search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kedaulatan Indonesia dan Bayang Militerisasi Laut China Selatan
Kamis, 30 Mei 2024, 10:52 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Kedaulatan Indonesia dan Bayang Militerisasi Laut China Selatan

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Gejolak di Laut China Selatan bereskalasi seiring meningkatnya aktivitas China di kawasan itu. Indonesia yang sebagian wilayahnya bersinggungan, dituntut waspada dan cermat dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan wilayahnya.

Laut China Selatan membentang dari Selat Karimata hingga Selat Taiwan. Perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi ini dikeliling sejumlah negara yang terlibat saling tumpang tindih klaim.

Negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan mayoritas merupakan anggota ASEAN, antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, [Teluk] Thailand, dan Indonesia. Ada dua negara di luar ASEAN yang juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yakni Taiwan dan China.

Kepulauan Paracel dan Sparatly jadi titik terpanas konflik wilayah di Laut China Selatan dengan masing-masing kepulauan melibatkan tiga dan enam negara bersengketa.

Klaim teritorial terhadap Laut China Selatan sejatinya bukan hal baru. James Gregor mencatat pada era modern, klaim sepihak pernah dilakukan Jepang setelah menang dalam perang Sino-Jepang 1885 (Huang & Billo, 2015).

Pada Perang Dunia II, China dan Vietnam di bawah pendudukan Jepang dan Perancis juga mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau berikut gugusan karang di kawasan itu.

Nilai strategis Laut China Selatan

Sejarah penguasaan terhadap Laut China Selatan bisa direntangkan lebih jauh ke belakang untuk memperlihatkan beragam modus dan transformasi konflik dan aktor-aktornya. Namun, sulit dipungkiri, bahwa pada hari ini, salah satu pemicu utama persaingan teritorial itu dipengaruhi oleh segenap nilai strategis di kawasan itu.

Laut China Selatan adalah salah satu urat nadi perdagangan internasional.

U.S Energy Information Administration (EIA) menyebut pada 2023, sekitar 18 juta barel per hari (b/d) dari minyak mentah dan kondensat melewati perairan itu dan Teluk Thailand. Jumlah itu sama dengan 43 persen pengiriman minyak dunia via maritim.

Pada tahun yang sama, 6,7 triliun kaki kubik LNG serta 10 juta barel per hari produk-produk petroleum melintas di sana.

Kekayaan alam di Laut China Selatan juga berlimpah. Selain potensi ikan tangkap, terdapat sumber cadangan gas dan minyak bumi yang sangat signifikan. Diperkirakan, Laut China Selatan menyimpan miliaran barel minyak bumi dan triliunan kaki kubik gas alam.

China menjadi aktor paling disorot dalam peta konflik Laut China Selatan.

Lewat peta terbaru yang dirilis Agustus 2023 lalu, China mengenalkan konsep sekaligus klaim ten dash line. Ini adalah pembaruan dari peta sebelumnya, nine dash line.

Konsep garis putus-putus ini disebut sebagai garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan.

Garis imajiner China berpijak pada rute tradisional para nelayan mereka pada masa lalu di Laut China Selatan. Pakar hubungan internasional Asrudin menyebutnya sebagai klaim historis.

Klaim historis nine dash line maupun ten dash line China berada di luar rezim hukum laut internasional UNCLOS 1982. Namun, fakta tersebut tak menghentikan langkah China untuk mengklaim kawasan Laut China Selatan.

Lewat ten dash line, China bahkan mengklaim penguasaan sekitar 90 persen wilayah Laut China Selatan.

Klaim Beijing terbentang mulai dari wilayah dan perairan yang berbatasan dengan Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, hingga Taiwan.

Peta baru China bahkan ikut mencaplok wilayah yang disengketakan dengan India. Protes keras pun datang dari India, Taiwan dan negara-negara ASEAN yang merasa dirugikan.

Taiwan langsung menolak seluruh klaim China, sementara Malaysia menyebutnya sebagai upaya sepihak untuk mengontrol perairan yang bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif mereka.

China juga membangun pulau baru di wilayah Laut China Selatan. Sejumlah negara meyakini pembangunan pulau baru itu untuk memfasilitasi kepentingan militer China.

Menurut Asrudin, meningkatnya aktivitas China di Laut China Selatan dalam dua dekade terakhir tak lepas dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan militer yang dinikmati Beijing.

"Peningkatan aktivitas dan dugaan militerisasi di Laut China Selatan sekaligus sinyal keseriusan China di bawah Xi Jinping untuk menguasai kawasan itu," kata Asrudin.

Selain faktor ekonomi, lanjutnya, motif geopolitik juga melatari keseriusan China menguasai kawasan itu.

Laut China Selatan bisa dimanfaatkan Beijing sebagai instrumen menangkal ancaman musuh-musuhnya. Asrudin berkata pembangunan pulau baru yang diduga untuk kepentingan militer China, bisa menjadi penangkal terhadap Armada Ketujuh Amerika Serikat.

"Jelas, China enggak akan membiarkan kawasan strategis itu dikuasai negara-negara yang bersekutu dengan AS," ujarnya.

Peta konflik 

Laut China Selatan tak bisa dibayangkan sebagai medan konflik 'semua melawan China'. Bagaimanapun, tumpang tindih klaim teritorial di sana melibatkan hampir semua negara yang bersinggungan secara geografis.

Tumpang tindih klaim di Kepulauan Paracel terjadi antara China, Vietnam, dan Taiwan. Sementara status Kepulauan Sparatly diperebutkan oleh enam negara yakni China, Taiwan, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina. Tiga negara terakhir hanya mengklaim sebagian pulau-pulau di Kepulauan Sparatly.

Indonesia tidak termasuk negara yang terlibat tumpang tindih klaim di Laut China Selatan. Namun, garis putus putus China secara langsung bersinggungan dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau.

Berpijak pada klaim historis itu kapal-kapal nelayan dan kapal patroli China kerap beroperasi dan beraktivitas di wilayah ZEE Indonesia. Sesuatu yang menurut hukum laut internasional hanya diperbolehkan hanya jika mendapat izin dari negara pemilik ZEE.

Ketegangan beberapa kali terjadi. Yang terbaru dan cukup menghebohkan, tentu saja aktivitas kapal riset China di Natuna Utara pada kurun Agustus sampai Oktober 2021 lalu.

TNI AL sempat mengirim KRI Bontang untuk membayangi pergerakan kapal China ini selama dua hari, 15 dan 16 September. Meski sempat pergi, kapal riset itu kembali pada awal Oktober 2021.

China bersinggungan lebih keras dengan Filipina dalam beberapa insiden. Meskipun tidak sampai konflik terbuka, persinggungan China dan Filipina serta sejumlah negara lain membuat ketegangan di kawasan semakin tereskalasi dari waktu ke waktu.

Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis tak menampik kemungkinan pecah konflik terbuka di Laut China Selatan.

Sebaliknya, menurut Asrudin, kecil potensi konflik terbuka di kawasan itu. Salah satu faktornya, kata dia, payung keamanan AS terhadap sejumlah negara seperti Filipina dan Taiwan. Hal lain, China diyakini belum memiliki kapasitas militer yang sama dengan AS.

"Militer China memang meningkat pesat, tapi belum mencapai balance of power yang ideal untuk menandingi Amerika. Jadi, selama Amerika masih memberikan payung keamanan dan menaruh perhatian besar di Laut China Selatan, Beijing akan berpikir dua kali untuk bertindak lebih jauh yang memicu konflik terbuka," ujar dia.

Ancaman kedaulatan

Beni Sukadis berkata Indonesia akan sangat terdampak bila terjadi konflik terbuka di Laut China Selatan. Karena itu, diperlukan antisipasi yang matang dari pemerintah untuk meminimalisir dampaknya.

Upaya itu bisa dilakukan lewat kerja dan inisiatif pemerintah di dalam negeri dan kerja sama multilateral.

Pada level multilateral, Beni menekankan pentingnya melanjutkan kerja sama yang lebih kuat antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan China agar konflik di perairan bisa diminimalisir.

Indonesia saat ini terus berupaya mempercepat proses negosiasi kode etik atau Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan. Inisiatif Indonesia ini melibatkan ASEAN dan China.

Sambil memperkuat kerja sama multilateral itu, Indonesia juga perlu meningkatkan pengawasan dan keamanan di wilayah ZEE terutama di Natuna Utara.

"Pengawasan bisa melalui perangkat intelijen, surveilans, dan pemantauan (ISR), terutama jika patroli kapal TNI AL hanya bisa dilakukan secara terbatas," kata Beni.

Ia juga mendorong adanya mekanisme pengawasan dan pengamanan lintas instansi. Dengan kata lain, tanggung jawab tak hanya di pundak TNI AL. Kerja sama antar pemangku kepentingan bisa melibatkan Bakamla, Polri, KKP, Kemenhub, TNI AU, lembaga penelitian hingga masyarakat sekitar.

Di sisi lain, Asrudin meyakini China sebagai negara yang bersinggungan dengan Indonesia di Natuna Utara, tak akan menjadi ancaman serius apalagi sampai memicu konflik. 

Hal yang mendasari itu adalah posisi strategis Indonesia di ASEAN dan kesalingtergantungan dengan China.

Ada hubungan ekonomi penting antara China dengan Indonesia dan ASEAN. Data resmi pemerintah yang dirilis kantor berita Xinhua bahkan mengungkap ASEAN sebagai mitra dagang terbesar China pada 2023.

Meski demikian, Asrudin tetap menekankan pentingnya sikap tegas dalam menegakkan hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna Utara. Ini berlaku tak hanya kepada China, juga terhadap negara-negara lain yang melanggar wilayah ZEE Indonesia.

Menurut dosen Universitas Satyagama Jakarta ini, sikap tegas penting agar Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain.

"Tanpa ketegasan, persepsi itu pasti akan tumbuh dan merugikan kedaulatan Indonesia sebagai negara besar," ucapnya.

Menurutnya, sikap tegas Indonesia pernah diperlihatkan pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Salah satunya lewat kebijakan menenggelamkan kapal-kapal yang melanggar wilayah Indonesia.

"Memang anggarannya cukup besar, tapi apa yang diselamatkan jauh lebih berharga karena menyangkut kedaulatan," ujar dia.

Sikap tegas itu perlu dipertahankan meski lewat cara yang berbeda. Asrudin secara khusus menyoroti sikap diam Indonesia terhadap protes China terkait Natuna Utara. 

Menurutnya, sikap tersebut sudah tepat. Dengan diam, Indonesia secara tak langsung menegaskan posisinya di Natuna Utara.

Asrudin juga mendorong pentingnya kehadiran negara secara permanen lewat patroli-patroli dan meningkatkan eksplorasi di Natuna Utara serta wilayah-wilayah perbatasan lain yang rawan konflik dan pelanggaran pihak luar.

Catatan lain, Asrudin menekankan bahwa kerja-kerja menegakkan kedaulatan di Natuna Utara harus dilakukan dalam satu rantai komando yang jelas.

Menurutnya, pelibatan banyak instansi akan sulit berjalan efektif dan efisien jika tidak terkoordinasi dalam satu komando tunggal. Ego sektoral bisa muncul dan menghambat kerja-kerja di lapangan.

Kedaulatan merupakan hal yang vital bagi sebuah negara. Kedaulatan bisa mempengaruhi hajat hidup warga bahkan keberlangsungan sebuah negara. Atas dasar itu, Asrudin mendorong peran langsung dari presiden dalam upaya menjamin dan menegakkan kedaulatan di Natuna Utara, juga wilayah-wilayah perbatasan lain. (sumber: cnnindonesia.com)
 

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami