search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Setelah 10 Tahun, Krama Subak Desa Adat Bedha Gelar Ngaben Tikus
Kamis, 6 Mei 2021, 08:50 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, TABANAN.

Krama subak di Desa Adat Bedha pada Rabu (5/5) menggelar ritual ngaben tikus yang bertujuan untuk menghilangkan hama di areal persawahan. 

Upacara ritual ini diikuti oleh 10 subak di kawasan desa adat tersebut yang merasakan dampak karena serangan hama pada lahan pertanian terutama oleh tikus. Upacara ritual ini kembali digelar setelah 10 tahun.  

Bendesa Adat Bedha, I Nyoman Surata menjelaskan, prosesi upacara Ngaben Bikul ini merupakan upacara Butha Yadnya. Sekalipun prosesinya hampir sama dengan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben untuk manusia.

“Intinya upacara Bhuta Yadnya. Cuma caranya mungkin sama seperti Pitra Yadnya. Bedanya, kalau di Pitra Yadnya, setelah kembali Panca Maha Buta, upacara dilanjutkan dengan mamukur atau ngarorasin. Ngaben Bikul tidak. Hanya sampai di pantai saja,” ujar Surata.

Dia menjelaskan, upacara Ngaben Bikul ini hanya digelar dalam waktu-waktu tertentu. Khususnya pada saat serangan hama terhadap tanaman milik petani tidak terkendali atau disebut dengan merana akeh. 

Lewat upacara ini, atma dari hama penyakit tersucikan secara niskala. Sehingga dalam siklus kehidupan berikutnya, hama tersebut tidak terlahir kembali ke bumi sebagai hama perusak.

“Secara sekala mungkin dilakukan dengan usaha pengropyokan. Kalau niskalanya, sesuai dresta, kami melaksanakan Mreteka Merana,” ujarnya.

Dia menyebutkan, selain dresta, upacara ini juga berpedoman pada beberapa sastra seperti Primbon Bali, Durga Dewa Durajana, Weda Puja Pitara Siwa, dan beberapa lagi yang lainnya. 

Raja Tabanan Ida Cokorda Anglurah Tabanan yang turut serta dalam upacara itu terlihat ikut naik ke atas bade sepanjang perjalanan ke pantai yang dilanjutkan dengan prosesi nganyut atau menghanyukan abu sisa pengabenan.

“Usai dibakar dihanyutkan ke segara atau laut dengan harapan mereka dapat tempat yang layak. Atau dalam siklus kehidupan berikutnya tidak lagi menjadi hama,” ujarnya.

Reporter: bbn/tab



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami