search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Asal Usul Masyarakat Bali Part III
Kamis, 20 April 2017, 16:55 WITA Follow
image

ist/beritabali.com/Asal Usul Masyarakat Bali

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Wong Majapahit dan Bali Aga lambat laun mulai meredakan konflik. Seperti yang ditulis Thomas A. Reuter (2005) dalam bukunya berjudul Custodians of The Sacred Mountains, menceritakan bentuk-bentuk upaya penerimaan kedua kelompok ini di Bali.

Dijelaskan, setelah kedatangan Wong Majapahit ke Bali mendapat pertentangan dari Bali Aga, konflik keduanya kemudian menemui titik reda.

Hal itu terjadi setelah, Wong Majapahit yang sebagai pendatang ini mulai mensponsori sebuah ritual di Pura Bali Aga yang bernama Pura Penulisan. Kemudian, interaksi-interaksi seremonial ini terus berlanjut.

Walau berhasil mereda konflik, interaksi keduanya hanya sebatas itu saja. Hubungan yang dibentuk hanya sebatas hubungan ritual.

Sementara, dalam fungsi yang lain, keduanya memilih pilihan masing-masing, tanpa ikut mencampuri. Dari sini, secara tidak langsung kedua suku bangsa membentuk pembagian wewenang.

Walau, perlu diketahui pula, di Bali, Wong Majapahit juga memiliki pura-pura dengan pendeta brahmana sendiri. Namun mereka tetap ikut serta di dalam perayaan pura pegunungan milik masyarakat Bali Aga.

Sebaliknya, Bali Aga lebih memilih tidak mengakui pendeta brahmana dari Wong Majapahit. Begitu pula dengan pura-pura yang mereka bangun.

Ketidakterimaan terhadap Wong Majapahit, berdampak pula pada tidak berhasilnya mereka membangun kerajaan sekuler mereka sendiri. Meskipun, mereka telah mencoba melakukannya.

Mereka tidak bisa melakukannya seperti Wong Majapahit. Tindakan Bali Aga ini memang berbeda dengan penerimaan Wong Majapahit baik ningrat maupun biasa yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman yang bergunung-gunung untuk ikut serta dalam perayaan tahunan yang diadakan pura-pura kuno Bali Aga.

Walau, pura tersebut berada di bawah wewenang Bali Aga dan para pendeta non-brahmana mereka.Wong Majapahit menganggap tindakan ini sebagai "tindakan kesalehan" (manusia bakti).

Namun, tindakan mereka ini disertai dengan penekanan bahwa mereka tidak "menanggung suatu pertanggungjawaban nenek moyang" (nyungsung)" untuk pura-pura ini.

Akan tetapi, Wong Majapahit sangat bersedia mengakui wewenang spiritual dari dewa-dewa yang diabadikan di beberapa pura seperti Pura Pucak Penulisan atau Pura Batur.

Hal ini terkait manifestasi pura dalam hal kesuburan dan irigasi.Menarik, sebab Pura Penulisan merupakan sebuah pura dari raja-raja Bali Kuno, yang patung-patung mereka masih dihormati di dalam tempatnya dan identitasnya telah melebur dengan identitas dewa Ratu Pucak, raja dari puncak gunung itu.

Secara tidak langsung memperlihatkan bahwa wong majapahit telah mengekui wewenang suci raja-raja dan nenek moyang Bali Kuno. Pada akhirnya, dua kelompok ini belum bisa melebur dan telah memunculkan kedaulatan kembar di Bali.

Seperti apa kemudian keduanya menghadapi wewenang dan politik di Bali?
 

Reporter: bbn/dmp



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami