Suka-Duka "Wawancara" dengan Memedi di Pelosok Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Keberadaan memedi, tonya atau wong samar (mahluk halus) memang tidak ada habisnya untuk dibahas dan selalu mengundang antusiasme. Topik mengenai entitas ‘mirip manusia tapi bukan manusia’ ini berada di zona interpretatif yang masih membuka peluang besar untuk dikaji secara mendalam.
Fenomena ini tumbuh dalam kepercayaan masyarakat Bali, bercampur dengan rasa takut dan rasa ingin tahu yang kadang mengasyikkan, namun juga berisiko.
Anehnya, penelitian serius mengenai eksistensi memedi, wong samar dan tonya rasa-rasanya tidak banyak dilakukan oleh para akademisi modern di Bali, khususnya yang membidangi agama dan spiritual.
Barangkali hal ini disebabkan oleh keberadaan fenomena ini yang masih sarat nuansa mistikisme yang dipercaya mengundang malapetaka atau kesialan bagi mereka yang terlalu berani. Hasilnya,kalangan akademisi masih mencoba ‘bermain aman’ dengan menyampingkan eksistensi fenomena ini.
Padahal, keberadaan entitas non-manusia ini telah menjadi bagian dari kebudayaan Bali tradisional, terutama di wilayah pegunungan dan perdesaan.
Selain itu, terdapat beberapa kendala apabila orang ingin meneliti tentang memedi, wong samar atau tonya. Kendalanya ada pada instrumen penelitian. Karena entitas (makhluk) itu tidak dapat dibuktikan melalui observasi langsung yang bisa dikontrol atau dimanipulasi, maka keberadaannya tidak dapat dijadikan variabel yang bisa diukur.
Terlebih lagi karena makhluk-makhluk itu konon muncul dan menghilang sesuka hatinya, sehingga pengamatan yang terjadwal dan terstruktur nyaris mustahil dilakukan.
Beruntungnya, dunia penelitian senantiasa berkembang sesuai dengan fenomena baru yang ada di masyarakat. Kini telah dirumuskan berbagai metode ilmiah yang bisa digunakan untuk ‘mencoba’ membedah eksistensi memedi dan makhluk astral lainnya.
Metode etnografi, misalnya, bisa digunakan untuk menelisik keberadaan makhluk-makhluk tersebut dengan melakukan studi mendalam pada informan dan kawasan di mana mereka biasanya menampakkan diri. Informan dalam hal ini didapatkan dari orang-orang yang mengaku, dipercaya, atau terbukti pernah diculik oleh memedi, tonya atau wong samar.
Informan sejenis ini banyak bertebaran di berbagai pelosok. Dengan membandingkan data-data yang diperoleh, peneliti dapat menemukan persamaan dan perbedaan sehingga mendapatkan gambaran mengenai eksistensi dunia astral tersebut dan para penghuninya.
Metode ini, yang dikenal dengan nama in-depth observation sudah digunakan sejak tahun 50-an saat pemerintah Amerika Serikat mencoba mengungkap fenomena penampakan alien dan UFO di negara itu.
Beberapa teori yang bisa mendukung adanya riset dan kajian mengenai memedi dan sebangsanya ini antara lain teori fenomenologi dan teori difusi budaya. Apabila terdapat suatu fenomena di suatu tempat, sebanyak mungkin data akan dikumpulkan dan dikategorikan.
Apabila fenomena yang mirip terjadi di tempat lain, data juga dikumpulkan dan ditambahkan ke dalam kategori yang sama. Apabila sudah ada cukup data, kesimpulan sementara dapat diambil.
Karena dunia para memedi, tonya dan wong samar ini tidak bisa dimasuki oleh manusia, maka hampir mustahil melakukan pengamatan (observasi) langsung. Selain karena berisiko tinggi (karena beberapa manusia dikabarkan tidak bisa kembali ke dunia manusia setelah masuk ke alam gaib itu), observasi langsung juga akan mengintervensi kehidupan para makhluk gaib itu yang bisa jadi tidak suka dengan kedatangan manusia yang tidak ‘dipilih’.
Dengan demikian, satu-satunya metode dan teknik yang efektif dalam mengungkap keberadaan makhluk gaib secara ilmiah adalah dengan metode etnografi dan teknik wawancara mendalam. Sayangnya, apa yang terjadi di lapangan tidaklah seindah rencana yang tertulis di atas kertas.
Walaupun daftar pertanyaan telah dibuat, jadwal penelitian telah disusun, serta teori-teori yang relevan telah dikumpulkan, pelaksanaan pengumpulan data di lapangan adalah pekerjaan yang memiliki tantangan tersendiri.
Tantangan pertama adalah adanya "vested interest" atau kepercayaan turun-temurun bahwa keberadaan memedi dan sejenisnya itu tidak boleh diungkapkan sembarangan. Dari beberapa list atau daftar responden yang berhasil dihimpun dari seluruh pelosok Bali dengan susah payah, hanya beberapa saja yang berhasil ditemui dan diwawancarai dengan lancar.
Sebagian besar responden ini menolak untuk diwawancarai. Mereka terkesan menutup diri dan berusaha agar informasi yang mereka ketahui tidak tersebar.
Beberapa calon responden sesungguhnya sangat potensial, karena mereka pernah secara langsung berinteraksi dengan memedi, mengaku (dan diakui) memiliki keluarga di alam gaib itu, atau mendapatkan benda-benda aneh dari alam memedi.
Apabila dikategorikan ke dalam skala pertemuan jarak dekat (close encounter) versi Hynek (1972), kategori pertemuan jarak dekat ini bahkan sudah sampai ke CE4 (close encounter tingkat 4, artinya perjumpaan jarak dekat dengan makhluk asing sampai menimbulkan interaksi fisik).
Salah seorang calon responden berasal dari sebuah wilayah perdesaan Tabanan. Dia dipercaya sebagai keturunan memedi, sebab di atas bibirnya tidak ada filtrum (dua gundukan kecil di bawah hidung). Rambutnya gimbal, dan dia tidak tahan panas.
Menurut penuturan warga desa, ibunya adalah seorang memedi dari alam lain. Namun, orang ini tidak berkenan diwawancarai. Sangat disayangkan.
Responden lain lebih ‘bares’ (bersedia diwawancara). Beberapa responden menyebutkan mengenai situasi alam para memedi tersebut dan bentuk badan mereka. Alam mereka sama seperti di Bumi. Mereka punya keluarga, sistem masyarakat dan transportasi. Namun, dari pengakuan beberapa responden yang pernah masuk ke alam itu entah karena diculik atau tidak sengaja tersesat, mereka tidak pernah melihat matahari atau bulan. Yang ada hanya suasana langit yang remang-remang persis sandikala, dan itu berlangsung terus-menerus.
Bagi peneliti, ini adalah data yang sangat penting. Jadi, beberapa responden memiliki kesamaan pengakuan, yakni suasana langit yang remang-remang bagaikan senja abadi.
Kemudian, dari pengakuan responden lain, didapatkan data bahwa usia para memedi mencapai ratusan tahun. Seorang responden mengaku memiliki kawan seorang memedi yang usianya 125 tahun namun masih tampak seperti gadis belia.
Tak hanya itu, kaum memedi punya kemampuan mistik yang menakjubkan. Mereka bisa menghilang, berubah bentuk menjadi makhluk lain, dan menyembuhkan penyakit. Di alam mereka juga ada banyak permata dan batu-batu mulia yang berkhasiat. Beberapa benda itu diberikan kepada manusia untuk menyembuhkan penyakit. Namun, khasiat batu-batu itu ada batas waktunya.
Di alam para memedi, terdapat emas yang agak berbeda dengan emas yang lazim ditemui di dunia manusia. Emas ini ada di sungai-sungai. Menurut keterangan beberapa narasumber (responden), sungai-sungai di alam para memedi berhubungan dengan sungai di alam manusia. Itulah sebabnya mereka dan manusia bisa keluar-masuk lewat jalur sungai.
Beberapa kategori data telah berhasil dikumpulkan, yakni terkait dengan suasana umum alam para memedi, makanan para memedi, bentuk tubuh mereka, dan apa yang terjadi setelah korban penculikan (atau korban tersesat ke alam gaib) pulang kembali ke dunia manusia.
Data ini pastinya sangat berharga untuk kajian selanjutnya, namun juga masih jauh dari kata lengkap. Yang jelas, satu kesimpulan sementara yang berhasil didapatkan adalah mengenai suasana alam para memedi tersebut. Ternyata, ada perbedaan antara alam para memedi, tonya dan wong samar.
Para memedi memiliki alam yang tidak diterangi cahaya matahari, sementara para wong samar memiliki alam yang masih diterangi cahaya matahari yang sama. Ini menimbulkan praduga bahwa alam mereka terletak di tempat yang berbeda.
Apabila dikorelasikan dengan uraian mengenai dimensi-dimensi bumi menurut Kitab Suci Weda, ada suatu tempat di alam semesta ini yang disebut dengan Patala Loka. Patala loka ini terdiri atas tujuh tingkatan, dan semuanya tidak disinari cahaya matahari.
Suasana di alam ini bagaikan senja hari. Ini persis seperti uraian terhadap suasana di alam memedi berdasarkan penuturan responden.
Sementara itu, terdapat juga ‘Bumi lain’ yang masih berhimpitan dengan Bumi tempat tinggal manusia, namun berbeda dimensi.
Jadi, Bumi kita dan ‘bumi gaib’ ini terletak nyaris dalam satu tempat, namun dimensinya berbeda. Itulah sebabnya para wong samar dikatakan masih mendapatkan cahaya matahari seperti di Bumi manusia.
Bahkan, menurut responden yang ada di Bali bagian barat, beberapa kalangan wong samar konon sering terlihat mandi di hulu sungai desa mereka dan dapat dilihat dengan mata biasa.
Jadi, kesimpulan sementara penelitian terhadap fenomena memedi, wong samar dan sebangsanya ini adalah bahwa mereka hidup di wilayah "Patala Loka" atau di wilayah ‘Bumi gaib’ yang disebut dengan ‘Bhauma swarga’.
Tentunya, kesimpulan ini belumlah cukup. Kajian dan riset masih sedang dijalankan, walaupun terbentur berbagai stigma negatif dan tabu yang berkembang di masyarakat tradisional Bali.
Tujuan riset ini sebenarnya adalah untuk menjawab pertanyaan fundamental manusia: apakah kita sendirian di alam semesta ini? Apakah peradaban manusia di Bumi berpengaruh pula dalam kehidupan makhluk gaib itu?
Jika kerusakan lingkungan dan polusi yang kita hasilkan ternyata berdampak terhadap kehidupan mereka, kita barangkali harus mulai mengakui bahwa kita (manusia) memang makhluk yang kejam dan egois. (Penulis: Arya Lawa Manuaba)
Reporter: bbn/opn