Kenapa Angkutan Online Dilarang, Ini Alasan Sopir Transport Bali
Minggu, 30 Oktober 2016,
17:15 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Ketua Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar-B), Ketut Witra, meminta Gubernur Pastika agar segera menyelesaikan persoalan transport online di Bali. Alasannya, aplikasi online itu datang begitu saja dan tidak pernah membayar pajak apapun.
"Kami sampaikan sesuai PM32, aplikasi online itu tidak memenuhi aturan dan mekanisme yang ada. Terbukti sudah sekian tahun beroperasi, selama ini tidak pernah membayar pajak apapun aplikasinya, sedangkan toko online saja memiliki badan hukum dan aplikasinya itu bayar pajak kepada pemerintah," sentilnya.
Menurut Witra, sopir transport lokal tidak alergi dengan IT (teknologi informasi), karena juga terbiasa melayani tamu melalui BBM, WA ataupun e-mail. Akan tetapi kemajuan teknologi bukan berarti bisa melabrak segala aturan dan tatanan yang ada. Seperti halnya dengan maraknya masalah transport online, jika dikaitkan lagi dengan toko online, tentu sangat berbeda. Karena toko online hanya menjadi tempat pajangan dan transaksi, tidak pernah menentukan harga dari produk mitranya.
"Toko online itu jelas badan hukumnya dan membayar pajak atas transaksi yang terjadi melalui web mereka. Berbeda dengan aplikasi transport online seolah-olah seperti operator taksi. Sementara badan usahanya tidak jelas. Bahkan uang Top Up minimal 200 ribu per sopir setiap minggu larinya kemana? Apalagi tidak dikenakan pajak karena tidak jelas badan usahanya dan tidak terdaftar di Bali," jelasnya.
Selain itu yang paling disesalkan Witra, akibat adanya taksi online ini, malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk jual beli ijin angkutan, sehingga merugikan transport lainnya. Khususnya taksi online berperan sebagai operator taksi dan mereka merekrut dan melakukan kesepakatan, sehingga dikatakan Witra bisa menjual ijin untuk mengambil penumpang.
"Kalo masuk online itu membayar 1,5 juta. Sesudah beroperasi 1 bulan harus membayar sisanya lagi 4,5 juta. Kami ada rekamannya yang akan saya laporkan ke Pak Gubernur. Karena saya bicara sesuai fakta. Ini sangat mengejutkan benar sekali harus membayar Rp 1.5 juta diawal untuk ijin dan 4.5 juta setelah 1 bulan. Padahal kita tahu bahwa ijin sudah Pak Gubernur tutup," beber Witra.
Witra saat itu juga menyebutkan ada oknum-oknum Organda Bali bahkan ikut merekrut angkutan online yang juga perlu ijin darimana? Gubernur Pastika diminta mengusut dengan baik dan oknum-oknum yang ada di Organda Bali diminta dihabiskan dulu, karena mereka sudah merekrut dan menjual ijin.
"Saya sudah kasi tahu anggota agar tidak terjadi hal-hal yang melanggar hukum. Tolong Pak Gubernur periksa koperasi yang anggotanya sampai ribuan. Mereka sudah jual ijin. Padahal Pak Gubernur sudah menyetop ijin dari April lalu. Lalu darimana ijinya sampai beribu-ribu dijual oleh transport online. Uang penyetorannya itu kemana? Hal ini harus diperiksa, khususnya oknum-oknum koperasi yang bermain jual beli ijin. Kita minta itu juga ditelusuri Pak Gubernur," pintanya.
Witra meminta persoalan angkutan online ini diselesaikan dengan baik. Karena dibawah sudah menanyakan aplikasi itu ditutup atau tidak? Apakah diblokir atau tidak? Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dibawah.
"Tolong Bapak Gubernur dan instansi terkait tolong diselesaikanlah. Menteri Perhubungan juga menyampaikan jika daerah menolak angkutan online keputusannya di Dishub Bali. Jika ada niat seharusnya bisa diblokir di Bali. Karena selama ini mereka tidak mau mengikuti aturan yang berlaku disini," harapnya.
"Kami khan sudah taat mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku dan membayar pajak. Tolong hormati itu. Desa adat juga melarang online, DPRD Bali juga mendukung itu. Jadi investor yang datang silahkan saja, yang penting bayar pajak. Kalo tidak mau bayar pajak, kita sendiri saja yang bayar pajak," tegasnya.
Sedangkan dari pihak Ketua Paguyuban Transport Online Bali (PTOB), I Wayan Suata menyatakan, selama ini sopir pangkalan hanya berlindung di desa adat, sehingga menghabiskan badan jalan yang dibuat pemerintah.
"Pak Gub, pangkalan itu diback up desa adat, padahal badan jalan dibangun pemerintah. Diblokirlah badan jalan oleh sopir-sopir pangkalan dengan membayar Rp 100 ribu sampai 300 ribu perbulan masuk ke banjar. Saya tahu persis di daerah saya di Legian Seminyak seperti itu Pak Gub," ucap Ketua ASAP Bali itu.
Menurut Suata, jika memakai angkutan online tidak perlu parkir di pangkalan. Selain itu juga ada sosialisasi PM32 selama 6 bulan, namun anehnya justru sopir pangkalan yang main tilang dengan denda Rp500 ribu.
"Jadi tidak perlu ada pangkalan Pak Gub. Kalo tamu tidak dapat di pangkalan mau apa, kalo kita cukup diam saja dirumah," katanya sembari mengaku banyak sopir angkutan online yang SIM-nya ditahan termasuk STNK dan bahkan HP-nya dirampas.
"Karena saya tidak mau ribut saya laporkan saja ke polisi, itu ada bukti. Sanksi 500 ribu juga tidak diteken desa adat pak, hanya sopir pangkalan. Apa sopir pangkalan itu bisa berlaku sebagai polisi menilang?," tanyanya.[bbn/rls/psk]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: -