search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
I Gede Geruh Mahaguru Gambuh dari Pedungan
Minggu, 9 September 2018, 08:11 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com,Denpasar. Sebutlah tari Gambuh di Denpasar, maka orang tak mengelak untuk Gede Geruh. Pria kelahiran Banjar Puseh, Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan ini memang dari tari Gambuh—yang hingga kini diyakini sebagai dasar hampir semua jenis tari yang ada di Bali. Geruh bisa dikatakan memang identik dengan Gambuh. Dialah empu Gambuh terakhir yang masih dimiliki Denpasar, bahkan mungkin juga Bali.
 
[pilihan-redaksi]
Kepiawaian Geruh menguasai aneka jenis tari Gambuh ini bukanlah suatu yang terjadi tiba-tiba. Sejak usia enam tahun dia sudah suntuk menekuni tari ini. Pada awalnya dia belajar Gambuh dari seorang panguruk (guru) yang namanya tak diingatnya lagi. Yang jelas, katanya, latihan dilakukan di bale banjar Banjar Puseh, Desa Pedungan, desa kelahirannya. Sebagaimana halnya desa-desa di Bali pada zamannya, di bale banjar inilah proses pembinaan, pengembangan termasuk penciptaan kesenian dimulai. Di sini pula kesenian dimekarkan hingga subur untuk akhirnva diakarkan kembali hingga bertahan tangguh.
 
Belakangan Geruh menekuni Gambuh memang tak sia-sia, meskipun ia sampai berani meluputkan pendidikan formal. Walaupun tak selembar ijazah pendidikan formal pun yang diraihnya, namun dia tetap mampu menguasai dengan sempurna segala jenis tarian Gambuh yang paling rumit sekalipun. Lebih daripada itu, Geruh justru demen atau doyan mendalami tari-tari Gambuh yang tergolong berwatak keras—yang umumnya justru dihindari penari lain, karena suka membikin tubuh penarinya pegal dan linu akibat saking rumitnya gerakan-gerakannya, di samping menguras tenaga dan emosi. 
 
Uniknya, meskipun dia buta huruf alias tak bisa baca-tulis baik huruf Latin maupun aksara Bali, namun segala jenis tembang berbahasa Jawa Kuna (Kawi) yang senantiasa hadir dalam pertunjukan Gambuh mampu dikuasainya di luar kepala. Saat menari Gambuh, tembang dan dialog-dialog berbahasa Jawa Kuna itu otomatis meluncur dalam nada bariton dari mulut Geruh. 
 
Demikian juga halnya dengan Geruh. Meskipun usia uzur terus menggerus fisiknya yang renta, namun ingatannya terhadap tembang, dialog, dan gerakan-gerakan Gambult tetap saja tak pernah lekang. Gambuh bahkan seakan sudah menjadi energi hidupnya. Sehari-hari boleh saja fisik Geruh tampak renta dan ringkih, namun begitu ada yang mengajaknya bicara soal Gambuh, maka semua realitas fisikal demikian akan sirna karenanya. 
 
Tangan dan kakinya yang semula lunglai di atas dipan sontak saja bisa tegati memperagakan tarian Gambuh begitu ada yang memintanya beraksi. Tatap, matanya yang semula redup tiba-tiba akan menjadi, garang sengikun tokoh Gambuh yang diperagakannya. Saat itu, Geruh seakan melupakan kondisi fisiknya, dia ‘menjelma' menjadi energi tarian purba yang penuh taksu. Geruh yang tua pun tampak sangat mempesona. Dia menjadi seorang mahaguru Gambuh.
 
Karena ketotalannya ingin mempersembahkan tarian yang terbaik maka dia tak pernah berpikir tentang duit atau upah saat menari, meskipun dia tak menggeluti pekerjaan lain selain menjadi pragina. Kemiskinan material yang terus membelit hidupnya tetap saja dilaluinya tanpa keluh. Jasa yang telah ditanam dan ditaburnya di ladang Gambuh pun tak pernah dihitung-hitung buahnya. Padahal, di tengah kian punahnya penekun Gambuh, Geruh tak bisa dinilai kecil —apalagi hendak dikecilkan. 
 
Pertengahan dasawarsa 1960-an, misalnya, Bali mulai menyadari kerugian-kerugian mendasar bila Gambuh sebagai dasar segala tari Bali punah. Maka. lewat Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, kini STSI) Denpasar direkonstruksi tari Gambuh itu. Tak ada jalan lain, ASTI pun datang kepada Geruh untuk merekonstruksi tari yang diperkirakan masuk dari Jawa ke Bali sejak pemerintahan Raja Udayana di Bali, sekitar abad ke-10, ini. Geruh menjadi satu-satunya narasumber, karena sejak saat itu Bali tak memiliki maestro lain yang mampu menguasai Gambuh dengan sempurna.
 
Saat itu Gambuh dimasukkan ke dalam kurikulum resmi di ASTI Denpasar. Geruh pun diangkat sebagai Dosen Luar Biasa di ASTI Denpasar. Dari narasumber Geruh inilah ASTI kemudian dapat mengawinkan Gambuh dengan Gong Semar Pagulingan sebagai pengiring sehingga lahir istilah Gambuh Anyar. Aslinya, tarian Gambuh banyak diiringi instrumen rabab dan suling. Karena saat itu tak banyak yang mampu menguasai instrumen rebab dan suling Gambuh, maka untuk menarik minat kalangan muda Bali, dipilihlah Semar Pagulingan sebagai pengiring Gambuh. 
 
[pilihan-redaksi2]
Saat itu, ASTI Denpasar bahkan disebut-sebut sampai membentuk Organisasi tari Gambuh. Di Bali pun kini Gambuh hanya terdapat di beberapa desa. Misalnya, di Banian (Gianyar), Padang Aji (Karangasem), Anturan (Buleleng), dan Desa Feaungan di Denpaar. Jejak perkembangan Gambuh di Desa Pedungan, Denpasar, ini tak terlepas dari upaya Puri Denpasar pada masa silam yang menjadikan desa ini sebagai pusat khusus pengembangan Gambuh sementara Desa Glogor dijadikan sebagai pusat pengembangan Gambuh oleh Puri Pamecutan. 
 
Memang, pada awalnya, Gambuh cenderung tumbuh di puri-puri atau desa-desa yang dijadikan laboratorium Gambuh oleh pihak puri. Bahkan, hingga kini kita bisa mewarisi adanya bale pagambuhan di sejumlah puri sebagai pertanda betapa Gambuh pada zamannya memang tumbuh spesifik di puri-puri. Di Pedungan, Gambuh dijadikan sebagai salah satu tari wali (sakral) di Pura setempat. Dan, warga Pedungan khususnya, termasuk pecinta seni Bali umumnya, tak bakal bisa meniadakan peran Geruh dalam menjaga ajegnya tari Gambuh. Memang, seni tari Bali sudah selayaknya berujar jujur. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami