search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kisah Bali Berdarah di Puputan Klungkung 1908
Senin, 1 Mei 2017, 08:13 WITA Follow
image

ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Di tahun 1908, 300 orang di Klungkung gugur. Bali pun jadi pulau berdarah. Mengingat sebelumnya pula di tahun 1906, 1400 orang gugur di Denpasar. Maka, "Genosida" telah terjadi di Bali, yang katanya pulau dewata. 
 
Sebelumnya, sejumlah kerajaan telah gugur satu persatu, adalah Kerajaan Klungkung masih berdiri. Namun, usia Klungkung tidak lagi lama. Perang menanti di depan, terlebih ketika konflik opium menyeruak. 
 
[pilihan-redaksi]
Catatan H.H. Van Koel di buku Bali Tempo Doeloe buah karya Adrian Vickers (2012), menjelaskan bahwa saat itu pegawai Belanda Harmaker meninggal sewaktu digelar razia di titik distribusi opium (di Klungkung). Sementara memang, masa-masa itu, banyak distribusi opium yang ditutup. Bali sendiri memiliki petugas sendiri yang mengelola opium yang disebut dengan mantri opium. 
 
Ketika masalah opium berhembus, beberapa mantri meninggalkan jabatannya. Namun ada pula yang tetap kokoh menjadi seorang mantri opium. Hingga, Gelgel, ladang penyimpanan opium, diserang Belanda. Mantri dan asistennya dibuat bertekuk lutut, sementara istrinya diijinkan pergi tanpa cacat sedikitpun. 
 
Maka, saat itu, seorang Tjokorda (pangeran atau penguasa di bawah raja) Gelgel yang suka berperang telah menyiapkan rencana sedemikian rupa menyerang Belanda. Namun, raja Klungkung kala itu, Dewa Agoeng, mencegah serangan ini dengan mengepung puri menggunakan senjata berlapis. Ini membuat Tjokorda tersebut tak bisa menjalankan niatnya. 
 
Setelah pembunuhan pada staf ditribusi Opium di tahun 1908, pasukan Belanda bergerak menuju Gelgel. Dengan persiapan sang raja, pasukan Belanda dibuat kewalahan. Namun, penduduk Bali kala itu banyak pula yang tewas. Setidaknya, 100 orang gugur. 
 
Serangan dari Bali tidak cukup kuat untuk mengetahui kekuatan dari Belanda. Hingga, puri di Gelgel kalah. Poenggawa Gelgel, yang juga merupakan paman Raja Klungkung, pun mencari perlindungan padanya. Ia memaksa Dewa Agoeng untuk melawan. Maka, pertahanan Puri Kloengkoeng diperkuat. Lubang-lubang digali dan ditutupi batang-batang pohon dan tanah liat. 
 
Pada akhirnya, tindakan tersebut bukan merupakan perlawanan yang sesungguhnya. Setelah serangan yang datang berkali-kali, ibukota berjasil direbut tanpa perlawanan. Meriam-meriam Belanda yang dipasang di depan puri siap ditembakkan. Setiap orang yang hendak melawan seketika terdiam. Perlawanan tidak ada gunanya. 
 
Raja yang dikelilingi 200 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, mengajukan diri sebagai seorang Bali sejati untuk melakukan puputan. 
 
Raja tiba-tiba berjalan keluar dan berdiri menggenggam keris di tangan kanan, mengambil jarak 200 meter dari meriam. Atas usulan Tjokorda Gelgel, Ia menancapkan keris sucinya ke tanah. Alhasil, jurang menganga terbuka dan menelan seluruh musuhnya. 
 
Sebuah tembakan meriam kemudian menyambar lututnya. Tak gentar, Ia kembali bangkit sampai akhirnya jatuh meninggal. Begitu pula dengan anak lelakinya yang masih kecil dan Tjokorda, tewas. Enam selirnya berlutut dan membiarkan diri mereka ditusuk jantungnya dengan sebuah keris. 
 
Orang-orang kerpercayaan yang tersisa berserta istri-istri dan anak-anak dibelakang mereka mulai menyerang menggunakan tombak. Namun, hujan senjata dari pasukan musuh kemudian mengakhiri hidup mereka. 
 
Wanita-wanita terluka hebat dan terlihat sekarat, mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri. Beberapa dari mereka yang tidak terluka bahkan berjalan maju, mengambil keris dari tubuh orang yang bersimbang darah kemudian menghujam keris ke tubuh mereka sendiri. Seorang ibu dengan kondisi terluka bahkan mengangkat anaknya tinggi-tinggi supaya si anak bisa tertembak. Van Koel menyebutnya sebagai, upaya mereka untuk menginginkan kematian! 
 
Maka, saat itu yang terlihat adalah Raja Agung yang terbaring dengan tengkorak pecah besarta isinya yang keluar. Di dekatnya, terkapar istri-istri yang kehilangan nyawa. Di belakangnya, tumpukan orang, beberapa masih hidup, yang berlumuran darah. Di sana-sini terdapat anggota badan yang terkoyak dan potongan-potongan tubuh manusia. Seorang dengan pundak hancur, tangannya masih tergantung melekat di kulitnya berguling-guling kesakitan. Seorang ibu yang mendekap anaknya, keduanya dilubangi peluru. 
 
[pilihan-redaksi2]
Atau, ada pula, seorang bocah berumur satu tahun bermain dengan ceria di dalam rangkulan tangan seorang ibu yang sudah tewas tertembak.
 
Bagi Van Koel, serangan putus asa para Raja Bali yang mendedikasikan diri mereka pada kematian tentu saja melahirkan kekaguman akan jiwa kepahlawanan yang gagah. 
 
*Van Koel adalah seorang anggota Dewan Parlemen II Belanda yang pada abad ke-19 bekerja sebagai insinyur di Hindia. Ia mengunjungi Bali dan daerah lain di Hindia sambil menulis catatan perjalanan. [wrt]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami