search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Rupert Murdoch, Konglomerat Media Berharta Rp278 Triliun
Minggu, 19 Februari 2023, 12:28 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Rupert Murdoch, Konglomerat Media Berharta Rp278 Triliun

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Rupert Murdoch adalah sosok berpengaruh di industri media abad ini. Melalui News Corp, salah satu orang terkaya di dunia ini mengendalikan ratusan media populer di berbagai negara, mulai dari cetak hingga elektronik.

Di Amerika, ia punya Fox News, The Wall Street Journal dan The New York Post. Di Inggris, ia menggawangi The Sun dan The Times. Lalu, di Australia, ia memiliki Herald Sun dan The Daily Telegraph. Ia juga tercatat sebagai pemilik perusahaan penerbit buku besar Harper Collins.

Kelihaiannya dalam membangun kerajaan media membuat Forbes menempatkan Murdoch di peringkat ke-76 pada daftar konglomerat global tahun lalu. Per Jumat (17/2), Murdoch tercatat memiliki kekayaan US$18,3 miliar atau sekitar Rp278 triliun (asumsi kurs Rp15.200 per dolar AS).

Dilansir dari berbagai sumber, Keith Rupert Murdoch, lahir di Melbourne, Australia, pada 11 Maret 1931. Sejak kecil, darah jurnalisme sudah mengalir di tubuhnya.

Ia adalah anak kedua dari Sir Keith Murdoch, seorang koresponden surat kabar dan penerbit yang sukses di Australia. Semasa hidup, sang ayah merupakan direktur eksekutif Herald and Weekly Times Group, perusahaan media populer di Negeri Kanguru.

Murdoch menempuh pendidikan dasar di sekolah asrama bergengsi Geelong Grammar School, Australia. Di sana, ia aktif sebagai editor jurnal sekolah. Setelah itu, ia menempuh pendidikan tinggi di jurusan filsafat, politik dan ekonomi Worcester College, Oxford, Inggris.

Selepas lulus, Murdoch sempat bekerja sebagai editor di surat kabar London Daily Express tempat di mana ia berkenalan dengan jurnalisme 'sensasional' yang akan mempengaruhi cara berbisnisnya di masa depan.

Saat berusia 21 tahun, sang ayah wafat karena kanker. Hal itu membuatnya harus kembali ke Australia dan melanjutkan bisnis keluarga pada 1954.

Ia mendapatkan warisan perusahaan surat kabar News Limited, yang menaungi The Sunday Mail dan The News, dari sang ayah. Berkat tangan dinginnya, The News sukses di Adelaide.

Maklum, ia mengubah The News menjadi surat kabar yang mewartakan skandal dan seks yang menjual. Ia bahkan turun tangan dalam menentukan headline.

Setelah itu, ia mulai aktif melakukan akuisisi dan ekspansi ke sejumlah media bermasalah di berbagai kota di Australia. Mulai dari Sunday Times di Perth hingga The Daily Mirror di Sydney.

Pada 1969, ia mulai mengakuisisi media asing. Kala itu, ia membeli surat kabar The News of The World yang terbit di London, Inggris. Selang setahun, ia membeli surat kabar populer The Sun.

Ia membangkitkan surat kabar yang sekarat dengan formula yang sama yakni dengan headline bombastis yang menekankan isu kriminal, seks, skandal, dan humaniora.

Pada 1973, Murdoch masuk ke industri media Negeri Paman Sam dengan membeli dua surat kabar harian Texas, salah satunya The San Antonio News. Ia mengubah surat kabar sore itu menjadi koran populer dengan resep berita seks dan skandalnya.

Pada 1974, Murdoch memutuskan untuk pindah ke AS. Pada tahun yang sama, ia membeli tabloid mingguan berskala nasional The Star. Selang dua tahun, ia membeli tabloid sore The New York Post.

Selanjutnya, ia membeli berbagai media lokal di sejumlah negara bagian AS, termasuk The Boston Herald dan The Chicago Sun-Times. Pada 1985, ia memutuskan untuk melepas status warga negara Australia dan berganti menjadi warga tetap New York, AS.

Periode 1980-2000, adalah masa keemasan Murdoch. Selama periode itu ia mengembangkan sayap dengan mengakuisisi radio, stasiun tv, rumah produksi film, perusahaan rekaman, dan penerbit buku.

Pada 1985, ia mengakuisisi Twentieth Century-Fox Film Corporation (20th Century Fox) dan mengembangkannya menjadi Fox Inc yang memproduksi sejumlah film box office dan menaungi saluran berita berpengaruh Fox News.

Di Asia, ia membeli Star TV, saluran tv kabel berbayar yang punya basis di Hong Kong. Hal itu ia lakukan untuk memuluskan rencana membangun kerajaan media global.

Pada 2005, ia membeli perusahaan internet Intermix media yang menaungi Myspace.com. Selang dua tahun, ia mengumumkan telah membeli Dow Jones & Company, penerbit The Wall Street Journal, seharga US$5 miliar.

Ekspansi bisnis Murdoch tak selamanya berjalan mulus. Tumpukan utang yang berujung penjualan media mau tak mau dilakukannya.

Misalnya, pada akhir 1980an, ia sempat menjual The Star dan The New York Post usai berhasil melipatgandakan nilai perusahaan. Namun, pada 1993, ia kembali membeli The New York Post.

Kemudian, pada 2011, ia juga tercatat menjual sahamnya pada Intermix Media karena pengguna MySpace banyak yang beralih ke Facebook. Ia disebut rugi ratusan juta dolar karena harga penjualannya jauh di bawah pembeliannya.

Pada 2013, News Corporation memisahkan lini usaha media cetak dan media televisi. Untuk cetak, bisnisnya tetap dinaungi oleh New Corporation.

Sementara, lini bisnis televisi dan media lainnya yang jauh lebih menguntungkan dinaungi oleh 21st Century Fox. Pada 2015, ia mewariskan kursi CEO 21st Century Fox pada anaknya James Murdoch. Namun, ia tetap menjadi chairman.

Selanjutnya, pada 2017, ia menjual sebagian besar saham 21st Century Fox ke Disney senilai US$71 miliar. Kendati demikian, ia tetap mempertahankan Fox News dan sejumlah saluran televisi di bawah Fox Corporation.

"Jika Anda berada di media, terutama surat kabar, Anda berada di tengah-tengah semua hal menarik yang terjadi di komunitas, dan saya tidak dapat membayangkan kehidupan lain yang ingin seseorang dedikasikan," ujarnya seperti dikutip dari Biography.com.

Skandal Peretasan Telepon

Banyaknya media yang dimiliki membuat Murdoch menjadi sosok yang berpengaruh. Di sisi lain, hal itu juga membawa masalah seperti tersangkut skandal terkait operasional media yang dinaunginya.

Salah satu yang terkenal adalah tindakan tidak etis yang dilakukan salah satu media di bawahnya, News of The World. Pada July 2011, jurnalis media yang berbasis di London itu diduga melakukan tindakan ilegal dan tidak etis yakni meretas telepon selebriti, korban pembunuhan, hingga pejabat tinggi Inggris.

Murdoch tak lama menutup surat kabar itu. Namun, dampak dari terkuaknya skandal tersebut cukup besar mengingat ada sejumlah nama tokoh penting di dalamnya, termasuk PM Inggris kala itu, David Cameron.

Dikutip dari Rolling Stone, Murdoch sendiri menegaskan tindakan peretasan itu "berlawanan dengan apapun yang ia yakini" saat bersaksi di depan parlemen Inggris.

Di AS, salah satu anak usaha News Corp, News America Marketing, juga sempat dituding melakukan aksi peretasan ilegal sistem komputer kompetitor pada periode 2003-2004.

Tak hanya itu, Fox News menjadi perhatian karena dianggap terlalu bias dalam mendukung Partai Republik AS dengan banyak memberitakan hal-hal negatif terkait Partai Demokrat AS. Hal itu diduga berperan dalam membawa kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS. Namun, hal ini dibantah oleh Fox.(sumber: cnnindonesia.com)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami