Belum Ada Niat Angkutan Online Penuhi Aturan dan Regulasi
Minggu, 18 September 2016,
17:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Setelah mengalami polemik yang berkepanjangan, pemerintah akhirnya menunjukkan kehadirannya bagi pemangku kepentingan transportasi nasional dalam menyikapi kehadiran layanan moda angkutan berbasis aplikasi online (ridesharing) yang dijalankan Uber dan Grab maupun aplikasi yang terbaru GoCar.
Pemerintah juga sebelumnya menegaskan layanan yang diberikan Uber dan Grab selama ini ilegal, karena tak memenuhi UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karena itu, para pemain angkutan online sebelumnya diberikan batas waktu dua bulan atau hingga 1 Juni 2016 untuk memenuhi semua aturan yang ada di regulasi transportasi. Selama masa transisi, kedua pemain tak diijinkan melakukan ekspansi. Namun sebelum melewati batas waktu tersebut, pemerintah telah merevisi Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No.35/2007 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum dengan Peraturan Menteri (PM) No.32/2016 untuk mempertegas angkutan online.
Melalui aturan tersebut, Uber dan Grab maupun GoCar yang telah mengeluarkan sinyal hanya sebagai pemain aplikasi. Konsekuensinya, ketiga aplikasi angkutan online ini termasuk mitra usahanya harus membereskan isu-isu terkait perizinan, mulai dari pembentukan badan usaha, Uji Laik Kendaraan atau KIR, pembangunan depo atau pangkalan dan aturan lainnya.
Dengan batas waktu sosialisasi sampai 1 Oktober 2016 mendatang sederet aturan tersebut akankah Uber dan Grab serta GoCar bisa memenuhi regulasi? Ataukah ketiga aplikasi ini akan diusir dari Indonesia, karena tidak satupun peraturan yang dibuat oleh pemerintah mau dipenuhi oleh angkutan online secara legal?
Kabid Perhubungan Darat Dishub Provinsi Bali, Drs. Nengah Dawan Arya, MM membenarkan pemerintah sudah memberikan batas waktu sampai 1 Oktober 2016 nanti untuk memenuhi semua persyaratan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah. Namun jika sampai batas waktu tersebut, ketiga aplikasi Grab, Uber dan GoCar tidak berniat memenuhi persyaratan, otomatis tetap dilarang beroperasi di Bali. Karena sampai sekarang belum ada satupun syarat yang mau dipenuhi oleh ketiga operator aplikasi angkutan online tersebut.
"Ya untuk yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Permenhub (PM, red) 32 tahun 2016 kita akan ditindak tegas setelah batas waktu tersebut," tegasnya saat dihubungi, Minggu (18/9).
Jika melihat karpet merah yang diberikan oleh pemerintah bagi ketiga aplikasi yang dominan disokong pemodal asing, rasanya tak ada masalah. Lihat saja, pembentukan badan koperasi bagi para mitra angkutan online bisa dilakukan dengan mudah. Seperti di Bali, ada Koperasi ASAP Bali maupun Koperasi Ngurah Rai mau bermitra dengan Uber. Sedangkan Grab mengklaim bermitra dengan Koperasi Wahana Dharma milik Organda Bali, meskipun akhirnya membantah bermitra dengan angkutan online.
Kerikil tajam akan mulai dirasakan nanti, karena semua mitra pengemudi per orang apakah mau bergabung dalam koperasi dimana kendaraan pribadi miliknya wajib dimutasi atas nama koperasi yang bermitra dengan Grab, Uber ataupun GoCar. Selain itu, anggota harus membayar iuran yang kabarnya minimal Rp 1,8 juta per tahun serta kewajiban lain yang ditetapkan sebagai mitra angkutan online. Kerikil lainnya saat bermitra dengan angkutan online terkait pemenuhan soal teknis, seperti pembangunan depo atau pangkalan, pembuatan SIM A Umum, penentuan tarif serta Uji KIR.
Namun praktik selama ini tidak ada niat dari penyelenggara angkutan online untuk mengikuti atuan yang ditetapkan pemerintah. Sama halnya dengan di Bali sampai sekarang tidak ada tanda-tanda ketiga aplikasi tersebut menyelesaikan perijinan termasuk membuka cabang di Bali. Sama halnya dengan di Singapura yang berhasil menghadirkan angkutan antara aplikasi angkutan online dengan taksi konvensional melalui aturan yang sehat. Namun ternyata regulasi tidak menguntungkan bagi Uber dan Grab, sehingga mau angkat kaki dari Singapura.
Pemerintah Singapura melegalkan ride sharing dengan memberikan sertifikat untuk mengoperasikan taksi online selama tiga tahun, berdasarkan aturan Penyedia Layanan Taksi Pihak Ketiga. Para supir dan penyedia aplikasi taksi harus tunduk pada regulasi transportasi dan mengantongi izin taksi, seperti halnya pengemudi taksi profesional. Para supir juga harus bekerja dengan koperasi yang memiliki anggota minimal 20 mobil.
Hasilnya, ternyata faktor distruptive berkurang ketika regulasi hadir. Dikutip dari Bloomberg, salah satu pemain taksi konvensional di Negeri Singa, ComfortDelGro Corp Ltd, kembali menuai keuntungan dan tercatat sebagai perusahaan dengan bullish paling tinggi di indeks MSCI Asia Pacific Excluding Japan. Oleh karena itu, Uber dan Grab kabarnya tak lagi menggenjot mitra supir, tetapi fokus menaikkan profitabilitas alias meningkatkan kapasitas taksi yang tersisa pada keuntungan dari kenaikan harga.
Pemerintah sebaiknya mau belajar banyak dari cara-cara negara lain mengelola bisnis ridesharing. Cukup sudah memberikan karpet merah bagi pemain angkutan online. Kewajiban teknis harus dipenuhi oleh para pemain ini agar pebisnis transportasi yang sudah lebih lama berjuang benar-benar merasakan pemerintah itu ada untuk semua pemangku kepentingan. Apalagi pemerintah memang tak bisa menolak kehadiran teknologi yang membuka model bisnis sharing economy. Tetapi apakah sharing economy ini masa depan dari perekonomian atau sekadar gelembung yang rapuh nantinya?
Harap diingat, dibelakang model bisnis sharing economy adalah pemodal besar yang hanya peduli dengan capital gain dan selalu berhasil lolos dari kejaran kewajiban regulasi. Saatnya pemerintah dan semua pemangku kepentingan merapatkan barisan agar tak mengalami penjajahan dalam bentuk baru di era ekonomi digital.[bbn/rls/psk]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: -