search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Desa Pegayaman terhampar di lereng Bukit Gigit
Selasa, 9 Agustus 2011, 08:10 WITA Follow
image

google.co.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BULELENG.

Beritabali.com, Buleleng. Desa Pegayaman terhampar di lereng Bukit Gigit, satu di antara jajaran perbukitan yang memagari Bali Utara dengan daerah selatan. Jaraknya sekitar 70 km dari Denpasar, di tengah jalur menuju Singaraja. Wilayah seluas 1.584 hektare ini dihuni 999 kepala keluarga, sama dengan jumlah ayat di dalam Al-Quran, dengan 4.821 jiwa. Hanya 477 orang penghuni desa ini beragama Hindu.

Pegayaman dibagi menjadi empat banjar atau dusun: Banjar Dauh Rurung (Barat Jalan), Banjar Dangin Rurung (Timur Jalan), Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian, alias kepala banjar –tak berbeda dengan desa adat di seluruh Bali.

Di Pegayaman, Buleleng, Bali, sebagian warga muslim menambahkan nama Bali Wayan, Made, Nyoman dan Ketut pada nama-nama Islam mereka, seperti Wayan Abdullah, misalnya. Mereka disebut ”Nyama Selam”, atau ”Saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya.

Tak sulit mencari lokasi desa ini, meskipun ia berada di lereng bukit dan dikelilingi kebun cengkeh dan kopi. Menjelang jalan masuk ke Pegayaman, dipasang papan penunjuk arah yang cukup mencolok. Jalan raya menuju desa itu seluruhnya diaspal mulus. Sedangkan jalan-jalan yang lebih sempit diperkeras dengan semen.

Memeluk Islam tak membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman lain sama sekali dengan yang menganut Hindu. Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak memakai hiasan ukir-ukiran, yang pada bangunan milik warga Bali seakan wajib hukumnya. Juga tidak ada bangunan sanggah, tempat pemujaan keluarga yang umum terdapat di setiap rumah penduduk Bali beragama Hindu.

Dalam memberikan nama, mereka tetap mengikuti tradisi. Anak pertama disebut Wayan, anak kedua Nengah, anak ketiga dan keempat masing-masing Nyoman dan Ketut. Ketika mereka saling memberikan salam, terdengarlah ”bunyi” yang unik: ”Assalamu’alaikum, Pak Ketut Ahmad Ibrahim!,” yang dibalas ”Wa’alaikumsalam, Wayan Arafat!”

Penduduk muslim Pegayaman memang penduduk ”asli” Bali. Bukan ”orang Islam pendatang”, yang diasumsikan sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa sekitarnya, pekerjaan pokok mereka berkebun. ”Kami bukan pendatang, kami penduduk Bali asli,” kata I Ketut Ahmad Ibrahim, 80 tahun, Kepala Desa Pegayaman.

Sudah belasan tahun pensiunan anggota TNI ini memimpin Pegayaman. Dia tak punya masalah dengan umat lain agama. ”Kami tidak merasa berbeda, kecuali dalam syariat,” katanya. Perbedaan itu pun tak membuat mereka berjarak, apalagi menjadi eksklusif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, boneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.

Mereka juga ikut menghentikan kegiatan sehari-hari, dan hanya berdiam di rumah pada hari Nyepi. Pada hari raya Hindu, Galungan, umat Hindu juga tetap ngejot, tradisi mengantarkan makanan ke rumah tetangga, meskipun tetangganya muslim. ”Yang diantarkan juga makanan halal,” kata Nyoman Nesa, 65 tahun, penduduk setempat. Sebaliknya, pada Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Pegayaman ngejot ke para tetangga Hindu.

Pada Idul Adha, penduduk yang beragama Islam tetap membuat penjor, yaitu bambu berhias yang ditancapkan di depan rumah. Tentu saja tanpa sesajen. Dalam pembuatannya, warga Hindu ikut membantu, menghias, sampai memancangkannya. Umat Islam hanya membuat penjor pada Idul Adha, yang perayaannya lebih meriah ketimbang Idul Fitri.

Mereka menggelar tari-tarian khas daerah itu, memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru. ”Bagi anak-anak, bukan Idul Fitri yang ditunggu-tunggu, melainkan Idul Adha,” kata Wayan Arafat, 22 tahun, seorang pemuda setempat. Pada Idul Fitri, mereka hanya menjalankan salat id dan bersilaturahmi. Tidak ada kemeriahan lainnya.

”Saya tidak tahu sejarah,” kata Arafat tentang perbedaan itu. ”Kami hanya menjalankan apa yang diwariskan kepada kami.” Ia juga tidak tahu asal muasal leluhurnya hingga sampai bermukim di Pegayaman –yang punya beberapa versi. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, umat Islam di Pegayaman sudah ada sejak zaman kekuasaan Raja Buleleng, Panji Sakti, yaitu pada abad ke-15.

Ketut Ibrahim lalu mengutip sebuah riwayat. ”Katanya raja di Solo menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Panji Sakti sebagai tanda persahabatan,” tutur Ibrahim. Nah, para prajurit dari Jawa Tengah ini kemudian ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan, seperti Raja Mengwi dan Badung.

Para prajurit ini kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya. ”Itu cerita yang saya terima turun-temurun,” Ibrahim menambahkan. Cerita Ibrahim memang tidak didukung bukti tertulis. Dalam berbagai lontar sejarah Bali yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai sejarah Islam Pegayaman.

Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di Bali, pun hanya tertulis masuknya Islam ke Bali secara umum. Disebutkan, agama Islam masuk di Bali pada abad ke-5, dalam masa pemerintahan Raja Gelgel, Kelungkung, sekitar 32 km sebelah timur kota Denpasar. Raja Gelgel mendapat bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit.

Sayang, nama Raja Majapahit tak dicantumkan dalam lontar. Kedatangan para prajurit Jawa itu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis, dan Sasak, Lombok. Beberapa dari mereka inilah yang kemudian menetap di Pegayaman. Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok imigran Islam yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, 1850.

Rombongan ini diduga berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sebab, sampai sekarang, tetua desa Pegayaman masih mengaku keturunan Bugis. Imigran ini menetap di Desa Pegayaman, yang hanya berjarak 9 km di selatan Singaraja, ibu kota Buleleng. Di desa ini mereka kemudian berbaur, dan terjadilah kawin campur.

Dalam masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut sistem patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.

Bila seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung. Sang cewek tetap berada di dalam kamar, sedangkan si pria di luar. ”Kami ngobrol lewat sela-sela daun pintu atau jendela yang tetap tertutup,” kata Wayan Jamil, 20 tahun, pemuda setempat. Tapi, pasangan yang tak punya hubungan asmara malah boleh bertemu langsung.

”Kencan” tak boleh dilakukan malam hari. Sebab, ada aturan, gadis atau remaja putri tidak boleh keluar rumah setelah magrib. Tidak disebutkan hukuman bagi pelanggar aturan itu. ”Saya tak tahu hukumannya, karena belum pernah mendengar ada yang melanggar,” kata Jamil.

Ketika Ramadhan datang, umat Hindu menghormati orang Islam yang berpuasa, dan pada saat berbuka puasa umat Hindu ada yang ngejot (memberikan dengan ikhlas) ketupat.

 



Apalagi saat Idul Fitri datang. Umat Hindu memberi buah-buahan kepada saudaranya yang muslim, sementara pada saat hari raya Galungan, umat Islam memberikan ketupat (minimal anyaman ketupat). 
 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami