search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Olahraga Teratur Ditemukan Tekan Risiko Parkinson Pada Perempuan
Rabu, 31 Mei 2023, 07:03 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Olahraga Teratur Ditemukan Tekan Risiko Parkinson Pada Perempuan

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Sebuah studi baru menemukan berolahraga secara teratur dapat mengurangi risiko terkena penyakit Parkinson pada perempuan.

Perempuan yang paling banyak berolahraga memiliki tingkat 25 persen lebih rendah untuk mengalami penyakit Parkinson jika dibandingkan dengan mereka yang paling sedikit berolahraga.

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Neurology pada Rabu (17/5) ini juga menemukan bahwa 10 tahun sebelum didiagnosis, tingkat olahraga menurun lebih cepat pada mereka yang menderita Parkinson dibandingkan mereka yang tidak menderita Parkinson. Penurunan ini diduga terjadi akibat gejala awal penyakit Parkinson yang mulai muncul.

Para ahli menyarankan agar temuan ini mendukung pembuatan program olahraga untuk membantu menurunkan risiko Parkinson.

"Olahraga adalah cara yang murah untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. Jadi penelitian kami berusaha untuk menentukan apakah olahraga dapat dikaitkan dengan risiko lebih rendah terkena penyakit Parkinson, penyakit yang melemahkan dan tidak ada obatnya," ucap salah satu penulis studi Alexis Elbaz, melansir The Independent.

Dengan penelitian besar ini, kata Elbaz, para peneliti tidak hanya menemukan bahwa partisipan perempuan yang paling banyak berolahraga memiliki tingkat yang lebih rendah terkena penyakit Parkinson, namun mereka juga menunjukkan bahwa gejala awal penyakit itu tidak bisa menjelaskan temuan mereka. Sebaliknya, olahraga justru bermanfaat dan dapat membantu menunda dan mencegah penyakit ini.

"Hasil penelitian kami mendukung pembuatan program olahraga untuk membantu menurunkan risiko penyakit Parkinson," ucapnya.

Penelitian ini melibatkan sebanyak 95.354 partisipan perempuan. Sebagian besar berprofesi sebagai guru, dengan usia rata-rata 49 tahun yang tidak memiliki penyakit Parkinson pada awal penelitian.

Para perempuan tersebut diikuti selama tiga dekade di mana 1.074 di antaranya mengalami Parkinson, dan selama penelitian diminta untuk mengisi hingga enam kuesioner.

Mereka ditanya seberapa jauh mereka berjalan, berapa banyak anak tangga yang mereka naiki setiap hari, berapa jam yang mereka habiskan untuk kegiatan rumah tangga, serta berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk melakukan kegiatan rekreasi ringan seperti berkebun dan kegiatan yang lebih berat seperti olahraga.

Para peneliti memberikan skor untuk setiap aktivitas berdasarkan metabolic equivalent of a task (METs), sebuah cara untuk mengukur pengeluaran energi. Tingkat aktivitas fisik rata-rata peserta adalah 45 METs-jam per minggu pada awal penelitian.

Perempuan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kelompok yang sama yang masing-masing terdiri dari lebih dari 24 ribu orang.

Pada awal penelitian, mereka yang berada di kelompok tertinggi memiliki skor aktivitas fisik rata-rata 71 METs-jam per minggu, sementara mereka yang berada di kelompok terendah memiliki skor rata-rata 27.

Hasilnya, pada kelompok yang paling banyak berolahraga, terdapat 246 kasus penyakit Parkinson, dibandingkan dengan 286 kasus pada kelompok yang paling sedikit berolahraga.

Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor seperti tempat tinggal, usia saat pertama kali menstruasi, status menopause, juga kebiasaan merokok, para peneliti menemukan bahwa mereka yang berada dalam kelompok olahraga tertinggi memiliki tingkat 25 persen lebih rendah terkena penyakit Parkinson dibandingkan dengan mereka yang berada dalam kelompok olahraga terendah ketika aktivitas fisik dinilai hingga 10 tahun sebelum diagnosis.

Mereka menemukan bahwa hubungan ini tetap ada ketika aktivitas fisik dinilai hingga 15 atau 20 tahun sebelum diagnosis.

Hasil yang ditemukan para peneliti pun tetap sama setelah disesuaikan dengan pola makan atau kondisi medis seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.(sumber: cnnindonesia.com)
 

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami