search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Perempuan Bali Ini Dimadu dan Tidak Dinafkahi Suami 12 Tahun
Jumat, 13 Maret 2015, 00:00 WITA Follow
image

bbn/net/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang ibu rumah tangga di Bali mengaku tidak mendapat nafkah dari suaminya selama 12 tahun. Selain tidak mendapat nafkah, dia juga dimadu. Setelah menahan sabar 12 tahun, kini ia menggugat cerai suaminya.

SA (40) nama ibu rumah tangga ini, tampak tersenyum saat ditemui beritabali.com, di sebuah warung makan di kawasan Renon Denpasar, belum lama ini. Saat dtemui, ia bersama anak keduanya yang duduk di kelas 1, sebuah SMP Negeri di Kota Denpasar.

Kepada beritabali.com, SA bercerita, saat ini ia tengah menggugat cerai suaminya SW (40). Sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar, SA sudah melaporkan suaminya ke petugas PPA di  Polresta Denpasar.

SA menuturkan, sejak 12 tahun lalu atau 2 tahun setelah ia menikah, ia sudah tidak pernah dinafkahi oleh suaminya. Selain tidak menafkahi dirinya selaku istri yang sah, suaminya juga tidak bertanggung jawab atas biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan kedua anak mereka. "Sama sekali tidak mau tahu, tidak bertanggung jawab atas kehidupan saya dan anak-anak. Meski sudah saya sampaikan, tetap saja tidak mau bertanggung jawab, misal untuk biaya kesehatan dan pendidikan anak,"ujar SA.

Selain tidak dinafkahi, suami SA yakni SW juga berselingkuh dengan perempuan lain tanpa persetujuan dirinya. "Sejak 12 tahun itu dia juga berselingkuh dengan wanita lain yang merupakan seorang janda. Bahkan mereka tinggal serumah di tempat lain dan memiliki anak juga. Suami saya melakukan itu tanpa seijin saya sebagai istrinya yang sah," jelas SA.

SA menyatakan dirinya memilih bersabar selama 12 tahun dengan alasan kasihan terhadap kedua anaknya jika mereka berpisah di usia anak yang masih kecil. Sementara untuk menyambung hidup karena tidak dinafkahi suami, SA bekerja serabutan terutama di bidang jasa pembuatan SIM, STNK, dan pengadaan barang di instansi pemerintah di lingkungan Kota Denpasar.

"Syukur ya, ada saja rejeki selama 12 tahun ini, saya bisa membesarkan kedua anak saya, keduanya kini duduk di bangku SMP,"ucapnya.

Kasus ini, kata SA, sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar, sebagai kasus penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan KDRT. Kini kasus sudah diajukan ke PN Denpasar, untuk menggugat cerai suaminya.

Terkait hal ini, LBH APIK Bali menyatakan, kasus KDRT masih menduduki peringkat pertama di Bali. Peringkat pertama kasus KDRT di Bali terjadi di Kabupaten Tabanan. 

"Di Bali kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) masih tinggi, di Tabanan tertinggi, cuma penyelesaiannya selama ini di polisi saja. Dalam melaporkan masalah KDRT, banyak perempuan Bali masih belum mandiri. Oleh karena itu perlu pendampingan dari NGO, harus ada pendampingan,"jelas Luh Anggraeni, dari LBH APIK Bali.

LBH APIK Bali, kata Luh Anggraeni, selama ini aktif turun ke banjar-banjar (dusun) untuk mensosialisasikan UU KDRT, aktif memberi masukan agar perempuan Bali yang sudah menikah bisa menjaga rumah tangganya dan tidak sekedar menjadi obyek semata.  "Kita lakukan penguatan-penguatan dengan informasi, sekarang tergantung mereka, pilihan mana yang mau dipilih. Jika mereka tidak punya akses, maka akan ada pendampingan agar mereka lebih paham UU KDRT,"ujarnya. 

Dari hasil pantauan di sejumlah wilayah di Bali, ibu rumah tangga yang mengalami KDRT baik fisik maupun psikis, tidak ingin menghukum suami dengan melaporkannya ke polisi.  "Tapi KDRT harus distop, kita harus kuatkan para ibu-ibu ini, agar paham dengan pilihan yang ditempuh, banyak yang tidak tega lapor polisi tapi pilih cerai,"ujarnya.

Anggraeni mengingatkan pentingnya kampanye hak-hak perempuan dalam rumah tangga, seperti hak untuk punya akses yang sama terhadap harta gono gini. Jadi setelah bercerai atau ada kasus KDRT, ibu-ibu tersebut mengerti apa yang harus dilakukan. Terkait kasus KDRT yang dihadapai SA di Denpasar Bali, LBH APIK Bali menyayangkan kenapa baru 12 tahun SA baru melaporkan kasus KDRT dan perselingkuhan yang dihadapi ke pihak berwajib. 

"Kenapa baru lapor sekarang. Apakah karena baru mendapat akses informasi tentang UU KDRT. Ini harus dibela, dia harus lepas dari lingkar kekerasan rumah tangga, dan ternyata dia sudah berani keluar dari lingkar kekerasan. Harus kita dampingi,"kata Luh Anggraeni.  Anggraeni menambahkan, dalam kasus KDRT, tak hanya bentuk fisik yang bisa dilaporkan, tapi kekerasan psikis juga bisa diproses di kepolisian. Penelantaran ekonomi juga termasuk kejahatan KDRT.

"Poligami juga melanggar hukum, ancamannya penjara 5 tahun kalau tidak ada tanda tangan persetujuan istri pertama. Perempuan lain yang diajak menikah dengan suaminya juga turut serta terlibat dalam perbuatan melanggar hukum tersebut,"jelasnya. Terkait kasus poligami di Bali, LBH APIK Bali mencatat sudah ada suami yang dipenjara 4 tahun 2 bulan di wilayah Kabupaten Bangli, karena melakukan poligami tanpa persetujuan istri pertama.

Reporter: bbn/psk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami