan tenaga kesehatan ataupun tenaga medis sebenarnya telah sangat cukup. Sejak ditetapkan status darurat kesehatan masyarakat, fokus pemerintah adalah menurunkan tingginya angka penularan dan angka kesakitan/ kematian. Di tingkat rumah sakit, perlindungan tenaga kesehatan terhadap infeksi yang bersumber dari pasien juga merupakan prioritas.
Dalam Peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja menetapkan bahwa pihak pengurus, dalam hal ini manajemen rumah sakit, wajib melakukan pengawasan terhadap semua kebutuhan peralatan yang terkait dengan kesehatan kerja, termasuk Alat Pelindung Diri (APD). Dalam situasi tanggap darurat, pemerintah juga menjadi pihak yang wajib menjamin ketersediaan APD di rumah sakit. Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi kesehatan diharapkan dapat memprioritaskan APD ke rumah sakit yang membutuhkan. Sangat disayangkan bahwa urgensi ketersediaan APD tenaga medis saat ini tidak seimbang dengan kenaikan jumlah kasus di masyarakat. Tenaga medis ataupun SDM lain di rumah sakit saat ini sangat minim perlindungan dari bahaya penularan virus.
Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan non kesehatan juga dapat diberikan melalui tuntutan tindak pidana kepada masyarakat yang masih tidak tertib untuk melaksanakan protokol penanggulangan wabah penyakit menular yang berdampak pada tertularnya tenaga kesehatan dan tenaga kesehatan atau bahkan mengakibatkan meninggal dunianya tenaga kesehatan dan non kesehatan maupun orang lain yang ikut terpapar. Tidak tertibnya melaksanakan standar protokol kesehatan penanggulangan Covid-19 dapat dikatakan memenuhi unsur dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular Covid-19.
Kepastian hukum merupakan instrumen penting dalam menjamin keselamatan tenaga kesehatan dan non kesehatan sehingga pemerintah tidak dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap penugasan tenaga kesehatan dan non kesehatan. Terlebih jika melihat peraturan perundang-undangan mengenai tenaga kesehatan dan non kesehatan nampaknya belum ada yang mengatur penjaminan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan dan non kesehatan meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Maka dari itu Pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis Undang-Undang Tenaga kesehatan dan undang-undang lainnya yang mengatur tentang perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi Tenaga kesehatan dan Non kesehatan di rumah sakit yang menangani covid 19.
Kasus Covid-19, yang merupakan pandemi global jelas menimbulkan kekhawatiran dari beragam kalangan, khususnya masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin menjadi-jadi dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat, serta melihat kurangnya kesiapan beberapa ranah yang cukup vital guna menanggulangi pandemi virus corona.
Maka dengan itu, masyarakat menuntut pemerintah agar dapat memberikan kepastian hukum perlindungan, sesuai amanat UUD 1945. Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, yakni adalah sebuah kebijakan guna menyikapi kasus Covid-19.
Penulis
I Gede Perdana Yoga, SH., MH
Staf Sub Bagian Pendidikan dan Kerjasama
Rumah Sakit Universitas Udayana
Reporter: bbn/opn