search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Bali: Antara Harapan dan Realita
Selasa, 28 Maret 2023, 14:34 WITA Follow
image

beritabali/ist/Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Bali: Antara Harapan dan Realita.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Istilah pengelolaan sampah berbasis sumber cukup ramai dibahas di Bali setelah Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. 

Peraturan ini mengatur bahwa setiap rumah tangga dan sejenisnya wajib melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber, yaitu mengurangi, memilah, mengolah, dan memanfaatkan sampah sesuai dengan kemampuan dan kreativitas masing-masing. Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019 Nomor 47 Tahun 2019 ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Di Desa/kelurahan Dan Desa Adat.

Istilah "pengelolaan sampah berbasis sumber" pertama kali muncul sekitar awal 1990-an. Konsep ini mulai populer di kalangan para ahli lingkungan dan praktisi pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah berbasis sumber memfokuskan pada pengurangan jumlah sampah yang dihasilkan dan memanfaatkan kembali sumber daya alami yang terkandung dalam sampah, seperti memanfaatkan limbah organik untuk menghasilkan pupuk kompos atau energi biogas. 

Konsep ini sangat penting dalam meminimalkan dampak negatif sampah terhadap lingkungan dan memperbaiki keberlanjutan pengelolaan sampah di masa depan. Sebelum istilah "pengelolaan sampah berbasis sumber" didengungkan telah ada konsep zero waste yang ditawarkan sejak tahun 1970-an. 

Zero waste selama ini sering dikaitkan dengan produksi bersih atau produksi dengan jumlah residu yang sangat minim atau bahkan tidak ada. Konsep ini pada prinsipnya mengajak produsen sampah atau limbah untuk bertanggungjawab terhadap sampah yang dihasilkan.

Implementasi zero waste juga menekankan optimalisasi pemakaian bahan baku sehingga penggunaan bahan baku lebih efisien dan pengambilan secara besar-besaran dari alam dapat dihindari. Khusus di Bali sebelum istilah "pengelolaan sampah berbasis sumber" ditawarkan, Bali juga telah mengadaptasi slogan “Bali Clean and Green”. Ditinjau dari tujuan akhir adalah upaya mewujudkan Bali yang bersih, sehat, nyaman dan indah. 

Pengelolaan sampah berbasis sumber diharapkan dapat mengurangi volume dan jenis sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), serta meningkatkan nilai ekonomi dari sampah. Pengelolaan sampah berbasis sumber juga diharapkan dapat membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.

Namun, apakah pengelolaan sampah berbasis sumber sudah berjalan dengan baik di Bali? Apa saja tantangan dan solusi yang dihadapi dalam menerapkan peraturan ini? Bagaimana evaluasi dan saran untuk perbaikan ke depan?

Implementasi pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali mengalami kendala yang cukup kompleks. Salah satu tantanganya adalah pertumbuhan penduduk yang cepat dan pariwisata yang berkembang pesat. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan pariwisata yang berkembang pesat di Bali menyebabkan jumlah sampah yang dihasilkan semakin meningkat, sementara sistem pengelolaan sampah yang ada masih terbatas. 

Apalagi kurangnya infrastruktur dan teknologi yang memadai. Infrastruktur dan teknologi pengelolaan sampah di Bali masih terbatas, sehingga pengelolaan sampah yang dilakukan masih banyak yang tidak memenuhi standar.

Sosialisasi pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali belum dapat dikatakan maksimal. Meskipun sudah banyak kampanye dan program yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah berbasis sumber, namun masih banyak masyarakat yang tidak peduli atau tidak memiliki akses informasi yang cukup tentang hal ini. 

Bukti yang menunjukkan bahwa sosialisasi pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali belum maksimal salah satunya masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak memahami pentingnya membuang sampah pada tempat yang sesuai dan tidak memahami konsep pengelolaan sampah berbasis sumber. Strategi sosialisasi, edukasi dan distribusi informasi masih perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih peduli dan terlibat dalam program pengelolaan sampah.

Kedepan perlu ada upaya yang lebih maksimal lagi dalam menyosialisasikan pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali, seperti peningkatan program edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif dan terstruktur, pemanfaatan media sosial atau teknologi digital lainnya, serta partisipasi aktif dari berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis sumber.

Tantanganya lainnya yang menjadi realitas permasalahan di lapangan adalah belum adanya persepsi yang sama antara pemerintah daerah dan desa/kelurahan/desa adat tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Beberapa desa/kelurahan/desa adat merasa bahwa pengelolaan sampah bukan kewenangan mereka, melainkan pemerintah daerah. Padahal, Undang-Undang Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri, termasuk pengelolaan sampah.

Realita permasalahan berikutnya yaitu keterbatasan lahan untuk tempat pengelolaan sementara (TPS) atau tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) 3R (reduce, reuse, recycle). Kenyataannya tidak semua desa/kelurahan/desa adat memiliki lahan yang cukup untuk membangun TPS atau TPST 3R. 

Beberapa desa/kelurahan/desa adat mengajukan permohonan pemanfaatan aset provinsi untuk TPS atau TPST 3R, namun prosesnya masih lama dan rumit. Kendati kemudian terdapat aset provinsi yang dapat digunakan, permasalahan berikutnya muncul perdebatan di masyarakat desa karena tempat yang akan menjadi lokasi pembangunan TPST tidak sesuai dengan asta kosala-kosali, karena lokasinya berada di hulu desa. 

Beberapa desa di Bali secara swadaya dan telah menjadi pelopor dalam penerapan pengelolaan sampah berbasis sumber, sayangnya belum seluruh desa memiliki TPST. Semangat ini tentunya harus didorong oleh pemerintah melalui pemberian insentif, sehingga desa-desa lainnya terpacu untuk melakukan hal yang sama. 

Apalagi masih ada desa yang melakukan pengambilan dan pengangkutan sampah dari rumah-rumah warga kemudian membuang ke tempat pembuangan sementara. Perilaku ini tentunya tidak sesuai dengan tulisan yang dibuat di badan kendaraan pengangkut sampah yang bertuliskan “Pengelolaan Sampah Swadaya”. 

Tantangan berikutnya terkait keterbatasan sumber daya manusia (SDM), alat, dan jejaring kerja dalam pengelolaan sampah. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan sampah masih jauh dari kebutuhan. Keterbatasan SDM bukan hanya masalah jumlah, tetapi juga masalah pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan sampah. 

Alat pengolah sampah juga masih sangat terbatas dan belum ada bengkel perbaikannya. Jejaring kerja yang siap menampung hasil pengolahan sampah juga masih kurang. Banyak jenis sampah yang sulit didaur ulang atau dimanfaatkan karena tidak ada peminatnya atau harganya sangat murah.

Aktivitas pengelolaan sampah berbasis sumber yang dilakukan di TPST ataupun di sosialisasikan ke masyarakat melalui penyuluhan langsung ataupun melalui media masih sebatas mengolah sampah organik menjadi kompos dan non-organik di jual ke pengepul barang bekas atau dijadikan kerajinan. Mengedepankan konsep pengelolaan sampah berbasis sumber maka seharusnya sosialisasi pengolahan sampah organik tidak sebatas menjadi kompos. 

Masyarakat harus diberikan beragam pilihan dan pengetahuan untuk mengolah sampah menjadi beragam produk, seperti menjadi pupuk organik cair, eco-enzyme, briket, biogas ataupun bentuk lainnya. Harapanya masyarakat akan lebih tertantang mengolah sampah yang dihasilkan menjadi produk sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Pengomposan sampah yang dilakukan di TPST juga masih menyisakan permasalahan yang harus segera ditangani. Pengomposan sampah di beberapa TPST hanya mencacah sampah, kemudian menimbun dan dalam beberapa hari dikatakan sudah menjadi kompos. 

Proses pengomposan yang dilakukan di TPST mestinya jelas metode yang digunakan dan juga jelas bahwa kompos yang dihasilkan benar-benar matang. Jika kompos yang dihasilkan belum matang kemudian di distribusikan ke masyarakat maka akan merugikan bagi masyarakat. 

Tatkala TPST telah mampu memproduksi kompos, tantangan berikutnya adalah distribusi dan pemasaran. Pemasaran kompos dari sampah organik domestik perlu memenuhi standar SNI sebagai upaya melindungi produsen dan konsumen serta mencegah pencemaran lingkungan. Guna mendapatkan pengakuan formal bahwa produk kompos telah menerapkan SNI, perlu proses sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh BSN. Proses sertifikasi meliputi permohonan, penilaian, evaluasi, keputusan dan penerbitan sertifikat.

Monitoring dan evaluasi terkait implementasi kebijakan pengelolaan sampah berbasis sumber semestinya dilakukan secara berkelanjutan. Monitoring dan evaluasi menjadi penting jika melihat realitas permasalahan yang muncul dilapangan. 

Hasil monitoring dan evaluasi yang didapatkan selanjutnya dapat menjadi rujukan untuk melakukan perbaikan. Jangan sampai kebijakan yang sudah baik tidak disertai dengan keseriusan dalam pelaksanaanya. 

Penulis

I Nengah Muliarta

Akademisi FP Unwar-Denpasar
 

Editor: Robby

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami