Tradisi 'Betetulaq' untuk Menolak Bala, Sudah Ada Sejak Abad XVI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NTB.
Masyarakat di Kelurahan Rembiga Kota Mataram memiliki Tradisi Betetulaq untuk menyambut tahun baru Islam yang jatuh setiap tanggal 1 bulan Muharram Tahun Hijriah.
Tradisi tersebut telah berlangsung sejak abad ke-16 sampai sekarang. Betetulaq atau Tolak Bala juga dipercaya sebagai sebuah tradisi untuk menolak bala.
Selasa (9/8), Wali Kota Mataram Mohan Roliskana hadir pada acara tradisi Betetulaq yang diselenggarakan oleh masyarakat Rembiga Timur tersebut. Bahkan dalam kesempatan tersebut, Wali Kota Mohan Roliskana mendapat sematan selendang khas Lombok oleh tokoh adat Rembiga Timur.
Mohan mengaku sangat merindukan acara syukuran penuh kebatinan seperti Betetulaq ini, sebagai simbol atau identitas masyarakat lokal.
“Hampir tiga tahun tidak bisa dilaksanakan karena musibah dan lain-lain, acara ini penuh sentuhan emosional, terasa sekali bentuk kebatinan atas penghargaan yang diberikan. Saya sampai menitikkan air mata waktu duduk tadi. Acara seperti ini penting untuk menjaga identitas sebagai khazanah yang sangat berharga,” ujar Mohan, yang diberikan Gelar Pengeraksa Buana dalam Acara Ritual Betetulak dan Peresmian Kemaliq Gedeng Rembiga Kerekok bertempat di Gedeng Kemaliq Rembiga Jalan Jenderal Sudirman Rembiga Timur, Selasa (9/8).
Hadir dalam Kesempatan tersebut Kepala Dinas Pariwisata Kota Mataram, Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram, Camat Selaparang, Lurah Rembiga, tokoh adat, tokoh Agama, dan tokoh masyarakat.
Di kesempatan ini Mohan berpesan, agar acara tradisional seperti ini dapat terus lestari di Kota Mataram.
Pemuda – pemudi di Kelurahan Rembiga Mataram telah berdandan mengenakan pakaian adat khas suku Sasak. Mereka berbaris di mulut gang Mentawai, Lingkungan Rembiga Timur Kelurahan Rembiga Kecamatan Selaparang, Kota Mataram. Pagar barisan itu merupakan bentuk sambutan terhadap kedatangan Walikota.
Iringan pemuda pemudi itu disertai dengan permainan musik tradisional khas Sasak yakni musik Gule Gending. Alat musik gule gending tersebut dikreasikan dengan cara dipadukan dengan gendang, rincik, suling atau seruling, pepetuk serta gong dalam gamelan pada umumnya
Salah satu yang menarik dari acara yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut adalah, sajian dalam dulang tersebut harus dari unsur sayur mayur dan olahannya. Tidak boleh ada makanan dari unsur hewan, kecuali telur.
Upacara adat tersebut dirangkai dengan berbagai prosesi adat selama empat hari berturut - turut. Di antaranya, pemandian keris pusaka warisan leluhur, pembacaan hikayat asal penciptaan manusia yang dijuluki Tepal Adam, serta berbagai ritus lainnya yang memiliki nilai sakral yang cukup tinggi.
Betetulaq adalah salah satu nilai kearifan lokal yang telah ada sejak masuknya Islam di Lombok yang dibawa oleh Sunan Prapen pada masa berjayanya Kerajaan Selaparang.
Pada waktu itu Sunan mendidik enam santri, salah satunya Ratu Ambiyak yang kemudian bermukim di wilayah Kerekok atau di Rembiga Timur saat ini.
Sebelum adanya Rembiga, kawasan disini dijuluki Dusun Krekok. Jadi dahulu ketika agama Islam masuk di pulau Lombok pada pertengahan abad XVI, yakni sekitar tahun 1566 silam. Prabu Rangkesari selaku Raja Selaparang yang menerima agama ini sebagai agama “Negara” (Kerajaan, red).
Sementara para utusan ulama yang membawa dan menyebar ajaran Islam di kawasan tersebut bernama Ratu Ambia’. Ini disebutkan dalam sebuah takepan yang berbunyi tilar negara lan krekok bunyinya dalam takepan silsilah Kemangse.
Prosesi yang diahiri dengan rangkaian makan bersama atau Begibung, dengan dulang yang sudah dipersiapkan sebelumnya itu merupakan bentuk ikatan kentalnya persaudaraan serta harmonisasi masyarakat.
Ritual adat Betetulaq di Kota Mataram, Selasa (9/8) tersebut diikuti oleh enam lingkungan yang ada dalam satu kelurahan tersebut. Adapun keenam kelurahan itu masing-masing Rembiga Gegutu Timur, Gegutu Barat, Rembiga Dasan Lekong, Rembiga Timur, Barat dan Rembiga Utara. Dan merupakan ritual adat yang dilaksanakan sekali dalam setahun.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/lom