search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Sapi Taro, Sapi Bali Yang Melahirkan Tepat Saat ''Rerainan''
Jumat, 3 Mei 2019, 10:50 WITA Follow
image

beritabali.com/kintamani.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, GIANYAR.

Beritabali.com, Gianyar. Sapi Taro merupakan nama lain dari Sapi Bali Putih yang ada di Dusun Taro, Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar yang memiliki jadwal melahirkan selalu tepat pada hari-hari tertentu (rerainan) bagi masyarakat Bali.

[pilihan-redaksi]
Rerainan tersebut seperti Purnama (bulan penuh), Tilem (bulan mati), atau Kajeng Kliwon. Keunikan lain dari sapi ini adalah dibuatkannya upacara keagamaan pada saat kelahiran, upacara setiap enam bulan, serta upacara penguburan. Kuburan sapi Taro pun ada Pura Prajapatinya.

Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Potensi Dan Permasalahan Pengembangan Sapi Taro (Sapi Bali Putih) Di Desa Taro Kabupaten Gianyar Bali” yang merupakan bagian dari Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik Pertanian 2015. Artikel tersebut ditulis oleh I Made Rai Yasa, I Nyoman Adijaya, dan Putu Agus K. Wirawan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bali.

I Made Rai Yasa dan kawan-kawan menulsikan tingginya keyakinan masyarakat Taro bahwa sapi putih adalah hewan suci, maka masyarakat setempat memberikan perlakuan khusus terhadap sapi tersebut. Sapi-sapi tersebut dilarang untuk diperkerjakan, diperjualbelikan, serta dikonsumsi daging maupun susunya. Pelanggaran terhadap larangan tersebut diyakini mendatangkan bencana bagi pelakunya dan keyakinan seperti itu sangat baik dalam mendukung upaya pelestarian sapi ini.

[pilihan-redaksi2]
Dalam keseharian, oleh masyarakat setempat sapi putih jantan diberi sebutan Ida Bagus dan Ida Ayu untuk sapi putih betina. Dalam etika masyarakat Bali, umumnya sebutan itu ditujukan untuk masyarakat berkasta brahmana. Demikian juga, bahasa yang digunakan untuk makan (ngajeng), tidur (merem), sakit (sungkan), bunting (mobot), mati (seda atau lebar), dan sebagainya menggunakan bahasa Bali halus.

Sekitar tahun 1965 populasi sapi ini dilaporkan mencapai lebih dari 100 ekor, dan pada saat itu sapi Taro hidup liar di hutan yang ada di sekitar Desa Taro. Akibat terjadi pemanfaatan hutan oleh masyarakat pada tahun 1967-1968, sapi Taro kemudian dipelihara dengan cara mengikatnya di bawah pepohonan. Antara tahun 2001-2011, populasi sapi Taro dilaporkan hanya mencapai 25 ekor.

Selanjutnya pada saat ini populasinya telah mencapai 34 ekor, dengan rincian 16 ekor pejantan, 12 ekor induk dan dengan 3 ekor pedet jantan serta 3 pedet betina. Berdasarkan “Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan SDGT”, dengan populasi sebanyak itu sapi Taro sudah termasuk ke dalam populasi kritis karena jumlah betina dewasa kurang dari 100 ekor. [bbn/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami