Kelas Orgasme, Sebenarnya Boleh atau Tidak?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Mengajarkan seseorang atau banyak orang tentang sebuah pengetahuan adalah sebuah hal yang baik dan mulia.
Pengajaran atau edukasi itu harapannya akan membawa peningkatan pengetahuan, pembentukan sikap, dan terakhir perubahan perilaku positif sesuai yang diharapkan. Itu prinsipnya, tentu saja sebaiknya dilakukan dengan kaidah ilmu pengetahuan dan norma-norma yang benar.
Itu artinya, edukasi diberikan oleh orang yang paham, menguasai permasalahan, dan kompeten. Bisa seorang pengajar dengan pendidikan yang cukup, atau bersertifikat yang diakui organisasi yang legal. Tentu saja juga dengan cara atau metode pengajaran yang tidak melanggar nilai-nilai dan norma sosial dan masyarakat.
Lalu, dalam hal ini apakah konteks edukasi seksual mempelajari orgasme dapat diajarkan? Tentu saja boleh. Mempelajari seksualitas manusia, itu sudah dilakukan sejak lama dalam konteks mempelajari ilmu seksologi.
Ilmu seksologi malah menarik minat banyak orang dan ahli untuk terus menggali hal-hal baru untuk dijadikan sebuah pengetahuan baru. Ilmu seksologi sejak jaman pra-modern hingga hai ini selalu berkembang. Misalnya mencari tahu penyebab masalah seksual dan kemudian menemukan solusi penanganannya, terus berkembang.
Sebagai contoh, di saat lalu permasalahan disfungsi ereksi selalu dihubungkan dengan penyebab psikis, tetapi saat ini justru diketahui penyebabnya lebih banyak adalah justru dari fisik, misalnya penyakit kencing manis, gangguan kolesterol, mengonsumsi obat darah tinggi tertentu.
Dan akhirnya manajemen terapinya pun berkembang dan beragam, dengan mengendalikan penyebab dan pemberian obat disfungsi ereksi yang semakin modern. Demikian juga dengan mempelajari orgasme, tentu diperbolehkan. Apalagi orgasme adalah hak seksual setiap manusia untuk mendapatkannya dalam siklus respon seksualnya secara lengkap, demi mendapatkan kepuasan seksual dalam berhubungan seksual.
Gangguan orgasme lebih sering dihubungkan dengan perempuan, walau laki-laki juga dapat mengalaminya. Memang, salah satu gangguan seksual yang dapat terjadi pada perempuan adalah terjadinya hambatan orgasme ketika melakukan hubungan seksual. Ini disebut dengan disfungsi orgasme.
Padahal, orgasme merupakan alasan utama seseorang untuk melakukan hubungan seksual. Disfungsi orgasme bisa terjadi di segala usia. Bahkan bisa saja terjadi pada perempuan yang sudah lama menikah. Gangguan fungsi seksual pada perempuan dapat disebabkan banyak faktor, diantaranya gangguan saraf sensoris yang disebabkan oleh penyakit seperti diabetes maupun gangguan hormon yang dapat menghambat sensasi orgasme perempuan.
Disfungsi orgasme yang terjadi pada perempuan, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu hambatan psikis, tidak ada komunikasi seksual yang baik dengan pasangan, posisi hubungan seksual yang tidak efektif, disfungsi seksual di pihak laki-laki, dan meningkatnya nilai ambang sensitivitas karena penyakit saraf tertentu.
Kurangnya rangsangan seksual yang diterima menyebabkan perempuan gagal mencapai orgasme. Rangsangan pendahuluan sangat diperlukan agar perempuan menjadi siap dan cukup terangsang sebelum melakukan hubungan seksual.
Jika tidak terjadi, ini akan membuat perempuan menjadi tidak nyaman. Karena orgasme adalah titik puncak atau klimaks yang ditunggu-tunggu perempuan saat melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual yang memuaskan dan dinikmati dengan optimal adalah juga penentu kebahagiaan hidup dan membuat kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik.
Jadi, jika ada seseorang, misalnya pihak perempuan, yang tidak mendapatkan orgasme dalam hubungan seksualnya, akan membuat kualitas hidupnya tidak optimal juga. Karenanya perlu dibantu untuk memahami, dicari penyebab, dan mencari solusi untuk mendapatkannya.
Keterlibatan pasangannya juga perlu untuk mencari tahu hubungan kausalitasnya, karena pada banyak kasus saat perempuan mengeluhkan tidak tahu dan tidak mendapat orgasme ternyata ditemukan justru pasangan laki-lakinya yang mengalami ejakulasi dini.
Bagaimana bentuk-bentuk edukasi yang berjalan, di jaman dahulu, mempelajari seksualitas tidak ada bentuk pendidikan khusus di sekolah, tetapi bisa dipelajari lewat pendidikan di dalam keluarga. Pasangan yang ingin menikah dipersiapkan secara fisik, psikis, dan ritual.
Sebelum menikah dilakukan bimbingan khusus dalam pertemuan kecil, diajarkan tentang nilai perkawinan, membentuk keluarga, merencanakan kehamilan dan tugas suami dan istri, termasuk di dalamnya tentang hubungan seksual yang baik dan benar. Pada beberapa adat tertentu malah diajarkan dengan lebih detail tentang Teknik berhubungan seksual, saat tepat berhubungan seksual, hingga ramuan seksual yang dipercaya sebagai afrodisiak.
Sebagian menggunakan juga sumber-sumber informasi atau buku yang dipercaya. Di belahan dunia, secara klasik sering dikenal Kama Sutra, Shunga, Quratul Uyun, hingga Serat Centini, atau di Bali ada seperti Pameda Smara dan Smara Tantra, sebagai sumber referensi, walau lebih banyak sifatnya masih dari mulut ke mulut.
Di jaman yang modern, tentu saja akhirnya lebih terbuka, lebih mudah diakses, pembelajaran lebih bisa diukur dan dievaluasi dengan lebih baik, apa memang bermanfaat baik dan dilakukan dengan cara yang juga benar. Pendidikan bisa dilakukan di sekolah tertentu yang mengajarkan pendidikan seksualitas, bisa itu di sekolah kedokteran, psikologi, antropologi dan budaya, dan lainnya. Demikian juga pendidikan dan pelatihan untuk melahirkan seorang sex therapist, seksolog, konselor dan educator pendidikan seks, sudah ada institusi dan lembaga yang melakukannya.
Jadi dapat terukur dan tidak sembarangan. Selebihnya, upaya mengajarkan edukasi seksual tetap bisa dilakukan secara mandiri secara informal di keluarga. Tetapi saat ini tantangan terbesarnya adalah saat informasi itu bisa didapatkan di mana saja, oleh siapa saja.
Mendapatkan informasi tentang fungsi seksual, termasuk tentang orgasme, sangat mudah didapatkan lewat internet. Dan apakah informasi yang didapatkan sudah benar dan bertanggung jawab? Ini yang menjadi tantangan tadi. Setiap orang diharapkan mampu memilah dan memilih sumber informasi yang benar dan kemudian mempelajari dari sumber yang benar dan kompeten.
Selanjutnya tentang kelas orgasme, bagaimana? Yang menjadi perhatian kemudian adalah apakah kelas edukasi tentang orgasme itu dilakukan oleh pengajar yang telah memiliki kompetensi dan memiliki kemampuan yang baik dan benar untuk mengajarkan pelatihan seksual?
Berpendidikan dengan kemampuan yang diakui di bidang kesehatan seksual dengan organisasi atau institusi yang juga kredibel dan legal? Selanjutnya bagaimana dengan kurikulum dan metode pelatihannya, apakah sudah cukup mampu untuk membuat pesertanya menjadi paham dan mengenali dengan baik konsep dan permasalahan seksualnya? Teknisnya juga apakah sudah menggunakan standar etika dan nilai yang jauh dari kemungkinan terjadi kontak fisik yang berpotensi pelecehan seksual, seperti yang dikhawatirkan sempat terjadi di beberapa kelas serupa pernah terjadi.
Satu lagi, apakah acara yang dilakukan sudah berijin dan diterima dengan baik oleh kondisi masyarakat tempat acara dilakukan. Tentu saja jika semua kaidah ilmiah, profesi, etik, dan norma sosial hingga norma kesusilaan bisa dipenuhi dengan baik dan bertanggung jawab, kelas edukasi seksual bisa dilakukan, malah perlu didukung demi edukasi seksual yang perlu disosialisasikan ke masyarakat, terutama yang membutuhkan.
Tetapi jika kaidah ini tidak diindahkan, pengajarnya bukan orang yang berkompetensi dan berkemampuan secara keilmuan di bidang kesehatan seksual, tidak memiliki pendidikan yang benar dan hanya berdasar pengalaman belaka, tidak memiliki afiliasi ke institusi yang resmi dan legal, serta mungkin metode pengajarannya meragukan, serba rahasia, malah berpotensi terjadi pelecehan seksual, sebaiknya memang tidak perlu diikuti, malah sebaiknya dilarang.
Jika hal seperti ini dipaksakan dan ada yang mau mengikuti, semua risiko perlu dipertimbangkan. Satu lagi, jika kelas diperuntukkan untuk mereka yang mengalami gangguan seksual untuk kepentingan terapi, juga perlu dipertimbangkan status ijin acara kelas orgasme ini, karena secara etika dan profesionalisme, sebuah terapi atau pengobatan seharusnya ada dalam bentuk kontrak therapeutik antara pasien dan dokter atau klien dan pemberi terapi, atau sejenisnya di sebuah tempat layanan yang terdaftar dan berijin, kecuali itu adalah pengobatan lain seperti pengobatan tradisional masyarakat.
Reporter: bbn/oka