Pernikahan Dini di Bali Meningkat, KPPAD Dorong Pencegahannya Lewat Aturan Adat
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kasus pernikahan anak di Bali menunjukkan peningkatan yang memprihatinkan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali, pada tahun 2024 terdapat 368 anak yang mengajukan dispensasi menikah ke pengadilan.
Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yang tercatat sebanyak 335 anak pada tahun 2023.
Ketua KPPAD Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yasti, menjelaskan bahwa meskipun jumlah pengajuan dispensasi meningkat, data ini belum mencerminkan jumlah pernikahan anak yang sebenarnya. Pasalnya, banyak keluarga yang memilih melakukan pernikahan anak secara adat tanpa melibatkan pengadilan.
“Angka ini belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya, karena banyak keluarga yang melakukan pernikahan secara adat dan agama, tanpa mengajukan dispensasi ke pengadilan,” jelas Gede Yasti.
Menurut Undang-Undang Perkawinan yang berlaku, perkawinan baru dapat dilakukan jika usia calon pengantin telah mencapai 19 tahun. Namun, meskipun aturan ini ada, praktik pernikahan anak masih marak, dengan salah satu kasus paling muda di tahun 2024 melibatkan seorang anak perempuan yang baru berusia 13 tahun. Rata-rata, calon pengantin pria berusia di atas 20 tahun, sementara perempuan yang menikah sebagian besar berusia di bawah 18 tahun.
Pernikahan anak di Bali umumnya dipicu oleh berbagai faktor, antara lain kehamilan di luar nikah, kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan anak, serta kondisi ekonomi yang lemah. Yasti menambahkan bahwa banyak keluarga yang melihat pernikahan anak perempuan sebagai cara untuk mengatasi masalah ekonomi, dengan harapan bisa melepaskan beban finansial kepada suami setelah pernikahan.
“Seringkali, pernikahan anak dianggap solusi untuk masalah ekonomi keluarga,” tambahnya.
Namun, Yasti juga menyoroti potensi penyalahgunaan dispensasi menikah, terutama dalam kasus di mana anak perempuan dinikahkan karena kehamilan.
“Kami khawatir pengajuan dispensasi menikah ini digunakan untuk menutupi tanggung jawab pidana, terutama jika anak tersebut menjadi korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Dampak dari pernikahan anak cukup serius, antara lain terjadinya putus sekolah, pengasuhan yang buruk, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan. Gede Yasti juga mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Bali. Pada tahun 2023 tercatat 396 kasus kekerasan, dan pada tahun 2024 sebanyak 361 kasus. Sebanyak 40 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan seksual, sementara 35 persen merupakan kekerasan fisik.
Untuk itu, KPPAD Bali berharap agar Pemerintah Provinsi Bali lebih serius dalam mengevaluasi program pencegahan pernikahan dini. Selain itu, mereka juga mendorong Majelis Desa Adat (MDA) untuk mengeluarkan peraturan desa adat yang melindungi anak-anak dan mencegah pernikahan dini di tingkat desa.
"Dengan adanya peraturan desa adat atau pararem yang mengatur perlindungan anak, diharapkan dapat mengurangi pernikahan dini dan dampak negatif lainnya yang mungkin timbul," tambah Yasti.
Pernikahan anak di Bali terutama terjadi di Kabupaten Jembrana, yang mencatatkan jumlah pengajuan dispensasi menikah terbanyak, yakni 140 anak. Diikuti oleh Kabupaten Bangli dengan 51 anak, Karangasem dengan 44 anak, dan Klungkung dengan 27 anak.
Sementara itu, data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Bali menunjukkan bahwa jumlah anak usia 0-18 tahun di Bali pada tahun 2024 mencapai 1.337.761 orang. (sumber: kumparan)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net