search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pelecehan di Kampus, Tindak Lanjut atau Tidak Lanjut?
Minggu, 21 November 2021, 13:30 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/Pelecehan di Kampus, Tindak Lanjut atau Tidak Lanjut?

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Tanya:
“Dok, aku sempat mengikuti dokter saat menjadi narasumber di agenda RUUPKS dan saat live tentang kekerasan seksual di kampus. Kebetulan aku juga sedang kecewa dengan kejadian yang aku alami. Pacarku, sempat mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. Sempat aku dampingi untuk melaporkan kasus ini, tetapi mentok di orang tuanya. Orang tuanya didekati pihak kampus untuk tidak melaporkan, demi nama baik kampus dan demi skripsi anaknya bisa segera tuntas, dengan katanya diberikan uang damai seadanya. Sementara dosennya malah tidak ada sanksi sama sekali, Dok. Bagaimana ini menurut dokter”. (JD,Malang)

Jawab:
Kasus kali ini bukan tentang keluhan seksual, tetapi tentang curhat kasus pelecehan seksual. Bukan pertama kalinya ada yang bertanya serupa. Kasus seperti ini memang cukup banyak. Banyak yang tidak menjadi laporan, karena sering kali menyangkut relasi kuasa. Justru kasusnya semakin marak saat ini. Sehingga tidak aneh juga akhirnya Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyebutnya dengan istilah “pandemi kekerasan seksual di dunia pendidikan”, walau sesungguhnya bukan sesuatu yang baru terjadi. Ini sudah terjadi sejak lama dan menjadi catatan buruk institusi pendidikan yang seharusnya melahirkan para intelektual-intelektual baru dan bukan malah korban pelecehan seksual yang akhirnya juga memunculkan pelaku-pelaku baru.

Coba disimak survei yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, disebutkan sebanyak 77 persen dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63 persen di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap stigma dan merendahkan nama baik institusi. Komisi Nasional Perempuan juga menemukan terdapat 27 persen aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020.

Karenanya justru terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sudah seharusnya didukung, karena ini adalah langkah yang progresif di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.  Selama ini tidak ada satupun regulasi yang dapat dipakai untuk menindak pelaku kekerasan dan pelecehan seksual, yang akhirnya membuat kasus menguap tidak terdengar dan korban seringkali menjadi mengalami tekanan psikologis berkepanjangan. Di samping trauma psikis, juga bisa mengakibatkan permasalahan fisik seperti infeksi kelamin, hingga kehamilan tidak diinginkan juga tercatat.

Bagaimana dengan polemik “consent” di dalamnya tentang diksi persetujuan dalam berhubungan seksual. Tentu saja itu bisa jadi penting, tetapi bukan di peraturan ini tempatnya. Justru peran edukasi yang penting untuk membiasakan setiap orang sanggup mengendalikan dorongan seksual dan berperilaku seksual yang bertanggung jawab. Ini justru harusnya sudah disadari harus mulai bisa diberikan edukasi seksual sejak dini dan dimulai di dalam keluarga. Ini adalah tanggung jawab dan peran semua orang. 

Kasus kekerasan seksual yang sejauh ini terlaporkan di kampus sesungguhnya hanyalah puncak gunung es dari puluhan ribu, bahkan ratusan ribu kasus yang sebenarnya terjadi. Sementara pihak kampus sering kebingungan menangani laporan kekerasan seksual karena sebelumnya tidak ada aturan dan panduan yang jelas terkait itu. Jadi peraturan menteri ini akan memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas karena kampus wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Dalam kasus yang diceritakan kali ini, diakui telah terjadi pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsi terhadap mahasiswi bimbingannya yang berakhir damai dengan pihak keluarga, tanpa ada tindak lanjut pada dosen pelaku. Apakah pihak kampus sudah berpikir bahwa jika kasus semacam ini dihentikan tanpa ada tindak lanjut maka semuanya akan selesai? Pernah berpikir dengan trauma psikis korban? Belum lagi ketiadaan sanksi pada pelaku membuatnya menjadi tidak jera dan memiliki potensi pengulangan, bahkan bisa ditiru oleh yang lain? Memunculkan pelaku baru. Berulang dan berulang. Sudah saatnya semua ini dihentikan dengan dasar hukum yang jelas, dan kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 ini bisa jadi adalah jawabannya. 

Jadi, jika ada kekerasan seksual di kampus, mesti ada “tindak lanjut” atau malah “tidak lanjut”? Seharusnya, tindak lanjut adalah pilihannya. 

Reporter: bbn/oka



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami