Risiko Rumah Jadi Tempat Usaha dan Menetralisirnya Lewat Upacara
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Di zaman modern dimana demi alasan efisiensi dan kebutuhan ekonomi, banyak orang memanfaatkan lahan kosong di rumah sebagai tempat usaha.
Di Bali, hal ini bukanlah hal tabu. Namun belakangan ini fenomena tersebut terjadi lebih massif, misalnya membangun beberapa ruang yang kemudian disewakan.
Namun tak banyak yang tahu, bahwa pemanfaatan rumah sebagai tempat usaha yang tak sesuai akan memberi risiko kepada pemilik karang. Antara lain kisruh keluarga, musibah, wabah penyakit dan kejadian aneh yang tak masuk akal.
Master Jro Made Bayu, atau yang lebih dikenal dengan julukan Jro Gendeng mengakui hal tersebut. Pria asal Klungkung ini menjelaskan, merujuk terhadap beberapa literatur tradisional Bali, seperti lontar Asta Kosala Kosali dan lontar Tetelik Karang, dijelaskan bahwa setiap ruang dan arah di pekarangan rumah berstana dewa yang berbeda-beda. Berbeda pula dengan dewa yang berstana di tempat usaha.
"Sebenarnya antara pekarangan untuk pawongan (manusia), dibedakan dengan tempat usaha," ujarnya belum lama ini.
Peramal yang juga penekun lontar ini mengatakan, di tempat usaha yang berstana adalah Ratu mas Melanting dan Sang Hyang Sri Sedana atau Sang Hyang Rambut Sedana. Berbeda dengan dewa yang berstana di pekarangan rumah.
Kendati kondisi ini tak dibahas mengkhusus dalam literatur tradisional, berdasarkan literatur lainnya, ada beberapa alternatif apabila sebagian lahan rumah difungsikan sebagai tempat usaha.
Misalnya dengan memberi batas atau ruang antara tembok rumah dengan tembok tempat usaha.
Ia yang pernah mengenyam pendidikan ramalan, Accoultism Metafisika Parapsikologis supranatural di Batam tahun 2004 ini menerangkan, hal tersebut menjadi simbul bahwa tempat usaha berada di luar pekarangan.
Alternatif lainnya, apabila harus menyatu, akses masuk atau pintu antara tempat usaha dengan pintu pekarangan dibedakan. Ini dilakukan juga untuk menghindari ruang usaha dan pekarangan menjadi satu.
"Ada juga unsur penetral dengan menggunakan upacara dan upakara. Seperti upacara mecaru, mendirikan Pelinggih," jelasnya.
Upacara mecaru bisa menggunakan tingkatan sederhana, misalnya caru pemahayu karang atau dengan upacara lain yang disesuikan dengan kemampuan pemilik rumah. Adapun pelinggih yang dapat difungsikan, antara lain Padma Capah (atap terbuka) atau Pelinggih Indra Blaka, sebagai penjaga gaib yang berfungsi menetralisir unsur negatif terhadap lahan rumah.
"Di Indra Blaka itu melingih Sang Hyang Indra Blaka. Posisinya di luar pekarangan, namun masih menempel di karang tersebut. Sedangkan di Padma Capah melinggih Sang Durga Maya," paparnya.
Bagaimana dengan usaha berbasis daring yang dioperasikan di rumah? Ia menjelaskan, literatur tradisional Bali bisa diterapkan dalam konteks apa saja, termasuk menyikapi perkembangan teknologi daring.
Ia menerangkan, usaha yang berbasis daring dapat disimbulkan dengan pelangkiran dan daksina. Ini merupakan simbul, yang menjelaskan bahwa pemilik rumah memiliki usaha. Melalui pelangkiran dan daksina ini, pemilik dapat melakukan persembahan dan persembahyangan kepada dewa dagang yang diyakini.
Menetralisir unsur negatif tidak saja dilakukan terhadap lahan rumah yang sebagian digunakan sebagai tempat usaha. Contoh lainnya adalah pekarangan yang sebelumnya berfungsi sebagai sawah, digunakan sebagai tempat tinggal, maka juga harus dibuatkan upakara penetralisir sebagai antisipasi energi yang kurang baik.
"Literatur tradisional Bali memang tidak lepas dari unsur upacara dan upakara. Begitulah literatur Bali memuliakan seluruh unsur, meliputi unsur tanah dan unsur lainnya," tutup Jro Gendeng.
Reporter: bbn/tim