Digitalisasi Lontar Sebagai Upaya Menjaga Ilmu Warisan Leluhur Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Digitalisasi merupakan sebuah proses alih media untuk membuat arsip dokumen kedalam bentuk digital. Dokumen yang kini menjadi penting untuk di digitalisasi yaitu lontar. Salah satu lembaga yang cukup konsen selama hampir 7 tahun terakhir terus menerus melakukan digitalisasi lontar di Bali adalah Pusat Kajian Lontar (PKL) Universitas Udayana. Lembaga ini bahkan melakukan konservasi dan digitalisasi lontar hingga ke Lombok.
Tim ahli Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana, I Gde Nala Antara mengungkapkan digitalisasi menjadi penting dalam upaya menyelamatkan dan melestarikan lontar. Dengan adanya dokumen dalam bentuk digital maka pengetahuan yang terkandung dalam lontar dapat dipertahankan. “Lontar-lontar yang ada di digitalisasi sehingga kita memiliki file digitalnya dan jika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan file digital itu masih tersimpan dan bisa ditulis kembali dalam bentuk lontar” papar Nala Antara saat dikonfirmasi di Denpasar pada Senin (16/3).
Nala Antara menyampaikan selain melakukan digitalisasi terhadap lontar koleksi sendiri, Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana juga melakukan konservasi, identifikasi dan digitalisasi terhadap lontar milik masyarakat. Kegiatan tersebut menjadi bagian dari implementasi dari tri darma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Saat melakukan konservasi, identifikasi dan digitalisasi lontar milik masyarakat, tak jarang tim Pusat Kajian Lontar Unud memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan duplikasi untuk menambah koleksi yang telah dimiliki. “Ketika ada lontar yang cukup penting dan belum menjadi koleksinya Unud, pada saat itulah digitalisasi secara benar, sehingga hasil digitalisasi itu akan di tulis kembali dalam bentuk lontar sehingga menjadi koleksinya Unud,” ungkap pria yang juga aktif memberikan pelatihan membaca dan menulis aksara Bali.
Menurut Nala, digitalisasi memerlukan perencanaan yang matang, termasuk perencanaan dalam pendanaan. Pemerintah juga diharapkan memberikan bantuan pendanaan agar upaya digitalisasi yang sedang berjalan dapat dilakukan secara berkesinambungan. “Digitalisasi memerlukan dana yang tidak kecil, sehingga kedepan sedikit demi sedikit lontar-lontar yang ada di Bali itu bisa disimpan dalam bentuk digital dan itulah salah satunya menjadi tujuan kita. Begitu ada peneliti lontar atau orang yang ingin mempelajari lontar, tidak mesti ngambil lontar itu, jadi tinggal membuka file digital saja,” jelas Nala.
Sebelumnya Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan Bali telah melakukan digitalisasi terhadap lontar yang menjadi koleksi Pusat Dokumentasi (Pusdok) Dinas Kebudayaan Bali. Digitalisasi yang dilaksanakan sejak 2011 tersebut bekerjasama dengan lembaga Archieve Foundation dari Amerika. Sayang, digitalisasi yang telah mencapai 85% dari koleksi lontar Pusdok tersebut dinilai belum maksimal. “Hasil digitalisasi saya rasa belum maksimal, apakah proses digitalisasinya sudah benar? Dalam artian proses digitalisasinya, karena itu membutuhkan cara- cara tertentu, sehingga ketika lontar itu digitalisasi halaman halaman tidak tertukar,” jelasnya.
Terkait jumlah lontar, Nala mengakui belum bisa memastikan jumlah keseluruhan lontar di Bali. Mengingat sangat banyak lontar yang menjadi koleksi pribadi yang tersebar di masyarakat, apalagi cukup banyak masyarakat yang enggan menyampaikan kepemilikannya dengan alasan lontar tersebut disakralkan. “Perkiraanya menurut pengamatan saya jumlah cakep lontar yang ada di Bali itu ratusan ribu cakep dengan berbagai versi,” ungkap Nala.
Nala menambahkan bahwa proses digitalisasi lontar perlu mendapatkan dukungan dari masyarakan, sehingga perlu adanya sosialisasi. Sosialisasi menjadi jalan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya proses digitalisasi. Belum lagi cukup banyak lontar yang ada di masyarakat yang memiliki nilai fungsional yang sangat penting. “Masih ada lontar milik masyarakat yang sangat penting, fungsional memiliki nilai-nilai budaya, nilai-nilai religius yang sangat tinggi yang tersebar di masyarakat. Jadi upaya untuk pendigitalisasian ini harus disosialisasikan” tegas Nala.
Digitalisasi lontar memang penting, tetapi juga perlu dilakukan inventarisasi, kajian dan alih aksara, karena lontar menggunakan Bahasa Bali kuno dan tidak semua menguasai. Demikian disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan “Kun” Adnyana. “Ini dialih aksarakan menjadi berbahasa Indonesia dan berhuruf latin. Sehingga akademi dan sekolah vokasi bisa mengolah ini kemudian targetnya bisa di hilirisasi,” kata Kun.
Dinas Kebudayaan Bali memiliki 6000 lontar dan diharapkan menjadi sumber pengetahuan yang luar biasa. Belum lagi beberapa lontar menyimpan nilai penting peradaban, teknik pengobatan, hingga sejarah. “Potensi yang besar untuk dihilirisasi menjadi produk pangan, obat , herbal dan seterusnya. Disana juga ada praktek teknik fisioterapi,” ungkapnya.
Menurut Kun, kegiatan digitalisasi lontar di Bali tetap berjalan, selain dilakukan oleh Pusat Kajian Lontar Unud juga dilakukan di Museum Bali. Hasil digitalisasi diharapkan tidak dipublikasikan secara penuh, tetapi hanya sebatas judul, jumlah halaman dan ringkasan. “skemanya harus bukan open resource, ini kan pengetahuan tradisional di manapun klausulnya harus ada penghargaan copyright, karena kalau digitalisasi jadi open resource kita yang rugi. Siapapun masyarakat bisa mengakses utuh dokumen kita,” jelas Kun.
Pemerhati adat dan budaya Bali Made Nurbawa berharap digitalisasi lontar yang disertai dengan alih bahasa akan membantu generasi milenial dalam memahami dan mempelajari pengetahuan yang ada dalam lontar. Mengingat lontar maupun hasil digitalisasinya merupakan sumber pengetahuan untuk belajar tentang kehidupan. Berbicara lontar adalah berbicara kandungan pengetahuan yang dituliskan di dalamnya yang dititipkan oleh leluhur melalui bentuk karya tulis dalam lontar.
Nurbawa menekankan digitalisasi lontar bukan sebatas upaya menyimpan warisan ilmu pengetahuan dari bentuk lontar ke dalam bentuk digital semata. Digitalisasi menjadi kesempatan untuk menggali inti sari pengetahuan yang terdapat dalam lontar. Apalagi lontar diyakini menyimpan solusi dan pengetahuan dalam mengatasi permasalahan kehidupan yang sudah pernah dipikirkan oleh leluhur terdahulu. “Penting bagi kita melihat fenomena kehidupan sekarang dari atau bercermin dari kehidupan masa lalu dimana proses penelusuranya melalui lontar,” kata pria asal Tabanan tersebut.
Admin dari organisasi pelestari Bahasa Bali, Basabaliwiki, Ni Made Budi Utami berharap digitalisasi lontar juga dilengkapi dengan bentuk audio dan video. Hal ini guna menarik minat generasi milenial belajar lontar, mengingat generasi muda sekarang kurang memahami bahasa dan aksara Bali. “Bisa dilengkapi dengan digitalisasi versi audio dan video, itu sangat membantu karena generasi milenial akan lebih tertarik belajar kalau ada secara visual. Itu akan menarik perhatian mereka dan sangat mudah diserap oleh mereka,” ungkap Budi.
Sementara Siswa SMUN 3 Denpasar, Rama Gerald Jade mengakui penggunaan aksara Bali dalam lontar menyebabkan dirinya kurang tertarik membaca lontar. Ditambah lagi minat baca yang terus menurun, sehingga perlu adanya sebuah inovasi agar lontar ataupun hasil digitalisasinya menarik untuk dibaca. “Yang penting dilakukan adalah bagaimana mengemas atau menguatkan kembali kearifan lokal itu agar masyarakat menghargai lontar sebagai warisan leluhurnya. lontar dan aksaranya sebagai sebuah kekayaan dari masyarakat,” kata Rama.
Digitalisasi lontar kini seakan menjadi sebuah kebutuhan, sehingga upaya digitalisasi lontar dilakukan oleh berbagai pihak. Contohnya Pemerintah Kota Denpasar sejak tahun lalu mulai melakukan digitalisasi lontar dengan menggandeng Digital Repository of Endengered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA).
Reporter: bbn/mul