Menghindari Perkawinan Ngulihang Bengbengan Demi Sebuah Etika
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Bagi masyarakat Bali selama ini sangat menghindari perkawinan ngulihang bengbengan karena dianggap akan mendatangkan hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Namun kenyataannya jenis perkawinan ngulihang bengbengan cenderung dihindari karena lebih pada sebuah etika.
Dalam sebuah artikel berjudul “Inces Dalam Kehidupan Sosial Religius Masyarakat Bali” disebutkan bahwa ngulihang (ngulihin) bengbengan adalah bentuk perkawinan dari seorang perempuan yang diambil istri oleh laki-laki dari pihak keluarga inti asal ibunya. Ngulihang secara harfiah berarti mengembalikan, dan bengbengan berarti tempat ayam bertelur menginspirasikan tentang sosok perempuan.
Penulis artikel I Nyoman Duana Sutika dan I Gusti Ngurah Jayanti dari Fakultas Sastra Universitas Udayana menuliskan terkait dengan idiom kata ngulihang bengbengan, masyarakat Bali juga mengenal istilah kata tulak wali, yang dimaknai sebagai larangan untuk meminta kembali atau mengembalikan barang/benda apapun yang sudah secara tulus iklas pernah diberikan atau diterima oleh orang lain.
Ungkapan ini lebih mengandung muatan etika ketimbang mitos yang diyakini umat bahwa pantang meminta kembali barang/benda apapun yang telah pernah secara tulus iklas diberikan pada orang lain.
Selaras dengan perkawinan ngulihang bengbengan dan terlepas dari pengetahuan geneologis, hal ini mengilustrasikan bahwa apabila seorang perempuan yang diibaratkan sebagai bengbengan (benda), apabila dikembalikan lagi kepada keluarga induk atau keluarga inti ibunya maka implikasinya kurang baik bagi kelangsungan hidup keluarga atau mempelai tersebut.
Selain itu secara medis tentu hubungan kedua mempelai masih dianggap sangat dekat sehingga perkawinan tersebut masih dianggap mengandung unsur-unsur inces yang menimbulkan efek yang tidak diinginkan oleh masyarakat manapun.
Reporter: bbn/mul