search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Ceceran Darah Sapi di Upacara Mejaga-jaga Dipercaya Menjaga Desa
Selasa, 18 Agustus 2020, 20:35 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, KLUNGKUNG.

Bertepatan dengan Tilem Sasih Karo, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta menghadiri upacara tradisi mecaru mejaga-jaga di Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kabupaten Klungkung, Selasa (18/8) Pagi. 

[pilihan-redaksi]
Prosesi upacara tersebut juga terlihat tetap mengikuti protokol kesehatan, turut hadir Plt. Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga, Luh Ketut Ari Citrawati serta warga setempat. Sebelum upacara dimulai, Bupati Suwirta juga mengikuti persembahyangan bersama. Bupati juga berharap agar seluruh warga bisa mengikuti protokol kesehatan dengan baik setiap menggelar upacara. 

"Ikuti segala bentuk aturan dari pemerintah, hal yang paling penting diperhatikan protokol kesehatan harus terus dijaga dengan baik dengan sebaik-baiknya agar kita semua bisa terhindar dari penyebaran wabah covid-19," harap Bupati Suwirta. 

Menurut Bendesa Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, I Wayan Sulendra mengatakan bahwa tradisi ini digelar tiap tahun dengan tujuan untuk menghidari terjadinya malapetaka bagi warga desa. Kegiatan ini dipusatkan di catus pata desa setempat sekitar pukul 07.00 wita, sapi pilihan yang sudah dimandikan itu mulai diarak oleh warga yang didominasi anak-anak muda. 

Sapi yang diikat dengan tujuh tali itu pertama kali diarak ke arah utara sampai di ujung desa sebelah utara. Persisnya di depan Pura Puseh desa setempat. Di sana, digelar proses upacara. Sapi ditebas pada pantat sebelah kanan oleh pemangku catus pata. Sapi tersebut ditebas menggunakan blakas sudamala yang disakralkan, darahnya pun berceceran. 

Darah yang berasal dari sapi kurban itu, lalu diperebutkan oleh warga. Ceceran darah sapi itu diyakini sebagai darah kurban untuk menjaga desa setempat. Baik skala maupun niskala. Melihat banyaknya darah yang sudah keluar dari tubuh sapi tersebut, warga setempat pun berebut mengambil darah untuk dioleskan di bagian tubuh mereka. Sebagian malah mengusapkan darah sapi ke wajah mereka.

Beberapa warga juga membagikan darah sapi kurban itu ke warga lainnya. Darah sapi itu dipercaya dapat mengobati penyakit. Warga desa sepakat tidak berani mengubah rentetan tradisi yang sudah diwariskan secara turun-menurun itu. Konon, tradisi itu pernah ditiadakan dengan alasan kesibukan krama melaksanakan upacara ngaben. Ternyata, beberapa orang meninggal di sana. Petani juga gagal panen. 

“Sampai sekarang kami tidak berani tak menggelarnya. Ketika tidak dilaksanakan prosesi upacara ini, maka akan terjadi malapetaka,” ujar Bendesa Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Wayan Sulendra.

Menurutnya, intinya menetralkan atau membersihkan alam baik parhyangan, pawongan dan pelemahan. Prosesi lalu dilanjutkan menuju ke arah selatan di jaba Pura Dalem. Dari jaba Pura Dalem, kembali melewati Catus Pata, menuju timur, perbatasan Besang Kawan dengan Besang Kangin. Selanjutnya, arak-arakan prosesi  menuju ke barat di Pura Prajapati. 

Terakhir kembali ke Catus Pata. Di masing-masing empat penjuru mata angin dan catus pata, dilakukan upacara atur piuning dan persembahyangan yang dipimpin para pemangku bersama prajuru dan warga.

Selesai diarak, sapi cula kemudian disembelih dan diolah dagingnya untuk caru sesuai dengan pengider-ider. Demikian juga dengan kulit dan kepalanya dijadikan bayang- bayang (bagian dari caru). Pengolahan daging dan jeroan sapi menjadi bahan caru dilakukan warga di areal Catus Pata, tidak boleh di tempat lain, sekalipun hujan. 

Reporter: Humas Klungkung



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami