Seniman Visual Effects Indonesia Masuk Industri Film Australia
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Beberapa animator asal Indonesia berhasil menembus layar industri perfilman Australia, di saat masalah gaji dan waktu kerja masih jadi tantangan animator di dalam negeri.
Nathania Calosa Nema, asal Semarang, kini bekerja sebagai seniman efek visual, 'VFX compositor', di kota Adelaide. Osa sudah pernah mengerjakan film Elvis, serial Netflix berjudul Man vs. Bee, dan film produksi Marvel yaitu Thor: Love and Thunder.
"Ini adalah mimpi yang jadi kenyataan, saya dari dulu sudah pengen banget," katanya.
"Berhubung saya pasti mau bertahan di industri ini, saya berharap bisa naik level dari junior ke mid dan lama-lama senior untuk bisa bantu yang junior."
Menurut Osa, panggilan akrabnya, industri perfilman di Australia saat ini sedang maju. Karenanya tidak heran jika Pemerintah Australia memberikan visa bagi pekerja industri film, televisi, dan lainnya di dunia hiburan.
Osa sendiri menggunakan visa jenis 'Entertainment Activities stream' yang masa berlakunya maksimal dua tahun. Visa ini sudah ada di Australia sejak tahun 2016, dan dulunya merupakan visa subclass 420 yang mengikuti aturan migrasi tahun 1994.
Untuk mendapatkan visa ini, ia harus menyertakan bukti kontrak kerja dengan perusahaan di Australia. Kementerian Dalam Negeri Australia mencatat sudah memberikan 137 visa jenis ini di periode 2018-2019 dan 44 visa di periode 2021-2022.
"Pelamar Amerika Serikat adalah pengguna terbanyak visa ini," kata juru bicara departemen tersebut kepada ABC Indonesia.
Namun, Departemen Dalam Negeri Australia tidak melaporkan jumlah pelamar visa tersebut. Soal gaji, Osa mengaku "cukup" mengingat biaya hidup di Australia yang juga tinggi saat ini.
Tapi satu hal yang paling ia syukuri adalah kondisi 'work-life balance' atau seimbangnya bobot kerja dan kehidupan di luar jam kerja, selain juga rekan kerja yang menurutnya suportif.
"Saya merasa masih banyak kekurangan tapi tetap dipertahankan. Teman kerja juga sabar mengajari saya," kata Osa yang bekerja di Rising Sun Pictures."
Sudah 15 tahun, Davi Soesilo, warga asal Malang berkiprah di industri perfilman Australia. Ia sudah pernah mengambil beberapa bagian dalam produksi film, termasuk memegang kamera dan akting, namun kebanyakan mengerjakan 'visual effects' di lokasi syuting.
"Saya menjadi penghubung di set sama post-production," kata Davi.
"Jadi saya mengambil foto background, objek, orang, dan semua informasi untuk pengolahan film atau post-production … dan kita koordinasi seberapa persen [set] yang dibangun asli dan berapa yang harus di post-production."
Davi sudah pernah terlibat dalam puluhan film, yang di antaranya adalah nama besar, seperti Thor: Love and Thunder, Shang-Chi and the Legend of Ten Rings, Mortal Kombat, Murder on the Orient Express, dan The Wolverine.
Perjumpaan dengan aktor dan aktris juga sudah jadi hal biasa bagi Davi.
Tapi tetap saja, ia kadang masih tidak percaya melihat mereka yang biasanya hanya dari layar kaca, seperti Tony Leung Chiu-wai, Natalie Portman dan Hugh Jackman kini menjadi rekan kerjanya.
Kesempatan bertemu mereka dimanfaatkan Davi bertukar pikiran, termasuk dengan sutradara.
Menurutnya, beberapa dari mereka bahkan "asik diajak ngomong."
Di sela-sela syuting, pria asal Malang tersebut juga pernah bermain basket dengan aktor Simu Liu, yang berperan dalam film Shang Chi.
"[Momen berkesannya] mungkin yang waktu syuting Shang Chi saya diminta untuk menjadi Morris, binatang CGI. Jadi saya harus pakai tongkat atau main boneka pakai tali supaya aktornya bisa akting bersama dia," katanya.
"Kebetulan di adegan itu syuting bersama Ben Kingsley, Michelle Yeoh, dan Simu Liu, dan karena saya S1-nya Teater, ya akhirnya bisa main teater lagi."
Tapi perjuangan Osa dan Davi untuk bisa sampai ke titik ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Osa yang pernah kuliah di Selandia Baru juga sempat bekerja part-time di kafe, sebelum akhirnya mendapat proyek Power Rangers Breast Morphers dan Power Rangers Dino Fury.
Sementara Davi pernah bekerja sebagai tukang cat bangunan, perawatan gedung, hingga aktor ekstra film. Ia pun sampai pernah pindah ke Bangladesh untuk bekerja di bidang 'post-production' film, sembari membantu organisasi nirlaba dan gereja di sana.
"Segala hal dilakukan untuk bertahan sampai dapat kerja [yang diinginkan]," ujar Davi.
Menurutnya, kunci untuk bisa bekerja di industri tersebut adalah dengan menambah keterampilan sebanyak mungkin.
"Pokoknya pengalaman tetap ditambah, sehingga pas ada kesempatan, perusahaan akan berpikir, 'Oh, orang ini sudah mengerjakan semua'," katanya.
Sementara itu, Osa menekankan pentingnya membangun jaringan atau 'network' dengan pelaku industri tersebut.
"Kalau tidak mengirim 'showreel' [portfolio], mengirim email, berhubungan dengan orang di LinkedIn, tanya feedback 'showreel', mereka enggak mungkin tahu kita ada," kata Osa.
"Setelah melihat situs perusahaan yang membuka lowongan, bisa buka LinkedIn, kasih tahu HRD bahwa kita sudah apply."
Bekerja secara virtual untuk perusahaan asing
Di Bali, Aryo, bekerja sebagai 'visual effects (VFX) artist', termasuk di sebuah rumah produksi film di Jakarta selama empat tahun.
Menurutnya banyak sineas di Indonesia seperti dirinya yang masih kurang dihargai, baik dari segi gaji atau jam kerja.
"Di industri VFX Indonesia banyak yang lembur-lembur sampai jam 3 pagi [tanpa dibayar]," katanya.
Aryo kemudian berusaha mencari lowongan kerja sebagai 'freelance' di perusahaan asal luar negeri dan sejauh ini ia sudah dipekerjakan perusahaan Amerika Serikat dan Kanada.
Perbedaan waktu memang jadi tantangannya, tapi Aryo mengaku tertarik dengan tawaran gaji yang lebih besar, serta keseimbangan antara waktu kerja dan istirahat, atau 'work-life balance', yang lebih baik.
Menurut Aryo, gaji di perusahaan asing "tidak bisa dibandingkan" dengan di Indonesia karena mereka bisa membayar pemula 10 kali lipat lebih tinggi.
"Attitude [perilaku] orang luar lebih apresiatif, ibaratnya saya sama superior saya, biar pun dia lebih tinggi jabatannya tapi saya tetap merasa dia bagian dari tim, bukan kasarnya kayak majikan," katanya.
"Kita diapresiasi sebagai seniman, bukan mesin perusahaan. Soal lembur itu pilihan dan kalau ambil, nanti akan dibayar."
Aryo mengatakan mungkin tidak semua perusahaan di luar punya budaya kerja yang sama, tapi dari pengalamannya bekerja untuk perusahaan Indonesia dan Kanada "lumayan berbeda jauh".
Menurut Aryo, animator asal Indonesia sudah terbukti tidak kalah hebat.
"Hanya saja di Indonesia fasilitasnya kurang dan bidang ini belum didukung sepenuhnya dalam sistem belajar-mengajar," katanya.
Reporter: bbn/net