Nyepi Dalam Bahasa Arsitektur Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Nyepi merupakan salah satu ritual fenomenal tahunan umat Hindu. Perayaan tahun baru Saka ini menjadi momen istimewa untuk memberi “jeda” sehari penuh dari aktivitas harian yang senantiasa padat dalam rutinitas.
[pilihan-redaksi]
“Jeda” yang secara filosofis dipahami untuk berhenti sejenak, introspeksi, evaluasi untuk langkah pencarian diri ke dalam, sebagai dikotomi keseharian yang dianggap sebuah bentuk pencarian di luar diri. Lalu, bagaimana Arsitektur Bali mewadahi momen “jeda” ini? Bagaimana para undagi‘arsitek’ Bali merancangnya sebagai tata ruang dan bangunan?
“Jeda” yang lebih terasa dekat pengertiannya dengan waktu ‘Kala’, dalam bahasa arsitektur dapat dibaca sebagai ruang ‘Gana’. Dua putra Dewa Siwa ini terasa tidak terpisahkan; ruang terwujud karena ada jeda waktu, pun karena ada rentang waktu kemudian dirasakan sebagai adanya “antara” atau ruang.
Aspek kesiwaan ini rupanya juga tidak terlepas dari aspek ciptaan saktiNya ‘Dewi Durga’, yakni eksisnya materi “Bhuta” sebagai penegas pembatasan ruang fisik ‘nyata’ dan metafisik ‘maya’.
Ruang secara arsitektural berwujud margin, sempadan, jarak antara, roi, dan beberapa istilah lainnya. Intinya adalah sebentuk ruang. Ruang yang secara pengetahuan Barat dipahami terbentuk karena eksistensi materi atau adanya benda-benda pembatas.
Suatu hal yang sangat berbeda dalam pemahaman pengetahuan Timur, yang memahami ruang adalah kekosongan itu sendiri (Lao Tzu). Dengan demikian dalam pandangan Barat ruang atau kekosongan itu harus ada batas fisik, berbeda dengan prinsip pemahaman Timur, yang tiada keharusan adanya batasan fisikal.
Ruang bagi masyarakat Bali dapat dipahami dalam wujudnya secara sekala ‘riil’ dan niskala ‘idiil’. Secara fisik ruang dapat dilihat dan ditempati. Secara imajiner ruang memiliki batasan garis tak kasat mata yang hanya dapat dirasakan meradiusi sebuah tempat atau kawasan. Radius ruang niskala inilah kemudian mendasari terbentuknya batasan imajiner kesucian “kesakralan” sebuah tempat yang dikenal dengan kawasan suci.
Ada apenyengker ‘sebatas pagar’, apenimpug ‘sejauh melempar’, apeneleng alit ‘sejauh melihat dengan jelas’, apeneleng agung ‘sejauh mata memandang dengan masih jelas’. “Jeda” ini untuk mengarahkan segala aktivitas di dalam radius ini agar menunjang kesakralan situs di dalamnya.
Secara fisik batasan ruang imajiner ini kemudian dikonversi berturut-turut sebagai ruang atau halaman di dalam batasan pagar, ruang dalam radius 100 m, 3 Km, dan 5 Km (Bhisama PHDI Bali, 25 Januari 1994). Aturan inilah yang kurang dipahami atau sengaja tidak mau dimengerti oleh kaum kapitalis, sehingga terjadilah sejumlah kasus penyerobotan radius kesucian kawasan suci pura di Bali demi kepentingan komoditi kapitalis.
Pemahaman ruang pada masyarakat Bali, rupanya juga berkembang secara filosofis sesuai konsep teologi yang berkembang pada zamannya. Kebutuhan “jeda”, untuk membangun relasi harmoni kepada Tuhan dengan segala manifestasi dan pada roh suci leluhur, dirancanglah zona pemujaan (parhyangan).
Ruang korelasi inter dan antar sesama manusia dialokasikan pada zona aktivitas manusia (pawongan), dan zona pelayanan/penunjang (palemahan) yang juga menjadi perluasan ruang interaksi manusia yang bersifat publik, disamping berfungsi bagi kepentingan interaksi dengan alam lingkungan.
Pola keruangan ini kemudian mengkristal dalam konsep mandala pertiwi yang dikembangkan dari paduan tri mandaladengan tri loka menjadi sanga mandala. Ruang-ruang pun kemudian terbentuk dengan sembilan zonasi sebagai letak aktivitas spiritual, komunal dan komersial yang bersifat sakral-semi-profan.
“Jeda” di hadapan candi bentar jaba sisi ‘gerbang terdepan pura’, bermaksud agar mempersiapkan diri semakin mengekang gejolak indriya, “jeda” di hadapan kori jaba tengah ‘gerbang tengah pura’, dirancang agar semakin mengarahkan konsentrasi untuk menghadapNya, demikian juga “jeda” di hadapan kori agung jeroan ‘gerbang paling tengah pura’ semakin menegaskan pesan, agar hanya fokus untuk menghadapNya.
“Jeda” dalam wujud kekosongan ruang untuk “mempersiapkan diri” ini, akan semakin menguat dengan adanya natar ‘halaman pura’ baik di jaba sisi, jaba tengah maupun jeroan atau adanya halaman luar, halaman tengah, dan halaman dalam.
Pada skup batasan lahan hunian tradisional Bali. Ruang kosong yang bermakna “jeda” paling terasa di natah, baik itu di natah umah (terbentuk oleh adanya jarak antara bale dangin, bale dauh, bale daja, dan paon ataupunbale delod); di natah sanggah (terbentuk dengan adanya jajar pelinggih‘altar pemujaan’di sisi Timur, Utara, dan penyengker sanggah‘pagar’); di natah tugu pengijeng (dibatasi pelinggih tugu, baledaja, bale dauh dan penyengker tugu); juga di halaman antara kori ‘pintu masuk’ dengan aling-aling, serta di lebuh ruang antara depan kori’ dengan jalan umum.
Keberadaan teba ‘ruang pengembangan’, telajakan‘sempadan jalan’, margin penyengker yang memberi ruang tembok pagar dengan semua bangunan bale menjadi “jeda” yang berfungsi secara fisikal, ergononis, utilitas (penghawaan, penyinaran, penurun kebisingan), rasa ruang manusiawi ataukah monumental, dan juga diyakini secara niskala berpengaruh positif dalam batasan sukat tertentu sesuaiAsta Kosali.
Pengejawantahan ”Nyepi” pada struktur tri angga sebuah bangunan bale (kaki ‘bataran’, badan ‘bale-bale’, dan kepala ‘atap’), menegaskan struktur pemaknaan ruang: antara yang terbentuk oleh ketinggian bataran lantai menjadi pemutus kelembaban air tanah naik kepermukaan lantai. Ruang kosong antara bataran lantai dengan dipan menjadi “jeda” pemutus dinginnya lantai bataran untuk naik ke bale-bale ‘tempat tidur’.
Ruang antara bale-bale dengan pementang memberi ruang aktivitas keseharian (duduk, tidur, dan lain-lain). Ruang di bawah atap dengan plafon menjadi “jeda” pemutus radiasi panas ke dalam ruang interior.Namun, pada sebuah lumbung padi justru ruang di bawah atap yang terjaga panasnya inilah menjadi ruang simpan hasil bumi yang terbaik agar tidak tumbuh karena kelembaban.
“Jeda” dalam skup permukiman diwujudkan dengan ketersediaan karang tuang ‘ruang di ke empat sudut perempatan’;karang embang ‘ruang di dalam permukiman, antara bale satu dengan lainnya danantara rumah tangga;karang bengang ‘ruang di luar permukiman/antara wilayah desa’;karang kekeran ‘lokasi khusus/spesifik’ seperti: pangkung dan abing ‘jurang’, serta beji ‘sumber mata air’.
Ruang-ruang kosong dalam berbagai varian ini memberi rasa lega atas ketersesakan padatnya bangunan permukiman, di samping untuk pelestarian sumber daya air, tanah, dan udara dalam jangka panjang.
“Jeda” di perkotaan dengan ruang-ruang kosong dalam tekanan nilai ekonomis lahan dan desakan pola hedonis materialis, dapat berwujud karang suwung berupa Ruang Terbuka Hijau dalam bentuk jalur hijau persawahan-ladang, lapangan umum‘alun-alun’, taman kota, taman median, juga fasilitas umum dan sosial di perumahan, ketersediaan lahan parkir di pusat bisnis dan pemerintahan, dan sempadan(bangunan, jalan, jurang, sungai, dan pantai), serta batasan ketinggian bangunan (setinggi 15 meter sesuai Perda Tata Ruang), termasuk perbandingan luas bangunan dengan luas lahan dalambatasan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
Semua ini adalah bentuk-bentuk transformasi nyepi“kekosongan” dalam ruang-ruang di masa kini. Ritus Nyepi terkait eksistensi ruang-ruang, dipahami sebagai penyomia energi (baca: memaknai kembali esensi materi, ruang, dan waktu). Rangkaian upacara dalam ruang-ruang kosong mengalirmaprasawya‘bergerak dari Timur ke Utara’. Berawal dari Kaja Kangin natar sanggahke margin pekarangan melalui natah tugu pengijeng, natah umah, sampai dilebuh kori depan rumah, berlanjut ke catus patha desa ‘perempatan agung’ dan kemudian berakhir dalam keheningan ruang kosong Klod Kauh di setra‘kuburan’ desa. Titik kulminasi sanggam kosmik Siwa-Durgauntuk harmoni semesta.
Penulis:
I Putu Gede Suyoga
Reporter: bbn/opn