Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan

Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
"New Normal" Dalam Budaya (?)
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Ide tulisan ini berangkat dari beberapa poin dalam sebuah artikel berjudul ‘New Normal as Momentum for Sosio-Cultural Transformation’. Pertanyaan penting yang bagi penulis penting adalah: Apakah benar ‘new normal’ itu adalah kesempatan untuk dijadikan sebagai momen transformasi sosial-budaya.
[pilihan-redaksi]
Kendati itu jadi pertanyaan menggelitik, kenyataan yang terpentas adalah budaya di sisi tertentu selalu ada dalam jalur perubahan sekaligus harus ber-akulturasi, dalam arti berbaur dengan budaya lainnya.
Hal kedua yang katakanlah menjadi kegelisahan penulis adalah sebuah statement dari Prof. Rumengan dalam sebuah Webinar bertajuk Dampak Pandemi bagi Ritual Adat dan Kesenian Lokal di berbagai wilayah di Indonesia yang diselenggarakan oleh USU beberapa waktu lalu. Apa yang penting disampaikannya, bahwa kesenian lokal, secara khusus sebagai pencipta seni, harus melihat bahwa new normal adalah sebuah peradaban baru dalam berkesenian, jadi hal penting yang harus dilakukan adalah menjadi seniman yang adaptif dengan kenyataan baru.
Kendati begitu bergaung istilah new normal ini, sebetulnya ketika kita ada dalam periode atau fase new normal, tidak ada yang sesungguhnya disebut kenormalan baru, karena dalam situasi itu, kita sesungguhnya tidak berada dalam keadaan normal (baru). Kita masih ‘sakit’, dengan kata lain, kita berada dalam situasi ‘abnormal’ (?).
Apa pun itu, sebetulnya tidaklah masalah, karena kita memang harus hidup seperti situasi normal. Situasi demikian pun harus ditunjang dan harus dijalankan, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang berlaku, demi menahan laju pertambahan korban yang terkonfirmasi.
Terlepas benar tidaknya dan ada tidaknya sebuah kenormalan baru, sekurang-kurangnya kita perlu menegaskan beberapa poin berikut, sebagaimana diuraikan Prof. Irwan Abdullah. Pertama, pada fase new normal keberadaan covid-19 menghadirkan sebuah pertanyaan besar yakni seberapa kuat budaya Indonesia? Apakah budaya kita cukup elastis? Apakah budaya kita memiliki ketahanan yang cukup kuat? (www.ugm.ac.id).
Penegasan dalam bentuk pertanyaan, menarik karena mempertanyakan seberapa besar kekuatan budaya kita di tengah wabah ini. Jika kita merujuk pada apa yang pernah diuraikan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa yang ada sekarang itu ‘hanyalah’ hasil dari akulturasi budaya. Dalam arti tertentu, kita memang harus berakulturasi, ketika ada budaya yang baru. Benarkah demikian?
Akulturasi mengacu pada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kontak dengan orang, kelompok, dan pengaruh sosial yang berbeda secara budaya (Gibson, 2001). Perubahan dalam satu dimensi dalam proses akulturasi, tidak berarti bahwa dimensi lain berubah secara total, karena kemungkinan terjadi bahwa satu dimensi berubah, tidak menjamin bahwa dimensi lain akan berubah juga. Itu fakta yang tidak bisa kita pungkiri juga.
Dari fakta itu, tampak jelas bahwa, di fase new normal ini, semua pihak (yang tentu saja ada dalam budaya) belajar untuk hal-hal yang baru. Bandingkan budaya hidup sehat seperti rajin mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak sosial. Demikian pun dalam hal kesehatan, orang tidak dapat menolak covid-19 karena, karena sampai saat ini belum ada yang menemukan vaksinnya.
Oleh karena itu, protokol kesehatan solusinya adalah sosial dan budaya. Kekuatan itu tampak nyata di dalam masyarakat dan keluarga. Praktisnya, sudah terurai fakta-fakta empiris dari penelitian saat ini yang menunjukkan bahwa satu orang yang terinfeksi di rumah dapat menghancurkan satu keluarga. Satu orang di desa itu terpengaruh meskipun ODP, akan bisa mengganggu ‘pertahanan’ satu desa. (ibid.)
Dengan kata lain, new normal mementaskan sebuah fakta yang sesungguhnya yakni new normal adalah sebuah peradaban baru. Di era itu, semua tidak lagi seperti keadaan yang normal (keadaan sebelum new normal), karena era itu kita mengalami krisis. Kendati demikian kita dalam keadaan krisis, kita harus bangkit, kita harus menjadi pribadi yang unggul dan tidak hanya berhenti memikirkannya, tetapi sebaliknya harus terus hidup dan beraktivitas, tentu dengan gaya hidup yang baru.
Demikian juga di saat kita menghadapi krisis sekalipun, kita sebetulnya serentak menghadapi peluang baru, untuk bertransformasi menjadi subjek-pribadi yang disiplin. "Disiplin ini adalah salah satu cara untuk menanggapi krisis yang awalnya adalah krisis medis yang kemudian berdampak pada sosial, ekonomi, politik, dan krisis lainnya. Ini memaksa kita untuk membangun budaya baru, tradisi baru dalam bentuk kehidupan sehat, misalnya, atau melakukan kegiatan produktif dengan teknologi. (ibid).
Dengan kata lain, sembari kita berdisplin, kita pun harus menjadi orang yang terus bertahan hidup, dengan membangun budaya baru, tradisi baru, termasuk produktivitas di bidang teknologi. Kita harus bertransformasi.
Demikian juga di saat ini, orang membuat keputusan berdasarkan kebutuhan, prioritas, dan situasi mereka sendiri, yang semuanya dipengaruhi oleh budaya. Kita perlu memahami proses pengambilan keputusan yang digunakan orang lain untuk membuat pilihan itu dan melihat bagaimana pilihan itu memengaruhi kesehatan kita. (https://www.futurity.org/covid-19-culture-history-2318752/).
Penulis
Ambrosius M. Loho, M. Fil.
Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado
Pegiat Filsafat-Estetika
Reporter: bbn/opn
Berita Terpopuler
ABOUT BALI

Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu

Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama

Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem
