search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Koster Stop Kampanye 2 Anak: Menjaga Warisan Leluhur Vs Kacamata Pengendalian Penduduk
Rabu, 28 November 2018, 11:49 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster tentang menyetop kampanye KB dua anak cukup menuai kontroversi. Ungkapannya dinilai tidak sejalan dengan program pemerintah terutama institusi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan mottonya '2 anak Cukup'. 
 
Ia mempertimbangkan beberapa alasan diantaranya pertumbuhan penduduk yang konstan di Bali akan mengakibatkan tergerusnya jumlah penduduk. Padahal, kata dia perencanaan anggaran negara didasarkan pada jumlah penduduk sehingga justru tidak perlu dikhawatirkan.
 
Disamping itu, warisan budaya leluhur dengan nama 'Nyoman' dan 'Ketut' sebagai sebutan anak ketiga dan keempat akan punah karena sudah jarang ditemui di KTP sehingga sehingga mereduksi kekayaan Bali. "Saya sempat sampaikan Kepala BKKBN pusat untuk tidak mengkampanyekan dua anak di Bali karena membunuh warisan leluhur, nanti berdosa pada leluhur," ujarnya, Senin (26/11) ini saat memperingati HUT PGRI di Taman Budaya, Denpasar.
 
Ia mengusulkan Keluarga Berencana (KB) di Bali diubah menjadi Keluarga Berkualitas dan menolak pola vasektomi dan kampung KB di desa di Bali. Ia berencana merapatkan Bupati untuk meninjau kembali program KB dua anak ini. Namun kembali ia membatasi penerapan warisan leluhur ini tidak untuk dipaksakan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi atau usia sudah terbatas (lansia). "Nyen Nyidaang papat, artinya jangan diwajibkan dua," ungkapnya.
 
Penolakan KB 2 Anak ini juga sempat getol diperjuangkan oleh Pakar Psikiatri Prof DR Dr Luh Ketut Suryani SpKj, sebagai pengusung ide awal yang juga pendukung Koster di masa kampenye Pilgub 2018 lalu. Menurutnya penerapan dua anak cukup berkorelasi dan memicu potensi gangguan jiwa di masyarakat. Pola pikir ini menyebabkan peristiwa 'kebobolan' lahirnya anak ketiga atau berikutnya mengakibatkan pasangan berpikir pendek melakukan aborsi, terlebih jika alasannya belum siap secara ekonomi.   
 
   
 
Dampaknya secara spiritual, Suryani mengungkap roh bayi yang dibunuh itu menjadi gentayangan dan mengganggu kehidupan keluarga, hingga menyebabkan salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa. Penolakan ini dalam prakteknya ia contohkan dari dirinya yang mempunyai enam anak dengan selisih setahun masing-masing anak selama ini tidak mengalami kendala berarti. Sukses mendidik sedari di rahim hingga tumbuh kembang anak menjadi kunci penentu kemandirian anak sehingga tidak terlalu bergantung pada orang tua. Semua mempunyai potensi sendiri-diri. Ini tepat dengan kata tetua dulu, banyak anak banyak rejeki.
 
Kondisi ini berbeda dengan pernyataan mantan Gubernur Bali Made Mangku Pastika sewaktu menjabat. Ia menyatakan program KB sejak beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi. Laju pertumbuhan penduduk Bali yang rata rata mencapai 2,15% berada di atas angka rata-rata nasional. Ia khawatir Perkembangan ini membuat jumlah penduduk Bali saat ini telah mencapai lebih dari 4,2 juta jiwa dan menjadi beban yang sangat berat bagi alam dan lingkungan Bali. 
 
“Kondisi ini membawa implikasi pada pertambahan permasalahan sosial, pendidikan, kesehatan, pemenuhan pangan serta keamanan. Apabila ini tidak ditangani akan menjadi hambatan serius dalam kehidupan keluarga dan masyarakat,“ sebutnya.
 
Ahli kandungan Prof. dr Biran Affandi SpOG (K) dalam temu media Forum Ngobras menjelaskan alasan dua anak patut menjadi panutan. Pertama dari sisi kesehatan ibu, jumlah kelahiran tersebut tergolong aman seperti dikutip dari metrotvnews.com.
 
Selain itu pertimbangannya, menurut drg. Widwiono, M.Kes selaku Direktur Bina Kesertaan Keluarga Berencana Jalur Swasta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah agar menghindari dua balita dalam satu keluarga. Menurutnya, hal ini akan berdampak tidak bagus secara psikologis dan ekonomi anak. Maka itu, Prof Biran menyarankan jarak kelahiran sekitar 2-4 tahun untuk pengasuhan yang lebih baik bagi anak pertama karena dua tahun pertama adalah usia emas bagi pertumbuhan anak. 

Reporter: bbn/rob



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami