Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan

Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
Megawati, Pilih JK atau Hatta Rajasa?
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Tiba-tiba saja Jokowi menjadi bintang di panggung politik nasional. Belum setahun menjadi Gubernur DKI Jaya, mantan walikota Solo ini langsung memperoleh dukungan dari berbagai komponen. Dukungan terlihat dari liputan media. Secara kasat mata bisa dilihat dan rasakan, Jokowi menjadi salah seorang 'media darling' dari sedikit tokoh yang sejatinya banyak berinteraksi dengan komunitas media.
Dampak atas statusnya itu, membuat suara yang menginginkan agar Jokowi menjadi capres, terus terusan bergeliat di berbagai liputan media. Sampai akhirnya beberapa bulan lalu mucul relawan yang menamakan diri Projo.
Lahirnya Projo atau Pro Jokowi (untuk jadi presiden) memang tidak sekadar respon terhadap pemberitaan media. Melainkan karena di internal PDIP sendiri, diam-diam muncul semacam faksi tidak resmi. Faksi ini ditengarai mencium adanya keraguan Megawati menjadikan Jokowi sebagai capres.
Yang cukup menarik untuk dicatat, sebelum tingkat elektabilitas Jokowi mencapai angka persentase yang tertinggi, tokoh sekaliber Jusuf Kalla tidak segan-segan menyatakan ingin berpasangan dengan Jokowi. Yang lebih menarik lagi, JK tidak atau belum mempersoalkan apakah dia mau menjadi cawapresnya Jokowi atau dianya sendiri yang mau menjadi cawapres. Yang pasti ketidakseganan Jusuf Kalla (JK) nyaris keluar dari proporsionalitas.
JK sampai-sampai hampir lupa, bahwa Jokowi merupakan kader PDIP. Sementara JK merupakan politisi Golkar, partai yang secara historis tidak pernah berhenti bersaing dengan PDIP dalam memperebutkan posisi di panggung nasional. JK yang mantan wakil presiden bahkan pernah menjadi ketua umum DPP Partai Golkar.
Sikap JK yang ingin berduet dengan Jokowi, sesuatu yang cukup menarik. Dalam arti menarik dan kontroversil. Sebab secara chemistry politik, tidak ada dasar untuk memastikan JK-Jokowi atau Jokowi-JK bisa bersenyawa dengan baik.
Selain itu, pada saat JK sudah menyatakan ketertarikannya berduet dengan Jokowi, sejumlah partai non-Golkar justru berusaha menggaet saudagar Bugis tersebut. Mereka ingin agar JK bisa menjadi capres ataupun cawapres. Sebutlah partai-partai seperti Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun anehnya, tak satu pun di antara partai-partai itu yang mampu meyakinkan JK. Hingga tulisan ini disusun, semangat JK berduet dengan Jokowi lebih kuat ketimbang melirik tawaran tiga partai di atas. Api semangat JK berduet dengan Jokowi, masih belum padam.
Entah secara kebetulan atau tidak. Yang jelas tidak jauh dari kediaman pribadi JK, di Jl Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal 2014, sudah beroperasi Sekretariat Nasional Pro Jokowi (Projo).
Namun niat JK berduet dengan Jokowi belum mendapat respons positif. Terutama dari Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri. Beberapa kalangan menyebut, agak sulit bagi JK mendapatkan 'kartu restu' dari Megawati.
Alasannya, saat JK menjadi wapres, Megawati sering dijadikannya sasaran kritik. JK menyindir Megawati yang ketika menjadi presiden, memberi konsesi Gas Tangguh di Papua Barat, kepada RRC. Sindiran JK cukup mengiris sukma Megawati. Sebab dibumbui oleh ilustrasi bahwa konsesi dengan harga murah tersebut, ditandai dengan 'dansa berdua' antara Putri Presiden Soekarno itu dengan Presiden RRC di Beijing.
Sementara itu berkembang pula kekhawatiran, JK hanya ingin memanfaatkan popularitas Jokowi. Mengingat ketertarikan JK berduet dengan Jokowi muncul secara tiba-tiba. Bagaikan bulan purnama di siang hari. Keinginan JK dikuatirkan, hanya mau memaksimalkan momentum. Kebetulan, tidak ada politisi yang cepat bersikap menarik empati Jokowi.
Kekhawatiran bahwa JK hanya ingin memanfaatkan momentum dan kalau perlu memanfaatkan 'kartu joker' yang sudah di tangan Jokowi, semakin tebal, dipicu oleh beberapa alasan atau fakta.
Setelah tidak lagi dipilih oleh SBY sebagai duetnya menghadapi Pilpres 2009, JK menyatakan bahwa dia akan kemnbali ke kampung halamannya, di Makassar. Di kota asalnya itu, seperti janjinya, JK akan memanfaatkan waktu untuk keluarga. Tapi nyatanya, tidak demikian. Dalam Pilpres 2009, JK masih dengan berduet bersama Wiranto.
Setelah gagal di Pilpres 2009, lagi-lagi JK tidak kembali ke kampung. Ia justru menjadi Ketua Umum Dewan Mesjid Indonesia. Posisi tersebut, memberi JK ruang dan panggung untuk berinteraksi di dunia politik. Janji mundur dari dunia politik, tak pernah lagi disinggung oleh JK. Sampai tiba-tiba JK muncul sebagai mantan wapres yang mau maju kembali dalam kontes perebutan jabatan presiden dan wakil presiden.
JK yang sudah pernah menikmati banyak jabatan, pantas dikategorikan sebagai warga senior. Sepatutnya sebagai senior citizen, JK perlu memberi kesempatan kepada yang lebih muda usia. Apapun ceritera tentang JK tapi kalau ulasan ini dikembalikan ke judulnya di atas, jelas sekali terlihat adanya manuver politik yang kontras satu sama lain. Ada manuver politik yang terlalu agresif sehingga membuat orang belum apa-apa sudah membikin jarak.
Tapi ada pula manuver politik yang dilakukan secara "tidak berisik" tetapi terus menghidupkan berbagai komunikasi. Yang terakhir inilah cara yang dilakukan Hatta Rajasa terhadap Jokowi maupun Megawati Soekarnoputri.
Sekarang, bola ada di tangan Megawati. Siapa di antara dua tokoh ini yang lebih pantas diberi kepercayaan. Kita tunggu saja.
Reporter: bbn/net
Berita Terpopuler
Bajang Karangasem Tewas Tertabrak Truk di Depan Depo Pertamina Antiga
Dibaca: 3209 Kali
ABOUT BALI

Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu

Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama

Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem
