search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Begini Situasi di Pulau Jawa dan Bali Tahun 1960-an
Senin, 15 Februari 2021, 10:35 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/pinterest/Begini Situasi di Pulau Jawa dan Bali Tahun 1960-an

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Bulan Januari 1964, Horst Henry Geerken, seorang warga Jerman yang bekerja di perusahaan telekomunikasi Jerman, melakukan perjalanan darat dengan mobil dari Jakarta ke Bali. Tujuan akhir perjalannya adalah proyek pembangunan Bandara Tuban (Ngurah Rai) di wilayah Badung, Bali. Seperti apa pengalaman perjalanannya? 

Dalam bukunya " A Magic Gecko" Henry menulis ia tiba di Jakarta tahun 1963. Januari 1964 ia harus melakukan perjalanan ke Bali untuk ikut dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Ngurah Rai yang saat itu disebut Bandara Tuban. Saat itu Bandara Tuban hanyalah sebuah landasan rumput sederhana bergelombang dan hanya sekali-sekali didarati oleh pesawat kecil. Presiden Sukarno ingin menjadikan bandara ini berstandar internasional untuk membuka Bali bagi pariwisata. Henry bertugas untuk menyediakan alat-alat yang berhubungan dengan telekomunikasi.

Bersama sopirnya, Henry pergi ke Bali dari Jakarta dengan mobil. Sebelum memulai perjalanan jauh ia melengkapi diri layaknya akan melakukan ekspedisi. Bagasi mobil penuh dengan berkaleng-kaleng bensin, sekaleng air, seprai, kompor kecil untuk merebus air minum dan menyikat gigi, potassium permanganate untuk mencuci dan membasmi kuman pada buah-buahan, obat-obatan, semprotan nyamuk, pembasmi semut, DDT untuk kutu dan lalat, lilin dan korek api, lampu petromaks karena sebagian daerah yang akan dilewati belum dialiri listrik, pisau, teh, gula, biskuit, kertas wc, alat jahit, handuk, dan sebagainya. Bagasi mobil penuh dan hanya tersisa ruang untuk koper.

Sopirnya, Sudjono, orang yang bisa dipercaya. Menurut Henry, caranya menyetir aman dan  nyaman. Sebagian besar jalanan di pedesaan yang dilewati waktu itu sangat menyiksa karena penuh dengan lubang-lubang besar sehingga mobil berjalan sangat pelan. Per atau as patah sering sekali terjadi. 

"Baru setelah Bandung kami mengambil istirahat pertama. Dengan suara keras, mobil Opel Admiral 2.8S berhenti dengan kasar di atas batu. Tangki bensin pecah dan bensin pun tumpah keluar mengaliri jalan,"tulisnya.

Sopirnya Sudjono berkata tidak apa-apa. Dia mengambil sebuah pisang yang masih mentah dari salah satu pohon yang tumbuh di sepanjang jalan. Pisang diremasnya dengan sepotong sabun sehingga menjadi seperti permen karet. Dengan "permen karet" tersebut dia memperbaiki tangki yang bocor. Tangki yang ditambal ini berhasil membawa mobil sampai di Bali dan kembali ke Jakarta. Mobil ini menempuh 3.000 kilometer dengan perbaikan yang diimprovisasi dan tidak menemukan masalah.

Sopirnya selalu berangkat pagi hari karena udara masih sejuk. Tentu saja mobil waktu itu tidak berpendingin AC. 

"Paling lambat pukul lima kami berangkat sehingga saya bisa menikmati matahari terbit setiap hari. Mobil terkadang menabrak ayam yang banyak berkeliaran di jalanan.
Saya tidak mau ketinggalan matahari terbit di Jawa karena setiap hari seperti keajaiban. Pemandangan begitu indah dengan embun pagi yang masih menggantung, sawah membentang, dan pohon-pohon bambu dengan daunnya yang hijau. Sinar matahari pagi membuat pohon kelapa berkilau, warnanya hijau rimbun, membuat pagi cerah. Suasana pagi diselimuti kedamaianan dan kebahagiaan,"kenang pria yang tinggal di Indonesia selama 18 tahun.

Di sepanjang perjalanan, Henry melihat rumah-rumah sederhana yang terbuat dari gedek tersembunyi di balik pohon pisang dan pepaya yang tumbuh di bawah pohon kelapa. Di setiap desa, ia menemukan rumah dengan tanda palu dan arit merah yang mencolok. Partai Komunis Indonesia (PKI) waktu itu terorganisasi dengan rapi dan kantornya ada di mana-mana di seluruh negeri. Di sinilah anggota-anggota baru direkrut.

"Walaupun sopir saya menyetir sampai 10 jam sehari, pada hari pertama perjalanan saya ke Bali, kami hanya sampai di Cirebon di pesisir utara Jawa. Kondisi jalan sangat mengerikan, kadang hanya tanah berbatu dan kubangan yang harus diterjang oleh mobil kami,"tulisnya.

Mereka kemudian meneruskan perjalanan ke Semarang menyusuri pesisir laut Jawa. Warna laut yang kehijau-hijauan berubah menjadi biru tua ketika bercampur dengan birunya langit. Di tepi laut selalu terdapat perkebunan kelapa yang daunnya melambai tertiup angin. Sepanjang perkampungan nelayan tercium bau khas campran ikan asin dan kopra.

Karena jalur antara Semarang dan Surabaya pada awal 1960-an tidak dapat digunakan akibat beberapa tanah longsor, kami harus berbelok ke arah selatan lewat Yogyakarta untuk sampai Bali. Dari Surakarta (Solo) ke Madiun, sopir mengambil jalan lewat desa di Pegunungan Sarangan. Setelah menginap di Sangangan, perjalanan dilanjutkan menuju kota Surabaya dan menginap di daerah Tretes. 

Keesokan paginya mereka berangkat menuju Banyuwangi untuk menyeberang ke Bali dengan  kapal feri. Waktu itu jalanan di Jawa Timur sangat buruk. Ada banyak pos militer di perbatasan sepanjang jalan. 

"Kami harus memutar dan menempuh perjalanan di antara perkebunan tebu. Di jalanan menuju Banyuwangi kami makin sering bertemu dengan truk yang penuh babi. Babi dimasukkan sendiri-sendiri ke dalam keranjang bambu yang besar. Pada masa itu babi adalah komoditas ekspor utama dari Pualu Bali. Babi dijadikan santapan untuk orang Cina di Singapura dan Pulau Jawa.

Henry dan sopirnya mengalami masalah ketika menyeberang dengan kapal dari pelabuhan kecil Banyuwangi dari Jawa Timur menuju Pelabuhan Gilimanuk di Bali. Mereka menunggu lama sebelum mobil dinaikkan ke kapal dengan teriakan-teriakan. 

"Begitu kapal bertolak, kami berhadapan dengan bahaya di selat ini. Ombak selat Bali tinggi. Sopir dan saya basah kuyup ketika tiba di Gilimanuk,"tulis Henry.

Baru berjalan beberapa kilometer, Henry sudah melihat Bali berbeda dengan Jawa. Di Bali, Jawa di sebut Jawi yang berarti jauh atau pulau yang jauh.  Pemandangan sawah yang betingkat-tingkat jauh lebih indah di Bali. 

Kehidupan di desa biasanya terpusat di bawah naungan pohon beringin suci dan batangnya lebih besar daripada pelukan 20 laki-laki. Di sini mereka membeli, menawar, bergosip. Di sini pula mereka mencukur rambut, berteman, dan melerai permusuhan. Perempuan yang memangggul keranjang penuh dengan hasil kebun berjalan ke pasar untuk mencari nafkah.

Di luar rumah ada keranjang tenunan kasar yang berisi harta paling berharga dan dicintai laki-laki Bali yakni ayam petarung. Si pemilik ayam biasanya duduk sambi memijat dan menimang-nimang ayamnya agar kuat dalam pertarungan berikutnya. Dimana-mana di jalan, di luar rumah dan di bawah pohon beringin suci, terdapat sesajen yang ditaruh di dalam keranjang anyaman.

Perempuan dalam pakaian tradisional berdoa dan mencipratkan air yang sudah disucikan dengan gerakan tangan yang anggun. Patung penjaga pura yang dipahat dengan artistik di depan gapura dan pohon beringin diberi kain kotak-kotak warna hitam putih.

"Dalam perjalanan kami melewati sederetan gunung di sepanjang pulau dari barat ke timur. Setelah menempuh perjalanan yang berat selama seminggu dari Jakarta ke Bali, akhirnya saya sampai di tempat tujuan yakni pembangunan Bandara Tuban (Ngurah Rai),"kenangnya. 


 

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami