search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Nasib Warga Adat di Hutan Harapan Jambi Terabaikan di Pemilu 2024
Minggu, 4 Februari 2024, 14:27 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Nasib Warga Adat di Hutan Harapan Jambi Terabaikan di Pemilu 2024

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Perempuan Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan, Teguh Santika (44) duduk di depan pintu rumahnya yang berada di kawasan Hutan Harapan, Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi.

Dia menunjukkan sejumlah kartu bergambar yang didapatkan suaminya saat keluar hutan yang jadi tempat tinggal mereka.

Terlihat seorang pria berpeci di beberapa kartu bergambar itu. Ada tulisan di kartu yang menunjukkan sosok dalam kartu-kartu tersebut adalah calon legislatif (caleg) di Provinsi Jambi pada Pemilu 2024.

Mereka tak mengenalnya. Bahkan, Teguh bersaksi orang di dalam kartu itu belum masuk ke permukiman Batin Sembilan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat adat tersebut.

Dan, sambungnya, selama proses Pemilu 2024 ini belum ada peserta calonnya yang memperkenalkan diri ke warga adat sana. Itu, katanya, sudah berlangsung bertahun-tahun selama gelaran pemilu.

"Kalau calon (caleg yang datang), belum ado. Ya macam tu, tidak bisa ditanggapi. Dari tahun ke tahun seperti itu," ujarnya yang karib disapa Bi Teguh itu kepada CNNIndonesia.com, Minggu (21/1).

Bi Teguh adalah tokoh perempuan masyarakat Batin Sembilan yang aktif menjaga Hutan Harapan. Ia dan kelompoknya kerap berpatroli di kawasan rimba demi mencegah perambahan atau aktivitas yang merusak Hutan Harapan.

"Kalau hutan, biarlah jadi hutan. Kalau pun berkebun, janganlah yang merusak hutan. Kebanyakan orang luar ke sini bukan untuk bertahan hidup, tetapi mencari kekayaan. Mereka aslinya tidak tinggal di sini. Kalau kami dari nenek moyang di sini," ujarnya.

Bi Teguh pun berharap pemerintah dan dewan perwakilan rakyat yang terpilih bisa mendengarkan serta memperjuangkan hak ruang hidup Batin Sembilan.

Bi Teguh mengatakan sejauh ini tidak ada caleg yang menunjukkan kesadaran ekologis untuk menyelamatkan ruang hidup Batin Sembilan. Bukan hanya Teguh, hal itu pun dirasakan orang-orang Batin Sembilan lainnya yang ditemui CNNIndonesia.com di kampung adat dalam hutan itu.

Tidak hanya caleg, penyelenggara pemilu dan pemerintah setempat pun tidak melakukan sosialisasi dan edukasi langsung di kawasan Hutan Harapan untuk Batin Sembilan. Masyarakat adat ini rentan menjadi korban malainformasi dan disinformasi menjelang Pemilu 2024.

"Tiba-tiba cuma dapat undangan ikut pemilihan (seperti sebelumnya). Dapat dari ketua RT. Dia tidak memaksa juga. Tapi karena kami berhak, ya kami tetap memilih (menggunakan hak pilih)," kata Bi Teguh.

Komrin (55), warga Batin Sembilan, pun mengatakan tidak ada kunjungan dari caleg dan pihak KPU. Ia menjadi tidak tahu akan memilih caleg yang mana, dan hanya tahu calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilihnya.

"Kalau yang untuk sekarang belum ado semua. Belum ada penyuluhannya. Kami agak kecewa. Seharusnya apa ke depan untuk Batin Sembilan itu dipikirkan," kata pria yang merupakan bagian kelompok Simpang Macan.

Kehidupan warga hutan dan keluhan ke MenLHK

Sebagai bagian dari kelompok adat hutan, Teguh sebelumnya hidup berpindah-pindah di kawasan rimba dengan berburu dan mengumpulkan makanan atau hasil hutan. Namun, Teguh dan masyarakat Batin Sembilan lainnya kini terpaksa bermukim.

Dia mengatakan dari sekitar 230 keluarga Batin Sembilan di Hutan Harapan, hanya puluhan jiwa yang masih hidup secara nomaden.

Selebihnya telah bermukim seperti kelompok Kelompang, Simpang Macan, dan beberapa kelompok lainnya. Mereka diberdayakan oleh perusahaan yang bertugas merestorasi dan mengelola Hutan Harapan yakni PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki).

Perubahan pola hidup ini terjadi lantaran Hutan Harapan mengalami kerusakan setelah dirambah para pendatang yang kebanyakan dari luar Provinsi Jambi. Masyarakat adat di sana menjadi kesulitan bertahan dengan pola nomaden di hutan ini.

Kendati demikian, masyarakat Batin Sembilan masih tetap bergantung dengan hutan. Mereka masih mencari getah damar, buah jernang, rotan, madu, meski harus menempuh jarak yang cukup jauh. Praktik pengobatan tradisional pun masih dipertahankan mereka.

"Kalau dahulu... berjalan sedikit, sudah ketemu (hasil hutan). Kalau sekarang harus masuk ke dalam, jauh. Hasilnya tidak sebanyak dahulu. Kalau ke dalam (masuk hutan) bisa sampai sebulan. Dapat getah damar belasan sampai 30 kilogram, jual ke PT Reki," kata Teguh.

Namun, kehidupan masyarakat Batin Sembilan di hutan terus menerus terancam dengan kegiatan perkebunan sawit ilegal dan pertambangan minyak ilegal di  kawasan hutan tropis dataran rendah yang tersisa di Jambi itu.

Ia mengeluhkan pemerintah setempat tidak memahami penderitaan Batin Sembilan. Ia pernah menyampaikan keluhan ini kepada Menteri KLHK Siti Nurbaya saat kegiatan di kantor PT Reki beberapa waktu lalu.

"Aku bilanglah kalau butuh dan ingin jadi pemerintah, baru datang surat undangannya (pemilu dan pilkades). Kalau penderitaan masyarakat Batin Sembilan ini mereka tidak tahu. Kami sangat butuh perhatian pemerintah," kata Teguh.

Masyarakat adat komoditas politik

Asisten Manajer Community Livelihood and Development (CLD) PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) Muchtar Lutfi mengatakan para kandidat sejak pemilu sebelumnya cenderung berkampanye di permukiman masyarakat pendatang dibandingkan terhadap masyarakat Batin Sembilan. Kelangsungan hidup dan kebudayaan tradisional Batin Sembilan terkesan diabaikan.

"Mereka [masyarakat adat hutan] selama ini ikut memilih. Tapi secara politis mereka memang tidak besar," ujarnya.

Akademisi Ilmu Pemerintahan di Universitas Nurdin Hamzah, Wenny Ira, mengatakan para politisi atau kandidat di Jambi belum menunjukkan ketertarikan terhadap isu Suku Anak Dalam, termasuk Batin Sembilan.

Sehingga tak aneh bila tidak ada ada politisi yang memperjuangkan ruang hidup masyarakat adat itu.

Masyarakat adat ini selayaknya objek untuk mendulang suara. Hak suara mereka masih dikumpulkan tetapi hak ruang hidup mereka dipinggirkan. Di sisi lain, ada pula stigma dan disinformasi masyarakat adat Suku Anak Dalam tidak bisa memilih.

"Masyarakat Batin Sembilan dijadikan komoditi politik. Caleg tidak tertarik masuk mendengarkan dan menyuarakan hak mereka. Mungkin bisa tanya langsung kepada mereka kenapa seperti ini," ujarnya, Selasa (30/1).

Menurut Wenny, hak informasi bagi masyarakat adat juga termasuk yang berkaitan dengan pemilu. Menurutnya, masyarakat Batin Sembilan juga membutuhkan pendidikan politik. Ia tidak ingin stigma masyarakat Batin Sembilan tidak bisa menggunakan hak suara, meluas.

"Hak informasi itu bagian dari hak politik juga. Kalau tidak ada, mereka tidak bisa bersikap. Perlu pendidikan politik juga," katanya.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jambi Zaibin Haryys mengatakan penyelenggara pemilu perlu melakukan sosialisasi dan edukasi langsung di pedalaman untuk Suku Anak Dalam, supaya masyarakat adat itu mengetahui dan bisa menentukan pilihannya.

"Karena di pedalaman itu sinyal susah. Nah seharusnya, penyelenggara pemilu itu turun. Seharusnya masuk ke dalam, komunitas Suku Anak Dalam dikumpulkan, di situ sosialisasinya. Ini yang tidak terjadi," tuturnya.

Penjelasan KPU

Sementara itu, Ketua KPU Batanghari Halim menyampaikan walau KPU tidak melakukan sosialisasi di Hutan Harapan, pihaknya sudah mengadakan sosialisasi di Balai Desa Bungku. Ada beberapa masyarakat Suku Anak Dalam hadir di sana, diklaim Halim berjumlah sekitar 10 orang.

"Sebagian SAD kita sudah modern. Di Bungku itu sudah modern. KPU sudah melakukan sosialisasi kepada mereka bahwa ada pemilu tanggal 14 Februari, ada pemilihan presiden dan DPR. Itu sudah kami informasikan kelompok minoritas ini," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

KPU Batanghari pun tidak mengadakan TPS lokasi khusus untuk Suku Anak Dalam di Hutan Harapan. Penyelenggara pemilu di sana hanya menyiapkan TPS lokasi khusus di lembaga pemasyarakatan.

Sebab tidak mempunyai TPS khusus di Hutan Harapan, masyarakat Batin Sembilan harus keluar dari hutan untuk menggunakan hak pilih. Masyarakat Batin Sembilan akan memilih di TPS yang sama dengan masyarakat mayoritas yang jaraknya taklah dekat.

"Terkendala akses, juga berkaitan dengan anggaran. Untuk sementara ini Suku Anak Dalam menyoblos di TPS masyarakat lainnya. Tidak ada TPS khusus untuk Suku Anak Dalam," kata Halim.

Pernyataan ini bertentangan dengan KPU Provinsi Jambi yang mengatakan bahwa di beberapa kabupaten akan disiapkan TPS khusus untuk Suku Anak Dalam.

"Memang di SAD (Suku Anak Dalam), ada beberapa titik TPS khusus. Untuk waktu pengiriman logistiknya sama. TPS khusus itu berisikan mayoritas masyarakat SAD. Hanya beberapa masyarakat dari luar," ujar Anggota KPU Provinsi Jambi Edison kepada sejumlah wartawan termasuk CNNINdonesia.com, Desember 2022 lalu.

KPU Provinsi Jambi mendata terdapat 1.841 warga SAD di Jambi yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Dari total SAD yang tercatat dalam DPT Pemilu 2024 tersebut, terbanyak berada di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 738 orang, Merangin berjumlah 489 orang, Batanghari berjumlah 317 orang, dan Tebo berjumlah 297 orang yang tersebar di 18 kecamatan dan 40 desa atau kelurahan.

Liputan ini didukung AJI dan Open Society Foundation dalam program Pelatihan "Verifikasi Disinformasi Isu Minoritas Jelang Pemilu 2024".

(sumber: cnnindonesia.com)

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami