search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Perang Rusia-Ukraina Bikin Arab Sengsara, Ini Bukti Barunya
Selasa, 31 Januari 2023, 16:27 WITA Follow
image

beritabali.com/cnbcindonesia.com/Perang Rusia-Ukraina Bikin Arab Sengsara, Ini Bukti Barunya

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Krisis biaya hidup yang turut dipicu perang Rusia dan Ukraina dan dialami beberapa negara di dunia juga dirasakan di wilayah Arab. Baik Arab yang berada di Asia hingga Afrika Utara, hampir seluruh negara merasakan tingginya inflasi yang disertai merosotnya nilai mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pound Mesir telah kehilangan setengah nilainya terhadap dolar sejak Maret tahun lalu, menyusul devaluasi yang diminta sebagai bagian dari perjanjian pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$ 3 miliar (Rp45 triliun).

Inflasi utama negara itu juga telah menembus 21,9 persen pada Desember. Harga pangan mengalami kenaikan hingga 37,9 persen.

"Sepertinya kita terkena gempa bumi; tiba-tiba Anda harus melepaskan segalanya," kata Manar, ibu dua anak asal Mesir berusia 38 tahun, kepada kantor berita AFP yang dikutip Arab News, Selasa (31/1/2023).

"Sekarang, apa pun kehidupan semi-manusia yang telah dilakukan orang telah direduksi menjadi pemikiran tentang berapa harga roti dan telur."

Perekonomian Mesir telah berjuang untuk pulih setelah pandemi Covid-19. Tetapi serangan Rusia ke Ukraina memicu krisis terbaru, karena kedua negara tersebut adalah pengekspor utama gandum ke Mesir dan sumber pariwisata massal.

Menurut Bank Dunia, hampir sepertiga dari 104 juta penduduk Mesir saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan hampir sebanyak itu 'rentan jatuh ke dalam kemiskinan'.

Hal serupa juga dialami Lebanon. Pound Lebanon baru-baru ini mencapai titik terendah sepanjang masa dan kini telah kehilangan sekitar 95 persen nilainya sejak dimulainya krisis keuangan di negara itu pada akhir 2019.

Yordania, Suriah, dan Irak juga mengalami kenaikan besar-besaran dalam harga makanan, bahan bakar, dan barang-barang penting lainnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat terus turun, yang menyebabkan protes dan gelombang kerusuhan yang sebelumnya jarang terjadi.

"Kehidupan sekitar 130 juta orang di wilayah tersebut sekarang dirusak oleh kemiskinan," menurut Survei Perkembangan Ekonomi dan Sosial di Wilayah Arab, yang diterbitkan pada bulan Desember oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat.

Survei itu juga mengungkapkan bahwa wilayah Arab, tidak termasuk Libya dan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC), mengalami lebih dari sepertiga penduduk atau 35,3 persen kini hidup dalam kemiskinan. Tingkat ini diperkirakan akan meningkat selama dua tahun ke depan, mencapai 36 persen pada 2024.

Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa wilayah Arab memiliki tingkat pengangguran tertinggi di dunia pada tahun 2022 mencapai 12 persen.

Namun, efek inflasi belum dirasakan secara merata di seluruh wilayah. Menurut Ahmed Moummi, penulis utama laporan survei, kemungkinan negara-negara GCC dan negara pengekspor minyak lainnya akan terus mendapatkan keuntungan dari harga energi yang lebih tinggi, sementara negara pengimpor minyak akan mengalami beberapa tantangan sosial ekonomi.

"Situasi saat ini menghadirkan peluang bagi negara-negara Arab pengekspor minyak untuk mendiversifikasi ekonomi mereka dari sektor energi dengan mengumpulkan cadangan dan berinvestasi dalam proyek-proyek yang menghasilkan pertumbuhan inklusif dan pembangunan berkelanjutan," kata Moummi.

Arab Saudi diperkirakan akan menjadi ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di kelompok negara maju G20 tahun ini. Sementara itu, ekonomi Lebanon mengalami kontraksi tahun lalu di tengah kelumpuhan politik dan penundaan penerapan rencana pemulihan.

Ekonom mengatakan efek inflasi baru-baru ini memiliki efek keras yang tidak proporsional pada negara-negara Arab yang bergantung pada impor makanan dan komoditas penting lainnya. Dunia Arab sudah menjadi salah satu wilayah paling rawan pangan di dunia, dan dalam setahun terakhir jumlah rumah tangga yang kelaparan meningkat.

Sebelum perang di Ukraina dimulai, Rusia adalah pengekspor gandum terbesar di dunia dan Ukraina yang terbesar kelima, masing-masing menyumbang sekitar 20 persen dan 10 persen dari ekspor global.

Oleh karena itu, blokade pelabuhan Laut Hitam Ukraina tahun lalu mengakibatkan lonjakan besar-besaran harga pasar biji-bijian, minyak goreng, dan pupuk. Hal ini menyebabkan harga barang kebutuhan pokok seperti roti melambung tinggi di seluruh wilayah Arab.

Meskipun kesepakatan yang ditengahi PBB musim panas lalu memungkinkan pengiriman biji-bijian Laut Hitam untuk dilanjutkan, sanksi Barat terhadap barang-barang Rusia, termasuk produk hidrokarbon, menaikkan harga bahan bakar dan, pada gilirannya, biaya impor.

"Ketahanan pangan telah terancam di beberapa negara, terutama yang menyaksikan konflik dan kerusuhan (baik politik maupun ekonomi), karena keranjang makanan menjadi semakin tidak terjangkau," kata Majed Skaini, manajer regional Program Perbandingan Internasional di UN ESCWA.(sumber: cnbcindonesia.com)


 

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami