search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Asal Mula Gelar Ki Dalang Samirana dan Ruwatan Kelahiran Anak di Wuku Wayang
Sabtu, 9 Januari 2021, 22:00 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, KARANGASEM.

Tumpek Wayang merupakan salah satu dari sekian banyak hari yang dianggap istimewa bagi umat Hindu di Bali.

Tak hanya sekedar hari istimewa, menurut kepercayaan konon anak yang lahir pada Wuku Wayang ini dikatakan memiliki suatu kelebihan baik sifat - sifat maupun bakat yang istimewa entah itu hal yang bersifat positif maupun negatif.

Meski dikatakan memiliki kelebihan, namun untuk anak yang lahir pada Wuku Wayang ini harus menjalani bebayuhan weton yang disebut dengan ritual "Sapuh Leger" karena ada keyakinan bahwa anak yang lahir pada Tumpak Wayang atau di hari kelahiran Dewa Kala akan memiliki sifat negatif, karena hari itu dianggap memiliki nilai "Cemer" (kotor) dan dikhawatirkan akan dirundung malapetaka karena dikejar - kejar oleh Dewa Kala.

Lalu seperti apakah ritual "Sapu Leger" tersebut, berikut penjelasan dari Ida Bagus Dharma Wibawa Putra salah seorang Dalang Wayang "Sapuh Leger" dari Griya Taman, Desa Duda, Selat, Karangasem.

Kata Sapuh Leger di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian terhadap anak yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender tradisional Bali.

"Menurut lontar "Sapuh Leger", dikisahkan Dewa Siwa memberikan ijin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak yang dilahirkan pada Wuku Wayang untuk menghindari bahaya akibat dikejar - kejar Dewa Kala maka ada solusi yang merupakan keyakinan pula yakni memohon tirta atau air suci penglukatan dari pertunjukan Wayang Sapuh Leger," terang Ida Bagus Dharma dalam sebuah kutipan yang diberikannya.

Wayah Sapuh Leger hanya dipertunjukkan pada anak yang lahir pada Wuku Wayang dari hari Minggu hingga Sabtu terutama yang lahirnya persis pada Sabtu atau Saniscara Kajeng Kliwon Tumpek Wayang. 

Wayang Sapu Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar "Kala Purana" yaitu "Japa Kala dan Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kekawin Sang Hyang Kala dan Tutur Wiswakarma yang mengisahkan asal usul kelahiran dan perjalanan Betara Kala.

Dimana ayahnya, Dewa Siwa, memberikan ijin kepadanya untuk memangsa anak yang lahir pada Tumpek Wayang berikut jenis korbannya serta lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa terhadap Dewa Kala dengan memberikan teka teki peranan Dalang sebagai pemenang meredam kerakusan Kala.

Kata Sapuh Leger berasal dari kata Sapuh dan Leger dalam kamus Bali Indonesia, kata Sapuh yang artinya membersihkan dan Leger sinonim dengan kata Leget (bahasa jawa tercemar atau kotor) secara harfiah Sapuh Leger diartikan sebagai pembersihan atau penyucian dari keadaan tercemar atau kotor.

Sementara itu, menurut Lontar Sundarigama, diceritakan Batara Siwa mengutus Sanghyang Samirana turun kedunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia untuk mengatasi pengaruh negatif dari Sanghyang Kala yang merupakan benih dari Sanghyang Siwa.

Untuk melawan akibat yang tidak menguntungkan, orang Bali melakukan upacara penebusan dengan melakukan lukatan Sapuh Leger dengan harapan Tuhan akan menganugrahkan nasib baik pada anak yang lahir pada wuku tersebut.

Dengan adanya anugrah seperti itu, para Dewa kembali sangat kebingungan karena manusia sampai habis di dunia ini, akhirnya tanpa disadari Sang Hyang Siwa juga melahirkan seorang anak bernama Sanghyang Rare Kumara yang lahir pada Sukra Wage Wayang. 

Maka itu, Betara Siwa memberikan anugrah kepada Sanghyang Kala, kalau Sanghyang Kala boleh memangsa setiap orang yang lahir di wuku Wayang, "Nyen je lekad wuku wayang, matuhin wukun Idewa to, dadi idewa memangsa," begitu dikisahkan panugaran Sanghyang Siwa.

Setelah penugrahan tersebut, akhirnya berkali-kali sang Kala mengejar dan mencari Sang Rare Kumare. Hingga akhirnya kebetulan mereka bertemu dengan orang yang sedang menyelenggarakan upacara yang di dalamnya ada pertunjukan wayang.

Disana Sang Rare Kumara kemudian bertemu dengan Ki Dalang, kemungkinan Ki Dalang ini merupakan Penjelmaan dari Sang Hyang Iswara yang turun melihat keadaan Rare Kumare yang terus dikejar Sang Kala.

Di tempat tersebut Sang Hyang Kala melihat sesajen, kemudian sesajen tersebut disantap. Ki Dalang yang mengetahui hal tersebut kemudian menuntun Sang Kala untuk mengganti sesajen yang telah dimakan tersebut, namun Sang Kala tidak bisa mengganti sehingga akhirnya ada mandat dari Sang Kala yang mengatakan: 

"Hai kamu Ki Dalang, karena saya tidak bisa mengganti sarana upacara ini, sekarang kamu saya berikan mandat, barang siapa yang lahir pada Wuku Wayang, kalau sudah mendapatkan pengeruatan oleh kamu, saya tidak akan memangsanya, tetapi pada saat Anda meruwat, Anda harus bergelar Ki Dalang Samirana."

Reporter: bbn/krs



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami