Tingginya Permisif Politik Uang di Bali, Alarm bagi Demokrasi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Survei terbaru yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana (LPPM Unud) mengungkap fakta mencengangkan tentang tingginya toleransi masyarakat terhadap politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bali 2024.
Sebanyak 58 persen responden menganggap politik uang sebagai hal yang wajar, sementara 52,8 persen mengaku menerima uang tetapi tetap memilih sesuai hati nurani. Fakta ini menjadi peringatan bagi masa depan demokrasi di Bali.
"Jadi kita melihat alarm bahwa masyarakat semakin permisif terhadap politik uang melalui serangkaian Pemilu yang mereka lalui sampai hari ini," ujar Ketua Tim Peneliti, Kadek Dwita Apriani, dalam pemaparan hasil survei di KPU Bali, Jumat (14/3).
Survei yang dilakukan dengan metode multistage random sampling ini melibatkan 800 responden di sembilan kabupaten/kota Bali. Dengan margin of error 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, hasil survei ini menunjukkan bahwa bentuk politik uang yang paling disukai masyarakat adalah uang tunai (35,8 persen), sembako (26,6 persen), sumbangan untuk tempat ibadah (17,9 persen), serta bantuan upacara adat (8,4 persen).
Menariknya, meskipun politik uang marak terjadi, 29 persen responden menyatakan menolak uang dan tidak memilih calon pemberi uang, sementara 15,1 persen mengaku menerima dan memilih calon yang memberikan uang. Sisanya, sebanyak 3,1 persen memilih tidak menjawab.
Tingginya angka penerimaan politik uang memunculkan pertanyaan tentang efektivitas edukasi politik yang dilakukan pemerintah dan penyelenggara pemilu. Meski demikian, Dwita menilai bahwa tingginya angka tersebut bukan berarti KPU gagal dalam melakukan sosialisasi.
"Kita nggak bisa bilang gagal juga karena jumlah dari mereka yang menormalisasi ini memang naik tapi apakah itu adalah indikator kegagalan KPU? Ada banyak indikator dari keberhasilan dan kegagalan penyelenggaraan pemilu, di aspek ini mungkin adalah aspek yang perlu diperbaiki," katanya.
Sementara itu, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2024 tercatat stagnan di angka 71,9 persen, yang menunjukkan bahwa upaya peningkatan kesadaran politik masih perlu digalakkan.
Komisioner KPU Provinsi Bali, I Gede John Darmawan, mengaku terkejut dengan hasil survei ini dan menyadari bahwa KPU memiliki pekerjaan rumah besar dalam meningkatkan literasi politik masyarakat. Menurutnya, pragmatisme pemilih terhadap politik uang akan berdampak pada tingginya biaya politik bagi calon kepala daerah dan legislatif.
"Memang hasilnya mengejutkan ya makin permisifnya pemilih di Bali terhadap money politics, itu kan menjadi hal pragmatisme dalam demokrasi," katanya.
Darmawan menambahkan bahwa budaya gotong royong dan kebiasaan masyarakat berdana punia (sumbangan) ke tempat ibadah atau kegiatan sosial juga menjadi faktor yang membuat batas antara politik uang dan sumbangan sosial menjadi samar di mata masyarakat.
"Kan masyarakat komunal, ada banjar dan segala macam. Ada kebiasaan berdana punia untuk membantu, itu kan sifat gotong royong yang ada. Ini yang akhirnya dianggap bahwa ketika seseorang berdana punia di luar masa kampanye, itu tidak termasuk politik uang," jelasnya. (sumber: kumparan)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net