Akun
guest@beritabali.com

Beritabali ID:


Langganan
logo
Beritabali Premium Tidak Aktif

Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium

Aktif sampai 23 Desember 2025



Mengelola Limbah Pertanian untuk Pertanian Berkelanjutan

Senin, 6 Oktober 2025, 11:23 WITA Follow
Beritabali.com

bbn/ilustrasi AI/Mengelola Limbah Pertanian untuk Pertanian Berkelanjutan.

IKUTI BERITABALI.COM DI GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Kalau kita bicara soal pertanian, biasanya bayangan yang muncul di kepala adalah padi menguning di sawah, petani bekerja di ladang, atau deretan tanaman sayuran yang segar. 

Jarang sekali kita berpikir soal sisi lain pertanian yang “kurang indah”: limbah. Padahal, limbah pertanian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi pangan. Mulai dari sisa jerami, batang jagung, limbah sayuran yang tidak terjual, hingga limbah kimia dari pestisida dan pupuk sintetis. 

Semuanya itu kalau tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan masalah besar, bukan hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia yang hidup dari hasil pertanian itu sendiri.

Di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian, masalah limbah pertanian ibarat bom waktu. Jumlahnya besar, pengelolaannya minim, dan kesadaran masyarakat masih rendah. Maka, sudah saatnya kita menaruh perhatian serius pada persoalan ini. Mengelola limbah pertanian bukan sekadar soal membersihkan sampah, melainkan soal menyelamatkan masa depan pertanian dan lingkungan.

Limbah Pertanian: Masalah yang Tak Bisa Dianggap Remeh

Bayangkan setelah panen padi, di sawah tertinggal berton-ton jerami. Data dari Kementerian Pertanian (2022) menyebutkan bahwa setiap hektar sawah menghasilkan sekitar 10–12 ton jerami padi. Dengan luas areal sawah nasional sekitar 10 juta hektar, artinya potensi jerami bisa mencapai lebih dari 100 juta ton per tahun. Sayangnya, lebih dari 40% jerami itu berakhir dibakar di lahan (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, 2021).

Praktik membakar jerami ini sudah jadi kebiasaan turun-temurun karena dianggap cepat dan praktis. Namun, asap yang dihasilkan berkontribusi pada polusi udara dan bisa memicu gangguan kesehatan pernapasan. Belum lagi, pembakaran jerami ikut menyumbang emisi gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim.

Selain jerami, limbah lain juga menumpuk. Misalnya, sisa sayuran di pasar tradisional. Di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, data tahun 2021 menunjukkan ada sekitar 80 ton sampah organik (sayur, buah, daun) yang terbuang setiap harinya. Limbah organik ini sering dibiarkan begitu saja membusuk tanpa pengelolaan. Padahal, kalau diolah dengan benar bisa jadi kompos atau pupuk organik yang bermanfaat.

Di sisi lain, ada limbah yang lebih berbahaya: residu pestisida dan pupuk kimia. FAO (2020) mencatat penggunaan pestisida di Indonesia terus meningkat hampir 400% dalam 20 tahun terakhir. Sisa-sisa bahan kimia itu meresap ke tanah dan terbawa air hujan ke sungai. Akibatnya, kualitas air menurun, ekosistem terganggu, dan kesehatan manusia ikut terancam karena air tercemar.

Singkatnya, limbah pertanian terbagi menjadi dua: organik dan anorganik. Keduanya sama-sama berpotensi jadi masalah besar jika dibiarkan.

Mengapa Limbah Pertanian Belum Tertangani?

Kalau ditanya mengapa persoalan limbah pertanian masih jadi masalah klasik, jawabannya kompleks.

Pertama, masih minimnya kesadaran petani. Banyak petani berpikir praktis: yang penting panen berhasil, soal limbah nanti belakangan. Mereka tidak menyadari dampak jangka panjang dari pembakaran jerami atau penggunaan pestisida berlebihan.

Kedua, keterbatasan teknologi dan fasilitas. Tidak semua desa pertanian memiliki fasilitas pengolahan limbah. Misalnya, untuk mengolah limbah organik jadi kompos butuh alat pencacah, tempat fermentasi, hingga pendampingan teknis. Tanpa itu, limbah lebih mudah dibiarkan atau dibuang sembarangan.

Ketiga, regulasi yang masih lemah. Pemerintah memang punya program pertanian berkelanjutan, tapi kebijakan soal pengelolaan limbah pertanian belum terlalu ditegakkan. Sosialisasi juga sering berhenti di atas kertas, tidak menyentuh lapisan petani di akar rumput.

Terakhir, ada faktor pasar. Produk hasil olahan limbah pertanian seperti pupuk kompos atau briket dari jerami sering tidak punya nilai jual yang tinggi. Jadi, petani merasa enggan mengolah limbah karena tidak ada keuntungan ekonomis yang langsung terlihat.

Solusi: Dari Limbah Jadi Berkah

Meski kelihatannya rumit, sebenarnya pengelolaan limbah pertanian punya potensi besar kalau digarap dengan serius.

1. Mengubah Limbah Organik Jadi Pupuk

Limbah organik seperti jerami, batang jagung, dan sayuran busuk bisa diolah jadi kompos atau pupuk cair organik. Hasilnya bisa dipakai sendiri oleh petani untuk menyuburkan tanah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang makin mahal.

Contohnya di Tabanan, Bali, kelompok tani sudah mengolah limbah sayuran pasar menjadi pupuk organik padat. Produk ini kemudian digunakan untuk hortikultura lokal, sehingga biaya produksi lebih rendah.

2. Energi Terbarukan dari Limbah

Jerami, sekam padi, atau kotoran hewan bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas. Teknologi ini sudah mulai dipakai di beberapa daerah, dan hasilnya cukup menjanjikan. Selain ramah lingkungan, biogas bisa menjadi sumber energi alternatif bagi rumah tangga petani.

Contohnya di Yogyakarta, program biogas dari kotoran sapi berhasil mengurangi kebutuhan LPG hingga 30% di desa tertentu.

3. Pakan Ternak Alternatif

Banyak limbah pertanian bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jerami, batang jagung, atau kulit singkong bisa diolah dengan teknik fermentasi sehingga lebih bergizi dan mudah dicerna. Ini bisa mengurangi biaya pakan yang biasanya cukup mahal.

4. Bank Limbah Pertanian

Konsep bank sampah yang populer di perkotaan bisa ditiru di desa pertanian. Petani bisa mengumpulkan limbah tertentu untuk ditukar dengan nilai ekonomis atau diproses bersama-sama. Dengan manajemen yang baik, ini bisa menciptakan lapangan kerja baru di desa.

5. Edukasi dan Pendampingan

Solusi teknis tidak akan berjalan tanpa kesadaran petani. Karena itu, program penyuluhan harus digalakkan. Petani perlu tahu bahwa limbah pertanian bukan sampah, tapi sumber daya yang bisa memberi keuntungan kalau dikelola dengan benar.

Peran Generasi Muda dalam Pengelolaan Limbah Pertanian

Di era sekarang, peran generasi muda sangat penting dalam mendorong pengelolaan limbah pertanian. Mahasiswa, komunitas pemuda desa, maupun start-up pertanian bisa hadir sebagai motor penggerak inovasi.

Contoh inspiratif: Sebuah start-up di Bandung, Magalarva, memanfaatkan limbah organik pasar sebagai pakan larva lalat Black Soldier Fly. Hasil larva digunakan sebagai pakan ikan dan unggas, sedangkan residunya dijadikan pupuk. Model ini terbukti efektif dan menguntungkan.

Selain itu, generasi muda juga bisa memanfaatkan media sosial untuk kampanye kesadaran. Edukasi lewat video pendek atau konten kreatif akan lebih mudah diterima masyarakat dibanding penyuluhan formal yang kaku. Dengan cara ini, kesadaran soal pengelolaan limbah bisa menyebar lebih luas.

Dampak Positif Jika Limbah Pertanian Dikelola dengan Baik

Apa jadinya kalau pengelolaan limbah pertanian benar-benar diterapkan? Dampaknya akan luar biasa, baik untuk lingkungan, ekonomi, maupun sosial.

Lingkungan lebih sehat:  Tidak ada lagi pembakaran jerami yang menyebabkan polusi udara. Tanah juga lebih subur karena pupuk organik digunakan lebih banyak.

Air lebih bersih:  Residu pestisida berkurang karena ada alternatif pupuk organik, sehingga sungai dan sumber air tidak tercemar.

Ekonomi petani meningkat:  Limbah yang dulunya dibuang bisa diolah jadi produk bernilai jual seperti kompos, biogas, atau pakan ternak.

Pertanian lebih berkelanjutan: Dengan mengurangi ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia, sistem pertanian akan lebih ramah lingkungan dan tahan lama.

Kesehatan masyarakat lebih baik: Polusi udara, pencemaran air, dan paparan bahan kimia berbahaya akan berkurang, sehingga risiko penyakit juga menurun.

Singkatnya, mengelola limbah pertanian bukan hanya tentang mengurangi sampah, tapi juga membuka peluang baru yang menguntungkan semua pihak.

Limbah pertanian memang masalah nyata yang kita hadapi hari ini. Tapi, masalah itu bisa berubah jadi peluang kalau kita mengubah cara pandang. Limbah bukan sekadar sisa yang harus dibuang, melainkan sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Dengan inovasi, edukasi, dan dukungan kebijakan, pengelolaan limbah pertanian bisa menjadi tonggak penting menuju pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Kita tidak bisa menutup mata: perubahan iklim semakin nyata, harga pupuk kimia semakin mahal, dan kerusakan lingkungan semakin terasa. Karena itu, langkah sederhana seperti mengelola limbah pertanian bisa jadi solusi strategis untuk masa depan.

Sebagai generasi muda dan calon intelektual, mahasiswa punya peran besar untuk menyuarakan, menginovasi, sekaligus menginspirasi. Saatnya kita memandang limbah pertanian bukan lagi sebagai beban, tapi sebagai aset untuk pertanian yang lebih adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Penulis 

Ni Putu Vira Alvionita 
Mahasiswi Fakultas Pertanian, Sains, dan Teknologi, Universitas Warmadewa

Beritabali.com

Berlangganan BeritaBali
untuk membaca cerita lengkapnya

Lanjutkan

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami