Sejarah Tari Rejang Sutri, Diyakini Meluluhkan Dendam Gede Mecaling
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, GIANYAR.
Bendesa Adat Batuan, Nyoman Megawan menjelaskan, sejarah Tari Rejang Sutri diyakini awalnya sebagai penetralisir sasih gering yang ditandai dengan berjangkitnya berbagai macam penyakit.
Cikal bakal dipentaskannya Rejang Sutri, diperkirakan bermula pada abad ke-17 sekira Tahun 1658.
Adalah Ida Sri Aji Maha Sirikan menduduki tahta kerajaan Timbul yang diberikan oleh Raja Mengwi. Sebelum menduduki tahta, beliau terlebih dahulu meninjau wilayah. Dalam peninjauan tersebut terdengar masih ada pengikut Balian Batur yang bernama Gede Mecaling tinggal di Tegalinggah Banjar Jungut.
Gede Mecaling terkenal suka mengusik ketentraman masyarakat, sehingga bermaksud diusir. Sri Aji Maha Sirikan kemudian memerintahkan I Dewa Babi untuk mengusir Gede Mecaling.
Terjadilah pertempuran sengit dengan perjanjian, barang siapa yang kalah harus bersedia diusir dari daerah Batuan.
Gede Mecaling yang kalah mengeluarkan pastu, bahwa setiap sasih Kalima akan kembali datang ke Desa Batuan bersama rencang-rencangnya untuk berbuat keonaran. Pastu inilah yang membuat cemas masyarakat Desa Batuan.
Krama Lanang berkumpul menggelar gocekan, adu ayam. Diyakini rencang-rencang Gede Mecaling klangen terhibur dengan aksi adu ayam, sehingga melupakan emosinya untuk berbuat onar.
Sementara krama istri, menghilangkan rasa cemas dengan menari sepanjang malam. “Yang dipuja saat menari yakni Sang Hyang Dedari, sehingga setiap perempuan yang menari Sutri ketika dilihat oleh rencang-rencangnya Gede Mecaling seperti bidadari. Ini juga yang membuat dendam Gede Mecaling luluh,” jelasnya.
Jaman dulu, pementasan Tari Rejang Sutri digelar sampai subuh. Karena diyakini, rencang-rencangnya Gede Mecaling akan pergi saat ayam berkokok pertanda hari telah pagi. Sejak saat itulah, Gocekan dan Rejang Sutri digelar setiap hari selama sasih gering. Kini, meski telah mengalami perkembangan jaman, pementasan tetap digelar sesuai pakem.
“Untuk mempertahankan tradisi ini, krama ngayah dengan sistem giliran. Per hari, biasanya sekitar 50 krama istri,” jelasnya.
Tradisi ini mesineb atau berakhir, ditandai dengan pementasan terakhir setiap Ngembak Gni atau sehari setelah Hari Suci Nyepi.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/gnr