search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pengesahan Ranperda Bahasa Bali Tak Perlu Terburu-Buru
Kamis, 22 Maret 2018, 14:45 WITA Follow
image

Beritabali.com/mul

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. DPRD Bali diingatkan untuk tidak terburu-buru mengesahkan rancangan peraturan daerah (Ranperda) Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Mengingar ranperda tersebut masih banyak memiliki kelemahan, baik pada aspek teoritis, formal dan substansi. Hal tersebut disampaikan Dosen Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana, Dr. Drs. I Dewa Gede Windhu Sancaya, M.Hum pada keteranganya di Denpasar pada Kamis (22/3).

[pilihan-redaksi]
Menurut Windhu Sancaya, salah satu kesalahan yang cukup substansial adalah  dalam pemberian definisi yang hanya mengacu pada definisi sastra modern. Padahal definisi sejatinya lebih pada segala sesuatu yang tertulis.

“Disini dituliskan ada drama, puisi, padahal kita punya babad, punya usada, wariga, mantra-mantra agama dan sebagainya yang tidak termasuk dalam pengertian sastra Bali. Apalagi ada pengertian tradisional dan modern. Jadi pengertian penyelamatan sastra Bali jangan dilihat secara sempit begitu,” jelas Windhu Sancaya.

Bahasa Bali juga memiliki banyak ragam, selain bahasa Bali lumrah juga terdapat Bahasa Kawi dan Bahasa Jawa Kuno yang juga fungsional dalam masyarakat Bali. Buktinya banyak lontar yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno yang dipahami oleh masyarakat Bali.

“Meskipun dia disebut Bahasa Jawa Kuno tetapi dia sangat fungsional dalam kehidupan budaya masyarakat Bali. Belum lagi terdapat bahasa Bali Age yang hingga saat ini penuturnya masih ada, seperti di daerah Nusa Penida dan Pegunungan,” ujar Windhu Sancaya.

Windhu Sancaya berharap DPRD Bali melakukan pendefinisian ulang terhadap definisi bahasa, sastra dan aksara Bali sehingga dapat dirumuskan dengan tepat. Begitu juga perlu dilakukan perbaikan secara formal, karena terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa gubernur berkewajiban mengajarkan Bahasa Bali.

[pilihan-redaksi2]
“Misalnya dalam pasa 9, dalam mengintensipkan pembinaan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 2 gubernur bupati, walikota berkewajiban mengajarkan mata pelajaran Bahasa Bali pada seluruh jalur dan jenjang pendidikan,  Jadi harusnya gubernur membuat kebijakan, bukan gubernur mengajarkan , ini hal yang substansi dan formal menjadi tidak nyambung,” kata Windhu Sancaya.

Dalam ranperda juga terdapat kalimat yang tidak konsisten, dimana disebutkan gubernur, bupati dan walikota berkewajiban penyelenggaraan bulan bahasa . “Kan mestinya menyelenggarakan , kalau penyelenggaraan darimana nyambungnya, kalau kesalahan formal ini kemudian di ketok palu, bagaimana orang menafsirkan” ucap Windhu Sancaya.

Windhu Sancaya menyampaikan jika pemerintah serius terhadap pengembangan dan pelestarian bahasa Bali mestinya pada setiap organisasi perangkat daerah (OPD) yang menangani masalah budaya terdapat kepala seksi yang menangani Bahasa Bali. Mengingat yang justru ada selama ini adalah kepala seksi perfilman bukan kepala seksi Bahasa Bali.

“Masak ada kasi perfilman, yang mereka tidak pernah bikin film, tidak begitu tahu apa itu film, kok ada kasi perfilman, kasi Bahasa Bali malah gak ada” papar Windhu Sancaya. [bbn/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami